Khazanah
Beranda » Berita » Menyingkap Hikmah Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam tentang Ikhtiar dan Keikhlasan Penghambaan

Menyingkap Hikmah Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam tentang Ikhtiar dan Keikhlasan Penghambaan

Ilustrasi hamba yang sedang merenungkan kemahabesaran Allah.
Ilustrasi hamba yang sedang merenungkan kemahabesaran Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam memberikan definisi yang tegas mengenai batas antara cita-cita yang sehat dan angan-angan yang membinasakan:

“Harapan adalah sesuatu yang diikuti oleh amalan. Jikalau tidak, maka ia hanyalah angan-angan.”

Penyakit Spiritual dan Duniawi yang Paling berbahaya

Kaidah ini menjelaskan bahwa penyakit spiritual dan duniawi yang paling berbahaya bagi orang yang mendambakan kesuksesan adalah khayalan  tanpa adanya aksi. Berapa banyak di antara kita yang memimpikan pencapaian besar, namun tidak ada langkah nyata yang ditempuh? Akibatnya, cita-cita luhur itu terperangkap selamanya dalam penjara angan-angan belaka.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari,  Syekh Ibnu ‘Athailla menjelsakan bahwa kita sering menyaksikan orang yang ingin memperbaiki taraf hidup dari kemiskinan menjadi kemakmuran. Namun, karena ia tidak melakukan perubahan pada kebiasaan dan usahanya, akhirnya ia hanya merasakan penderitaan yang berkelanjutan. Jikalau kita ingin sukses sejati, baik dunia maupun akhirat, maka kita wajib merancang rencana secara matang, dan yang terpenting, kita harus merealisasikannya dengan tindakan.

Prinsip yang sama berlaku mutlak dalam ibadah.  Syekh Ibnu ‘Athailla menjelaskan bahwa jikalau kita menginginkan kemuliaan surga atau bercita-cita menjadi hamba yang Dia cintai (mahbūb), kemudian kita hanya berdiam diri merenung tanpa mau mengerjakan amal saleh, maka hal tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan, kita dapat tergolong sebagai orang-orang yang tidak menggunakan akalnya dengan baik. Jikalau akal kita berfungsi sebagaimana mestinya, tentu kita tidak akan larut dalam lamunan kosong. Kita memahami bahwa hukum sebab-akibat Ilahi mengharuskan usaha: padi di sawah tidak akan tumbuh, kecuali telah ditanam dengan jerih payah. Oleh karena itu, marilah kita kuatkan harapan dan mimpi kita, tetapi segera kita tindak lanjuti dengan aksi amal yang nyata.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Permintaan Seorang Arif: Fokus pada Penghambaan dan Hak-Hak Ketuhanan

Syekh Ibnu ‘Athaillah  menjelaskan bahwa hikmah kedua menggarisbawahi kematangan spiritual seorang arif (orang yang mengenal Tuhan). Terutama dalam berdoa. Mereka tidak lagi memohon hal-hal duniawi, melainkan fokus pada kualitas hubungan mereka dengan Sang Pencipta. Syekh menegaskan:

“Permintaan orang-orang arif kepada Allah Swt. adalah jujur dalam ubudiyah (penghambaan) dan menjalankan hak-hak rububiyah (ketuhanan).”

Orang yang arif telah membebaskan dirinya dari obsesi terhadap permintaan duniawi yang fana. Kedalaman rasa spiritual yang ia miliki sudah menyatu dengan tujuan ibadah. Dalam hatinya, hanya ada fokus pada ketaatan. Jikalau ia mengangkat tangan untuk meminta, maka permohonan itu selalu berorientasi pada upaya mendekatkan diri dan memurnikan amal.

Pentingnya Menempatkan Kejujuran Hakiki dalam Ibadah

Sosok arif ini menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah, mampu menempatkan kejujuran hakiki dalam ibadah. Ia memosisikan Allah Swt. sebagai Dzat Yang Maha Esa (al-Wāhid) dan satu-satunya Penguasa (al-Rabb) di alam semesta. Ia menyadari sepenuhnya kelemahan dirinya; ia tidak mampu memberikan manfaat maupun mudharat kepada siapa pun tanpa izin Ilahi. Kesadaran ini mendorongnya untuk selalu berusaha mengagungkan dan memuliakan-Nya, menjalankan semua perintah-Nya, dan menjauhi semua larangan-Nya. Bagi seorang arif, ketaatan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar demi kepentingan duniawi.

Ia merendahkan diri sepenuhnya di hadapan-Nya untuk menyembah dan menyerahkan diri (istislām). Jikalau ia menginginkan sesuatu, maka ia hanya menginginkan Keridhaan-Nya. Masalah ubudiyah adalah hak prerogatif-Nya semata, tidak ada makhluk yang layak mendapatkannya. Itu adalah hak Dzat Yang Maha Kuasa.(St.Diyar)

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement