SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam memberikan kaidah yang kritis mengenai kondisi batin kita dalam menghadapi takdir Allah. Beliau mengajarkan tentang jebakan nafsu dalam kondisi senang:
“Nafsu akan mengambil peranan dalam sebuah kondisi yang lapang, yaitu dengan kebahagiaan. Tetapi, nafsu tidak memiliki peranan dalam keadaan yang sempit.”
Bahaya Kondisi Kelapangan Dunia
Kaidah ini menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah sebagai peringatan bagi kita bahwa kelapangan—baik berupa kemudahan harta, kesehatan, atau popularitas—adalah ujian spiritual yang jauh lebih sulit dan berbahaya. Ketika seseorang mendapatkan kelapangan, nafsu segera mengambil alih dengan memicu rasa senang yang berlebihan dan terkadang tidak terkontrol. Jikalau kita tidak melatih hati untuk muraqabah (merasa diawasi), kebahagiaan itu akan berbalik menjadi kesombongan. Kita mungkin mulai meremehkan orang-orang yang kita anggap lebih rendah derajatnya, yang sedang menderita, atau yang kurang beruntung dalam materi. Ini adalah bentuk adab yang buruk, yang dapat merusak amal ibadah kita secara batiniah.
Tingkat bahaya yang lebih serius muncul ketika nafsu mendorong kita bersikap kurang ajar kepada Allah Swt. Kita dapat mulai merasa hebat dan sombong, meyakini bahwa semua kesuksesan yang kita raih adalah murni hasil kecerdasan dan usaha kita sendiri, tanpa campur tangan karunia Ilahi. Pandangan ini adalah kekeliruan fatal, sebuah istidraj halus, karena kita seharusnya menyadari bahwa semua anugerah bersumber dari kemurahan-Nya.
Hal ini sangat berbeda dengan keadaan sempit (kesusahan atau kemiskinan). Dalam kesempitan, nafsu tidak dapat menemukan celah untuk menawarkan kesenangan atau kesombongan. Sebaliknya, jiwa yang sempit akan merasakan kegelisahan dan kebutuhan yang mendalam kepada Sang Pencipta. Kondisi ini memaksa kita untuk segera kembali kepada-Nya. Kita tidak mungkin menjauhi dari-Nya, sebab kita menyadari bahwa hanya Dia yang dapat mengangkat kesulitan. Kesadaran ini membuat kita lebih tulus dalam doa dan lebih berhati-hati dalam menjaga adab bersama-Nya, sehingga kita justru dapat menarik rahmat dan rezeki-Nya.
Nikmat Hakiki: Waspada terhadap Karunia Duniawi yang Menipu
Hikmah kedua mengajari kita untuk menimbang setiap anugerah dengan timbangan akhirat, bukan dunia:
“Barangkali, Allah Swt. memberikan nikmat dunia kepada kita, namun menghalangi nikmat akhirat kepada kita. Dan, barangkali, Dia menghalangi nikmat dunia kepada kita, namun memberi nikmat akhirat kita.”
Pernyataan ini merupakan esensi dari taufīq (pertolongan Ilahi). Bisa jadi, Allah Swt. melimpahkan kepada kita kekayaan material—uang, rumah mewah, jabatan—tetapi jika semua itu justru membuat kita lalai, tidak pernah bersyukur, dan jauh dari ketaatan, maka anugerah itu telah berubah menjadi hukuman tersembunyi. Kita mengira itu adalah nikmat, padahal hakikatnya itu adalah bencana spiritual yang akan mengikis bekal akhirat kita.
Karunia Sangat Besar dalam Kondisi Kesulitan Dunia
Sebaliknya, Syekh Ibnu ‘Athaillah menyatakan, jikalau kita harus menjalani kehidupan yang penuh kesulitan dan kesengsaraan duniawi, namun kita tetap tabah dan setia menjalankan semua perintah-Nya, maka kita sesungguhnya sedang menerima karunia akhirat yang sangat besar. Kesengsaraan yang telah kita rasakan di dunia akan terhapus dan digantikan oleh kenikmatan abadi di surga-Nya. Semua yang belum kita dapatkan di dunia akan kita temukan di sana.
Tentu, kita wajib mengharapkan dan memohon tingkatan tertinggi, yaitu mendapatkan kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Kita memohon agar kekayaan dunia dijadikan alat ketaatan, bukan penghalang menuju-Nya.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
