SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam memberikan penjelasan yang mendalam dan memuliakan tentang alasan penciptaan akhirat. Beliau menyatakan:
“Allah Swt. menciptakan Negeri Akhirat sebagai tempat pembalasan bagi para hamba-Nya yang beriman, karena negeri ini (dunia) tidak akan mampu menampung sesuatu yang ingin Dia berikan kepada mereka. Selain itu, Dia juga ingin memuliakan mereka, yaitu dengan tidak memberikan balasan kepada mereka di negeri yang tidak abadi ini.”
Dua Hikmah Utama
Pernyataan ini mengandung dua hikmah utama. Pertama, besarnya karunia Ilahi melampaui kapasitas dunia yang terbatas. Nikmat yang telah Dia siapkan bagi orang beriman begitu agung dan tak terhingga sehingga alam fana ini tidak akan mampu mewadahinya. Kita harus membayangkan bahwa janji pahala itu adalah tabungan yang nilainya terus berlipat ganda, yang hanya bisa kita tunai dalam bentuk yang kekal. Kita tidak akan mampu menghitung atau memerinci betapa besarnya nikmat yang menanti kita.
Kedua, penciptaan akhirat merupakan tindakan pemuliaan (takrīm) dari Tuhan. Dia ingin memuliakan hamba-Nya dengan cara tidak membalas amal mereka di tempat yang akan hancur. Jikalau Dia membalas di dunia, maka nikmat itu bersifat sementara dan akan musnah bersama materi pada Hari Kiamat. Oleh karena itu, Dia menundanya hingga Hari Akhirat, di mana kehidupan bersifat abadi dan kemuliaan akan dapat kita nikmati selamanya. Di sana, para mukmin akan merasakan segala jenis kenikmatan: rumah yang megah, hidangan yang lezat, dan minuman yang menyegarkan. Mereka tidak akan terikat oleh aturan dunia, bahkan mereka bebas melakukan apa pun yang dilarang saat di dunia asalkan itu sesuai dengan aturan surga. Surga adalah puncak dari kebaikan.
Sebagai perbandingan, Syekh mencontohkan khamar surga yang jauh melampaui khamar dunia. Khamar dunia menyebabkan kita mabuk dan merusak akal, sementara khamar surga menghadirkan kenikmatan luar biasa tanpa merusak kesadaran. Inilah pembeda utama: dunia adalah ladang amal (mazra’ah), sedangkan akhirat adalah ladang pembalasan.
Karunia Dunia sebagai Indikasi Penerimaan
Hikmah selanjutnya memberikan penghiburan dan indikator spiritual bagi kita di dunia:
“Barang siapa yang mendapatkan buah amalannya ketika di dunia maka itu pertanda diterimanya amal tersebut di akhirat.”
Buah amalan yang Syekh Ibnu ‘Athaillah maksud bukanlah kekayaan materi, melainkan karunia spiritual yang tampak. Jikalau kita melihat seorang hamba mampu meraih cahaya kehidupan di hatinya—yaitu ketenangan batin (sakinah), semangat dalam beramal, dan bahkan mendapat kemudahan rezeki—maka ketahuilah bahwa itu adalah karunia Allah Swt. di dunia, diberikan sebagai hasil dari amal kebajikan yang telah ia lakukan.
Kita bisa melihat di lingkungan sekitar kita: jikalau kita menemukan seseorang yang saleh, yang kemudian ia terkenal dengan kebaikannya dan Dia berikan kemudahan harta, maka itu adalah tanda bahwa ia mendapatkan penerimaan dari kalangan penduduk langit.
Proses Penerimaan Berawal dari Allah
Syekh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan bahwa proses penerimaan ini bermula dari atas. Jikalau Allah Swt. mencintai seorang hamba, maka Dia akan memberitahukan rasa cinta-Nya itu kepada Jibril. Kemudian, Jibril mengumumkan kabar gembira ini kepada seluruh penduduk langit, sehingga mereka semua pun mencintai hamba tersebut. Sebagai puncaknya, Dia menganugerahkan kepada hamba itu penerimaan yang luas di kalangan penduduk bumi. Mereka mencintainya dan memuji kesalehan serta kebaikannya. Hal ini menunjukkan bahwa buah amalan di dunia, khususnya dalam bentuk cinta dan penerimaan universal, adalah sebuah isyārah (isyarat) akan diterimanya amal tersebut di sisi Ilahi.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
