Khazanah
Beranda » Berita » Nazar dalam Riyadhul Badi‘ah: Kaidah Fikih, Batasan, dan Implementasi

Nazar dalam Riyadhul Badi‘ah: Kaidah Fikih, Batasan, dan Implementasi

Santri mempelajari bab nazar dalam fikih di ruang pesantren
Ilustrasi suasana belajar fikih klasik dalam tradisi pesantren.

Surau.co. Pembahasan mengenai nazar selalu menjadi tema penting dalam fikih ibadah, terutama ketika seorang Muslim ingin meningkatkan kedekatan dengan Allah melalui komitmen amal tertentu. Kitab Riyādhul Badi‘ah karya Syaikh Muhammad Hasbullah Asy-Syāfi‘i menjelaskan nazar dengan rinci melalui pendekatan fikih yang aplikatif. Artikel ini mengurai konsep nazar  dalam kitab  Riyadhul Badi‘ah berdasarkan kaidah fikih, dilengkapi kutipan dalil Al-Qur’an dan hadits, serta pendapat ulama.

Nazar dalam fikih sering juga disebut sebagai komitmen ibadah atau janji suci kepada Allah. Karena itu, istilah-istilah seperti “hukum nazar”, “syarat nazar”, dan “jenis-jenis nazar” menjadi bagian penting dalam diskusi ilmiah ini. Semua istilah tersebut hadir secara alami dalam paragraf demi paragraf untuk memastikan keterbacaan yang baik sekaligus memenuhi unsur SEO.

Hakikat Nazar Menurut Riyādhul Badi‘ah

Pembahasan nazar dalam Riyādhul Badi‘ah dimulai dengan definisi dasar yang berlandaskan kaidah fikih. Syaikh Muhammad Hasbullah Asy-Syāfi‘i menyebutkan:

النَّذْرُ إِلْزَامُ الْمُكَلَّفِ نَفْسَهُ طَاعَةً لِلَّهِ تَعَالَى غَيْرَ وَاجِبَةٍ أَصْلًا
“Nazar merupakan kewajiban yang dibebankan sendiri oleh seorang mukallaf atas dirinya berupa ketaatan kepada Allah yang sebelumnya tidak wajib.”

Definisi tersebut menegaskan bahwa seseorang tidak boleh bernazar kecuali dalam perkara taat. Karena itu, nazar menjadi bentuk ilzam (pembebanan diri) pada amal yang hukum asalnya sunnah. Dengan penjelasan ini, nazar tidak sekadar janji, melainkan akad ibadah yang memiliki konsekuensi hukum.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Al-Qur’an menegaskan keutamaan pemenuhan nazar dalam firman Allah:

﴿يُوفُونَ بِالنَّذْرِ﴾
“Mereka memenuhi nazar-nazar yang telah dibuat.” (QS. Al-Insān: 7)

Ayat ini menjadi dasar kewajiban menunaikan nazar ketika seseorang telah mengucapkannya secara jelas. Para ulama sepakat bahwa nazar berlaku bila diucapkan secara lisan, karena ucapan menunjukkan kesengajaan dan komitmen.

Dasar Syar‘ī Nazar: Al-Qur’an dan Hadits

Selain ayat di atas, hadis sahih juga menjelaskan kewajiban menunaikan nazar dalam perkara taat. Rasulullah bersabda:

«مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ»
“Siapa yang bernazar untuk taat kepada Allah, hendaklah ia menunaikannya.” (HR. Bukhari)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Hadits ini bukan hanya anjuran, tetapi perintah jelas untuk menunaikan nazar dalam amal ketaatan. Karena itu, semua pembahasan sejatinya kembali pada kaidah dasar: setiap nazar yang berisi ketaatan hukumnya wajib ditunaikan.

Dalam Riyādhul Badi‘ah, Syaikh Hasbullah menegaskan:

وَيَجِبُ الْوَفَاءُ بِالنَّذْرِ إِذَا كَانَ طَاعَةً
“Wajib menunaikan nazar apabila berupa ketaatan.”

Kaidah ini selaras dengan pendapat mayoritas ulama Syafi‘iyyah, sebagaimana disebutkan Imam An-Nawawi dalam Al-Majmū‘:

يَجِبُ الْوَفَاءُ بِكُلِّ نَذْرٍ فِي طَاعَةٍ لَا مَعْصِيَةَ فِيهَا
“Wajib menunaikan setiap nazar dalam perkara taat dan tidak mengandung maksiat.”

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Jenis-Jenis Nazar: Penjelasan Fikih Praktis

Nazar Taat (Nadzru al-Tha‘ah)

Merupakan bentuk nazar yang sah dan wajib ditunaikan. Nazar seperti “Jika Allah menyembuhkan sakitku, aku akan berpuasa tiga hari” masuk kategori ini. Riyādhul Badi‘ah menggarisbawahi bahwa syarat utama kesahihan nazar adalah amal tersebut memiliki nilai ibadah.

Syaikh Hasbullah menegaskan:

لَا يَنْعَقِدُ النَّذْرُ إِلَّا فِي الطَّاعَةِ
“Nazar tidak sah kecuali dalam ketaatan.”

Penegasan ini mencegah masyarakat bernazar hal-hal yang tidak membawa nilai ibadah atau bahkan menjerumuskan pada kemudaratan. Karena itu, pembahasan nazar senantiasa berkaitan dengan kaidah dasar fikih: asal dalam ibadah adalah tauqīf, yaitu harus sesuai tuntunan syariat.

Nazar Maksiat

Nazar maksiat tidak sah dan tidak boleh ditunaikan. Misalnya: “Jika urusanku berhasil, aku akan memutus hubungan dengan saudara.” Hal ini dilarang keras dalam syariat.

Rasulullah bersabda:

«لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ»
“Tidak ada nazar dalam maksiat.” (HR. Muslim)

Karena itu, seseorang yang terlanjur mengucapkan nazar maksiat wajib membatalkan nazarnya dan membayar kafarat yamin, yakni kafarat sumpah. Pembahasan mengenai kafarat ini juga dijelaskan oleh Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtāj.

Nazar Mubah

Nazar pada hal mubah diperselisihkan oleh ulama. Dalam mazhab Syafi‘i, nazar mubah dihukumi sah bila seseorang mengikat dirinya pada sebuah perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Contohnya: “Jika lulus ujian, aku akan berjalan ke masjid setiap hari Jumat.”

Imam Asy-Syirbini dalam Mughni al-Muhtāj menyebutkan:

إِذَا كَانَ الْمُبَاحُ يُفْضِي إِلَى الطَّاعَةِ نَقَلَهُ النَّذْرُ لِحُكْمِ الطَّاعَةِ
“Jika suatu hal mubah mengantarkan pada ketaatan, maka nazar memindahkannya pada hukum taat.”

Syarat dan Rukun Nazar dalam Riyādhul Badi‘ah

  1. Mukallaf dan Perbuatan Taat

Rukun pertama nazar adalah orang yang melakukannya harus mukallaf: berakal dan baligh. Anak kecil dan orang yang tidak berakal tidak sah nazarnya. Riyādhul Badi‘ah menegaskan bahwa syarat ini menunjukkan nazar adalah akad ibadah.

Rukun kedua adalah amal yang dinazarkan harus bersifat taat. Shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah, atau ibadah yang berupa kebaikan dapat menjadi objek nazar. Perkara mubah menjadi taat dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, sebagaimana disebutkan para fuqaha.

  1. Redaksi Nazar yang Jelas

Syarat berikutnya ialah pengucapan nazar. Ucapan menjadi indikator keseriusan seseorang. Dalam fikih Syafi‘i, nazar dianggap sah bila diucapkan dengan lafaz yang menunjukkan ilzam (pembebanan diri). Misalnya: “Aku wajib berpuasa tiga hari.”

Imam Al-Bujairimi dalam Hasyiyah al-Bujairimi menyatakan:

يُشْتَرَطُ فِي النَّذْرِ لَفْظٌ يَقْتَضِي الْإِلْزَامَ
“Disyaratkan dalam nazar adanya lafaz yang menunjukkan pembebanan kewajiban.”

