Khazanah
Beranda » Berita » Kearifan Sejati: Renungan Mendalam dari Al-Hikam

Kearifan Sejati: Renungan Mendalam dari Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang berikhtiar menyucikan hati.
Ilustrasi hamba yang berikhtiar menyucikan hati.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam, mengubah perspektif kita tentang doa dan permohonan:

“Sebaik-baik yang kita minta kepada Allah Swt. adalah sesuatu yang Dia minta dari kita.”

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering meminta dan memohon kepada Allah Swt. Baik meminta materi, ketenangan jiwa, terlepas dari bencana, dan lain sebagainya. Sebaik-baik permintaan adalah kemampuan kita untuk menjalankan perintah-Nya.

Jikalau Allah Swt. memerintahkan kita untuk mengerjakan shalat, maka marilah kita kerjakan. Kemudian jika Allah memerintahkan kita berpuasa pada bulan Ramadan, maka marilah kita kerjakan. Jikalau Dia memerintahkan kita mengeluarkan zakat, maka marilah kita keluarkan. Intinya, apa pun yang Dia perintahkan harus kita kerjakan. Sebab, mengerjakan semua perintah Allah Swt. merupakan jalan pembuka yang akan menuntun kita menuju karunia-Nya, walaupun kita sendiri tidak mengungkapkannya dalam doa.

Semua perintah dan larangan-Nya bertujuan mengeluarkan kita dari siksaan-Nya, dan memasukkan kita dalam lingkaran nikmat-Nya. Jadi, marilah kita jangan enggan untuk menjalankan setiap detail perintah-Nya, sebab itu adalah gerbang menuju rahmat-Nya.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Waspada Tertipu: Antara Penyesalan dan Kebangkitan

Hikmah kedua mengajarkan kita untuk waspada terhadap penyesalan yang pasif:

“Bersedih ketika kehilangan kesempatan menjalankan ketaatan, tanpa adanya usaha untuk bangkit dan mengerjakannya kembali, merupakan salah satu tanda seseorang telah tertipu.”

Jikalau kita tidak sempat atau kehilangan momen menjalankan suatu ketaatan, kemudian kita bersedih, maka itu adalah tanda kebaikan, bahkan kita akan mendapatkan ganjaran khusus dari Allah Swt. Hanya saja, jikalau kita terus larut dalam kesedihan, dan sama sekali tidak bangkit mengerjakannya di lain waktu, maka itu adalah tanda kita telah tertipu.

Jikalau hari ini kita melewatkan waktu berpuasa sunah, kemudian kita hanya menyesal tanpa ada usaha memperbaiki di kemudian hari, maka itu tidak ada manfaatnya sama sekali. Poin yang paling penting dan perlu kita kerjakan adalah langsung bergerak dan beraksi memperbaiki keadaan, jangan hanya menunggu dan bersedih.

Ibarat cita-cita, jikalau kita hanya bisa mengkhayal dan bermimpi, maka itu sama sekali tidak akan mengubah keadaan. Sama halnya ketika kita bercita-cita untuk menjadi pengusaha sukses, namun yang kita kerjakan hanyalah tidur dan bermimpi belaka, maka yang demikian itu tidak membuahkan hasil. Marilah kita sesali momen ketaatan yang kita lewatkan, tetapi jangan larut dalam kesedihan. Marilah kita segera beraksi memperbaiki keadaan dengan menghempaskan segala kelalaian.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Hakikat Seorang Arif (Bijak)

Terakhir, Syekh Ibnu ‘Athaillah mendefinisikan kearifan sejati:

“Tidak bisa disebut arif bila seseorang yang memberi isyarat maka ia merasa mendapati Allah Swt. lebih dekat kepadanya dari isyarat tersebut. Akan tetapi, orang yang arif adalah yang tidak memberikan isyarat karena ia fanā’ (lebur) dalam wujud-Nya dan larut dalam penyaksian-Nya.”

Tidak bisa kita sebut orang yang arif dan bijaksana bila seseorang ditunjukkan sesuatu tentang Allah Swt., kemudian ia merasa lebih dekat kepada-Nya karena merasakan kehadiran-Nya. Misalnya, ketika kita mengungkapkan bahasa-bahasa kiasan yang menunjukkan eksistensi-Nya, maka itu bukan berarti kita termasuk orang-orang yang arif. Kata-kata hikmah yang biasanya keluar dari lisan ahli hikmah atau para salihin adalah efek kedekatannya dengan Sang Pencipta, bukan semata mengada-ada.

Jikalau kita perhatikan perkembangan sastra di dunia ini, berapa banyak di antara mereka yang mampu membuat kata-kata indah dan syair-syair menawan? Namun, akidah mereka tidaklah lurus, bahkan tidak benar.

Orang yang arif adalah yang larut dalam wujud-Nya. Penulis menegaskan bahwa ini bukanlah berarti bentuk dari wihdatul wujud, yang dianggap sesat dalam tasawuf. Ini adalah penanda seorang hamba telah larut dalam ibadahnya dan merasa nikmat menjalankannya.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Jikalau seorang hamba telah mencapai tingkatan ini, maka ia akan mampu mengeluarkan kata-kata indah dan bijaksana dengan sendirinya.Bukan karena terpaksa. Ibarat seseorang yang sedang jatuh cinta, kata-kata yang keluar dari lisannya adalah kata-kata romantis yang ia sendiri bingung; bagaimana bisa kata-kata itu keluar dari lisannya? Cinta dan kerinduan memang bisa membuat seseorang yang tidak mengenal syair menjadi penyair ulung, membuat seorang penakut menjadi pemberani. Dan, itulah efek yang dirasakan oleh orang-orang yang larut dalam penyaksian-Nya, yaitu kebijaksanaan/kearifan.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement