SURAU.CO – Di tengah hiruk-pikuk Dunia yang mengejar kemewahan, kita mudah lupa bahwa ukuran mulia dalam pandangan manusia tidak selalu sama dengan ukuran mulia di sisi Allah. Manusia memuji harta, jabatan, penampilan, dan pencapaian. Namun Allah memuji ketakwaan, kejujuran, kerendahan hati, dan kesungguhan dalam ibadah.
Tersebut mengangkat sebuah nasihat indah dari Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm rahimahullah—sebuah nasihat yang apabila direnungi, mampu mengubah cara kita memandang hidup:
“Dalam masalah harta, keadaan, dan kesehatan, lihatlah orang yang ada di bawahmu.
Dan dalam masalah agama, ilmu, dan keutamaan, lihatlah orang yang ada di atasmu.”
(Kitab al-Akhlaq wa as-Sair, hal. 89)
Memandang ke Bawah dalam Urusan Dunia
Mengapa kita diminta melihat orang yang berada di bawah dalam hal dunia?
>Agar hati tidak menjadi serakah.
>Agar jiwa tidak merasa kurang.
>Agar lisan selalu bersyukur.
Ketika kita mengeluh tentang sempitnya rezeki, mungkin ada orang yang bahkan tidak tahu apa yang akan ia makan malam ini. Dan Ketika kita merasa lelah bekerja, ada orang yang bahkan tidak punya pekerjaan. Ketika kita menginginkan rumah yang lebih besar, ada orang yang berteduh di bawah langit tanpa dinding.
Melihat ke bawah bukan agar kita merasa lebih baik, tetapi agar kita merasa lebih bersyukur.
Memandang ke Atas dalam Urusan Akhirat
Sebaliknya, dalam urusan agama dan kebaikan, jangan pernah merasa cukup.
Lihatlah orang-orang yang lebih rajin beribadah, lebih kuat ilmunya, lebih tenang akhlaknya, lebih besar kontribusinya terhadap umat.
Ketika kita merasa sudah cukup shalat dan ibadah, lihatlah orang yang bangun setiap malam bermunajat.
>Ketika kita merasa sudah cukup ilmu, lihatlah para ulama yang menghabiskan hidupnya mempelajari agama.
>Ketika kita merasa sudah cukup berbuat baik, lihatlah orang-orang yang diam-diam membantu sesama tanpa diketahui siapa pun.
Melihat ke atas dalam urusan akhirat bukan untuk membuat kita minder, tetapi untuk membuat kita bersemangat.
Dunia Mewah Tidak Menjamin Bahagia
Sejarah dan kehidupan modern menunjukkan bahwa kemewahan bukanlah jaminan kebahagiaan. Banyak yang bergelimang harta tetapi hatinya kosong, pikirannya gelisah, dan hidupnya hampa.
Sebaliknya, ada yang sederhana namun hatinya lapang, hidupnya tenang, dan wajahnya bercahaya karena kedekatannya dengan Allah.
Ketakwaanlah yang membuat hidup bermakna.
>Ketakwaanlah yang membuat hati tentram.
>Ketakwaanlah yang mengangkat derajat seseorang di sisi Allah.
Mewah Itu Boleh, Tapi Takwa Itu Wajib
Islam tidak pernah melarang umatnya kaya. Islam tidak pernah mengharamkan kenyamanan dan keindahan. Yang dilarang adalah ketika kemewahan menjadi tujuan hidup dan mengalahkan nilai ketakwaan.
Kaya tapi tidak sombong.
Sukses tapi tetap tawadhu.
Hebat tapi tidak lupa sujud.
Itulah keseimbangan seorang mukmin.
Ukuran Sukses dalam Pandangan Allah
Di dunia, kita dinilai dari apa yang tampak.
Di akhirat, kita dinilai dari apa yang tersimpan dalam hati.
Karena itu, ukuran tertinggi kesuksesan seorang hamba bukanlah:
seberapa luas rumahnya,
seberapa mahal pakaiannya,
seberapa tinggi jabatannya,
atau seberapa banyak pengikutnya,
tetapi seberapa besar ketakwaannya kepada Allah.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Penutup: Mari Fokus pada Apa yang Bernilai Abadi
Dunia hanya sementara.
Kemewahan hanya titipan.
Kedudukan hanya ujian.
Namun ketakwaan adalah bekal yang akan menemani kita sampai ke alam akhirat.
Maka jangan habiskan hidup mengejar apa yang habis.
Kejar dan rawatlah apa yang tidak pernah habis: ketakwaan, amal saleh, dan dekatnya hati dengan Allah.
Ya Allah, teguhkan langkah kami, dan bimbing kami untuk selalu memilih jalan yang Engkau ridhai. Aamiin. (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