Kafarat Nazar: Ketika Nazar Tidak Dapat Ditunaikan

Dalam kondisi tertentu, nazar boleh diganti dengan kafarat sumpah. Misalnya nazar yang tidak mampu ditunaikan karena uzur syar‘i atau nazar yang sejak awal tidak sah (nazar maksiat).

Kafarat sumpah disebutkan oleh Allah dalam QS. Al-Māidah ayat 89:

﴿فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ … فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ﴾
“Kafaratnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin… dan bila tidak mampu, berpuasa selama tiga hari.”

Para ulama Syafi‘iyyah menjadikan ayat ini dasar kafarat nazar yang tidak sah atau tidak mungkin ditunaikan. Pembahasan seperti ini memperjelas posisi nazar sebagai akad ibadah yang tetap membutuhkan aturan fikih yang ketat.

Nazar dalam Perspektif Ulama Syafi‘iyyah Lain

Pandangan Imam Nawawi

Imam Nawawi dalam Al-Majmū‘ menjelaskan bahwa nazar merupakan ibadah yang sangat terikat pada nash:

وَلَا يَنْعَقِدُ النَّذْرُ إِلَّا فِي الْقُرَبِ
“Nazar tidak sah kecuali dalam amal-amal yang menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah.”

Pandangan ini menunjukkan keselarasan antara Riyādhul Badi‘ah dan kitab-kitab besar Syafi‘iyyah.

Pandangan Imam Ibn Hajar Al-Haitami

Dalam Tuhfah al-Muhtāj, Imam Ibn Hajar memberikan detail mengenai nazar mu‘allaq (nazar yang digantungkan pada syarat), misalnya “Jika sembuh, aku akan berpuasa.”

وَيَلْزَمُ بِتَحَقُّقِ الشَّرْطِ مَا أَوْجَبَهُ عَلَى نَفْسِهِ
“Ketika syarat terpenuhi, maka wajib atas dirinya menunaikan apa yang telah dibebankan.”

Pendapat ini memperkuat pemahaman masyarakat agar berhati-hati ketika mengucapkan nazar, karena setiap redaksi mengandung konsekuensi fikih.

Implementasi Nazar dalam Kehidupan  Muslim

Pembahasan nazar tidak berhenti pada teori. Nazar memiliki dampak praktis dalam kehidupan seorang Muslim. Nazar mampu mendorong motivasi ibadah, memperkuat harapan, dan menghidupkan semangat spiritual. Namun nazar tidak boleh dijadikan alat tawar-menawar dengan Allah. Karena itu, Rasulullah mengingatkan:

«إِنَّهُ لَا يَرُدُّ شَيْئًا وَلَكِنَّهُ يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ»
“Nazar tidak menolak takdir apa pun, tetapi sering mengeluarkan sesuatu dari orang yang kikir.” (HR. Muslim)

Hadits ini mengajarkan bahwa tujuan utama nazar adalah komitmen ibadah, bukan transaksi atau pertukaran.

Dalam kehidupan sehari-hari, nazar sering ditemukan saat seseorang menghadapi ujian besar: sakit, ujian akademik, atau harapan rezeki. Pembahasan fikih menjadi penting untuk menghindarkan masyarakat dari nazar yang keliru atau memberatkan diri sendiri.

Penutup

Nazar menjadi cermin kesungguhan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah. Ketika seseorang berjanji untuk melakukan ketaatan, maka janji itu menjadi amanah yang harus ditunaikan dengan lapang hati. Syariat memberikan aturan yang rinci agar nazar tidak berubah menjadi beban yang merugikan diri sendiri.

Pada akhirnya, nazar bukan sekadar kata-kata, tetapi jalan penguatan jiwa. Ketika seorang hamba menepati janji kepada Allah, maka hatinya akan dipenuhi ketenangan. Dalam kesunyian doa dan sujud, komitmen itu menjadi saksi betapa seorang hamba merindu kedekatan dengan Rabb-nya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement