SURAU.CO–Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam meletakkan kaidah mendasar mengenai etika seorang penuntut ilmu dan penyampai hikmah. Beliau berpendapat bahwa kebodohan tidak hanya terletak pada ketidaktahuan, tetapi pada ketidakmampuan menahan diri. Beliau menegaskan:
“Jikalau kita melihat seseorang yang menjawab setiap pertanyaan yang diungkapkan kepadanya, menjawab segala sesuatu yang dilihatnya, dan menyebutkan semua yang diketahuinya, maka itu adalah bukti kebodohannya.”
Pernyataan ini merupakan kritik tajam terhadap sikap sok tahu dan kurangnya adab dalam majelis ilmu. Jikalau kita menyaksikan seseorang yang selalu siap menjawab setiap pertanyaan tanpa jeda dan keraguan, marilah kita pahami bahwa itu adalah indikasi kebodohan, bukan kecerdasan. Kita harus menyadari bahwa mustahil bagi seorang manusia fana untuk menguasai segala bidang ilmu. Seringkali, keengganan untuk mengucapkan kata “Tidak tahu” bersumber dari rasa malu dan ego yang ingin dipertahankan di hadapan khalayak, padahal pengakuan ketidaktahuan adalah puncak dari kejujuran ilmiah.
Kita harus memposisikan diri di bawah Keagungan Allah Swt., Dzat Yang Maha Mengetahui segalanya. Coba kita renungkan teladan dari ulama besar, Imam Malik bin Anas. Ketika beliau didatangi oleh seorang musafir dari Baghdad dengan empat puluh masalah fikih yang rumit, Imam Malik hanya mampu menjawab tiga di antaranya. Sisanya, beliau jawab dengan jujur, “Saya tidak tahu.” Meskipun musafir itu sempat merasa kecewa karena perjalanannya yang jauh, Imam Malik dengan tegas memintanya untuk menyampaikan kepada kaumnya bahwa Imam Malik tidak mengetahui jawabannya. Teladan ini menunjukkan ketinggian adab dan kerendahan hati seorang ulama. Marilah kita berkaca; jika ulama sekaliber beliau saja mampu mengakui keterbatasannya, apakah kita pantas menyombongkan sedikit ilmu yang kita miliki? Kita yakin, kita jauh dari kesempurnaan ilmu beliau.
Etika dalam Mengungkapkan Pengalaman Spiritual
Selain itu, Syekh Ibnu ‘Athaillah juga mengingatkan tentang etika dalam mengungkapkan pengalaman spiritual atau pengamatan luar biasa. Jikalau kita melihat seseorang terlalu mudah mengungkapkan semua yang ia saksikan dalam pengamatan spiritual atau penglihatan batin, maka itu adalah tanda kebodohannya. Kita harus memahami bahwa tidak semua hakikat bisa dibahasakan secara lisan karena kedahsyatan dan keagungannya melampaui kemampuan kata-kata. Sebagai ilustrasi, kita tidak akan mampu menggambarkan Keindahan Allah Swt. di akhirat kelak secara verbal, sebab tidak ada perbendaharaan kata yang layak untuk melukiskan-Nya.
Poin terakhir mengenai adab dalam berilmu adalah tentang selektivitas. Seseorang yang selalu mengungkapkan setiap detail yang ia ketahui menunjukkan kurangnya kebijaksanaan. Kita harus menyaring ilmu yang akan kita sampaikan, karena tidak semua orang memiliki kapasitas akal yang sama untuk menerimanya. Marilah kita lihat terlebih dahulu tingkat pemahaman dan akal audiens kita. Ilmu yang kita sampaikan yang tidak sesuai dengan kemampuan akal penerima justru akan menimbulkan keraguan, kesalahpahaman, bahkan fitnah.
Berbicara Sesuai Kadar Akal Pendengar
Oleh karena itu, marilah kita berpegang pada nasihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra., yang menyatakan, “Berbicaralah dengan manusia sesuai dengan kadar akal mereka.” Kita harus menyajikan masalah sederhana kepada orang awam, sementara kita dapat berbicara dengan bahasa yang lebih teknis dan mendalam kepada para mahasiswa atau intelektual yang sudah terbiasa dengan konsep-konsep berat. Orang yang bijaksana akan selalu berpikir matang sebelum ia berbicara. Ia memperhatikan kondisi sekitar dan kondisi mental audiensnya. Itulah esensi hikmah dan kebijaksanaan sejati dalam pengajaran.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
