Khazanah
Beranda » Berita » Mutiara Al-Hikam : Dua Jalan Ruhani Menuju Tuhan

Mutiara Al-Hikam : Dua Jalan Ruhani Menuju Tuhan

Ilustrasi hamba yang menundukkan hati dalam doa yang tulus kepada Allah.
Ilustrasi hamba yang menundukkan hati dalam doa yang tulus kepada Allah.

SURAU.COSyekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam memperingatkan tentang bahaya istidraj tersembunyi:

“Di antara tanda kebodohan seorang murid adalah ketika ia tidak sopan (bermaksiat), kemudian hukumannya tidak disegerakan. Dia berkata, ‘Jikalau ini tidak sopan maka tentu bantuan akan diputus dan harus dijauhkan.’ Bisa jadi, bantuan itu diputuskan darinya, sedangkan ia tidak menyadarinya. Walaupun tidak ada pemutusan bantuan, tetapi yang akan terjadi adalah tidak adanya tambahan. Bisa jadi juga, ia akan ditempatkan di tempat yang jauh, sedangkan ia tidak menyadarinya. Bila ini tidak terjadi maka pasti kita akan dibiarkan berbuat sesuka hati kita.”

Tanda Kebodohan Spiritual

Di antara tanda kebodohan spiritual seorang pencari adalah ketika ia bersikap kurang ajar kepada Allah Swt., baik dalam perkataan maupun perbuatan, baik secara lahiriah maupun batiniah. Padahal, sikap ini harus kita ketahui dan kita kenali, jikalau kita ingin menuju-Nya. Jikalau kita tidak ingin mengenal-Nya, maka bagaimana mungkin kita akan sampai kepada-Nya?

Sebagai contoh, ketika kita meninggalkan shalat, maka ini adalah bentuk maksiat kepada-Nya. Pada saat itu, Allah Swt. memang tidak mengazabnya secara langsung, sehingga murid tersebut dapat berkata,

“Jikalau ini tergolong maksiat, maka tentu Allah Swt. akan memutuskan nikmat-Nya dariku, lalu menjauhkanku dari-Nya. Tetapi, kenyataannya tidak demikian.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kepada orang yang seperti ini, kita harus mengatakan bahwa ia telah mendapatkan azab-Nya, hanya saja ia tidak menyadari. Bisa jadi, nikmat yang ia dapatkan tidak pernah bertambah sedikit pun. Itulah azab yang paling minimal. Namun, bisa juga lebih dari itu, yaitu kehilangan harta benda, atau terkena musibah. Itu adalah salah satu cara Allah Swt. menghilangkan nikmat dari hamba-Nya. Dia mampu melakukan apa saja yang Dia inginkan.

Jikalau kita merasa sama sekali tidak dijauhkan dari rahmat-Nya, maka kita salah besar. Bisa jadi, ketika kita dibiarkan bermaksiat kepada-Nya, maka itu adalah azab bagi kita. Apakah kita tidak menyadari bahwa semakin banyak maksiat yang kita lakukan, semakin besar pula kesempatan kita menghuni neraka-Nya? Marilah kita sadari bahwa kita diuji oleh Allah Swt. agar kita sadar bahwa semua itu merupakan kenikmatan yang tersembunyi. Jikalau kita masih merasa aman, maka itu adalah kesalahan yang nyata dalam berpikir.

Nikmat Terbesar: Wirid sebagai Karunia

Hikmah kedua mengajarkan kita untuk menghargai anugerah spiritual dan tidak menilai orang lain berdasarkan ciri lahiriah:

“Jikalau kita melihat seorang hamba yang ditempatkan oleh Allah Swt. pada posisi yang membuatnya mampu menjalankan berbagai wirid secara kontinu dan terus-menerus mendapatkan batuan-Nya, maka janganlah kita merendahkan sesuatu yang Dia berikan kepadanya, hanya karena kita tidak melihat pada dirinya ciri orang-orang yang arif dan cahaya para pencinta. Jikalau bukan karena karunia-Nya maka tentu tidak akan ada wirid.”

Jikalau kita melihat seorang hamba Allah Swt. yang selalu menjalankan wirid kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa itu adalah karunia-Nya yang Dia berikan kepada para hamba-Nya yang Dia cintai.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Kita jangan menyangka bahwa orang yang berhak mendapatkan karunia-Nya itu terpancar dari ciri-ciri fisik belaka. Tidak, sekali lagi tidak. Orang yang bijaksana tidak harus tampak dari raut mukanya. Orang yang mencintai-Nya tidak harus tampak dari cahaya wajahnya, walaupun sebagian besar tandanya memang seperti itu.

Jikalau seorang hamba diberikan kesempatan oleh Allah Swt. untuk selalu berzikir dan mengingat-Nya, maka itu adalah karunia besar yang tidak bisa kita bandingkan dengan apa pun yang ada di dunia ini. Efek yang akan ditimbulkannya adalah ketenangan hati dan ketenteraman jiwa. Dan, ini sama sekali tidak bisa kita beli dengan apa pun.

Berapa banyak kita melihat orang-orang yang tidak mendapatkan kesempatan mengingat-Nya? Pikiran mereka selalu berseliweran dalam urusan-urusan dunia saja; rumah mewah, wanita, mobil mewah, dan lain sebagainya. Hanya itu yang menjadi pusat perhatian mereka. Coba lihatlah di sekeliling kita. Berapa banyak orang kaya yang hidup sengsara; padahal mereka memiliki semua materi yang mereka inginkan. Jadi, kemampuan menjalankan wirid adalah sebuah anugerah besar. Banyak orang yang menginginkan dan merindukannya, namun hanya sedikit yang berhasil mendapatkannya.

Khidmah dan Mahabbah: Dua Jalan Menuju Karunia Tak Terbatas

Hikmah terakhir menggambarkan dua jalan besar menuju Tuhan:

“Ada suatu kaum yang ditempatkan oleh Allah Swt. untuk berkhidmat kepada-Nya, dan ada pula kaum yang dikhususkan untuk mencintai-Nya. Kepada masing-masing mereka, baik kelompok pertama maupun kedua, kami berikan karunia Tuhan kita, dan karunia Tuhan kita tidaklah terbatas.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Di antara para hamba Allah Swt., ada yang Dia tempatkan pada posisi melayani-Nya (khidmah). Mereka mempersembahkan segenap jiwa dan raga mereka demi mendapatkan ridha-Nya.  Kemudian mereka menjauhi segala sesuatu yang membuat-Nya murka. Mereka rela mengorbankan jiwa dan raga mereka demi meninggikan kalimat-Nya di muka bumi ini. Hidup dan mati mereka hanyalah untuk-Nya semata.

Pada saat yang bersamaan, ada juga di antara para hamba Allah Swt. yang Dia tempatkan pada posisi mencintai-Nya (mahabbah). Hati dan perasaan mereka penuh dengan rasa cinta kepada-Nya. Mereka senantiasa rindu untuk mendekatkan diri ke hadirat-Nya. Ibarat orang yang mabuk kerinduan, keinginan mereka hanyalah bersama kekasih. Bagi mereka, ibadah adalah kebutuhan primer yang akan membuat mereka selalu dekat dengan Kekasih mereka.

Syekh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan bahwa masing-masing kelompok, baik yang mempersembahkan hidup mereka untuk melayani-Nya maupun yang mengabdikan diri untuk mencintai-Nya, sama-sama Dia berikan karunia dari-Nya. Itulah yang akan mengantar mereka menuju tingkatan yang sebenarnya. Marilah kita berdoa kepada Allah Swt. agar Dia memasukkan kita ke dalam salah satu kelompok ini. Jangan sampai kita justru berada di luar keduanya, sebab itu berarti kita berada dalam kerugian yang nyata.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement