SURAU.CO–Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam memberikan kaidah tentang konsekuensi sikap batin kita:
“Barang siapa yang tidak menghadap kepada Allah Swt. dengan pemberian yang halus (ihsan), maka akan diikatkan padanya rantai-rantai ujian.”
Jikalau kita mengenal-Nya, maka kita akan menghadap-Nya dan beribadah kepada-Nya dengan ihsan (beribadah seolah melihat-Nya) dan penuh kelembutan. Ini adalah sifat yang sangat Dia sukai dan Dia harapkan dari para hamba-Nya. Bukankah Dia telah memberikan kita limpahan nikmat dan rezeki? Kita bisa bernapas karena nikmat-Nya. Kita bisa hidup pun karena karunia-Nya. Oleh karena itu, marilah kita jangan menghadap-Nya, kecuali dengan ihsan.
Jikalau kita tidak menghadap kepada-Nya dengan ihsan, maka Dia akan menguji kita dengan berbagai musibah. Sehingga, kita akan mengadu kepada-Nya dengan penuh kehinaan dan kerendahan. Apakah kita tidak memperhatikan orang-orang yang tertimpa musibah atau bencana kematian yang menghadap kepada-Nya? Seolah-olah mereka beribadah dan mengetahui detik kematian mereka. Marilah kita berlaku ihsan dalam setiap ibadah yang kita lakukan. Kita jangan menunggu turunnya musibah terlebih dahulu. Baik dalam keadaan senang maupun menderita, ihsan itu harus terus ada dalam ibadah.
Mensyukuri Nikmat dan Konsekuensi Keingkaran
Hikmah selanjutnya menjelaskan hukum sebab-akibat nikmat:
“Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat maka ia telah menyerahkan diri untuk kehilangan nikmat itu. Dan, barang siapa yang mensyukurinya maka ia telah mengikat nikmat itu dengan erat.”
Jikalau kita tidak mensyukuri nikmat yang telah Dia berikan, baik harta, kesehatan, anak-anak, dan lain sebagainya, maka sebenarnya kita sedang mempersiapkan diri untuk kehilangan nikmat tersebut. Marilah kita jangan membalas kenikmatan yang Dia berikan dengan perbuatan maksiat yang kita lakukan.
Syekh Ibnu ‘Athaillah mengajak kita mensyukuri semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Selain mendapatkan tambahan nikmat, kita juga akan mendapatkan pahala dan kenikmatan ruhiyah yang tidak bisa kita bandingkan dengan apa pun di dunia ini. Jikalau kita bersyukur, maka sebenarnya kita sedang mengikat dengan kuat nikmat-Nya yang telah Dia berikan kepada kita. Semakin kita bersyukur, semakin banyak pula nikmat-Nya yang akan Dia berikan kepada kita. Syukur akan berbuah nikmat, sedangkan ingkar akan berbuah sengsara.
Waspada Jebakan Istidraj
Terakhir, Syekh Ibnu ‘Athaillah memberikan peringatan keras tentang tipuan halus:
“Takutlah terhadap kebaikan Allah Swt. kepada kita, sedangkan kita senantiasa berbuat jahat kepada-Nya. Sebab, boleh jadi kebaikan itu adalah bentuk istidraj. ‘Kami akan menarik mereka secara berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui.'”
Jikalau kita terus-menerus bermaksiat kepada-Nya, sedangkan Dia tidak menurunkan azab, tetapi Dia senantiasa melimpahkan nikmat-Nya kepada kita, maka marilah kita takut kepada azab Allah Swt. Sebab, yang demikian itu adalah bentuk istidraj, yaitu kita diangkat setinggi-tingginya, kemudian kita dihempaskan ke tanah sekeras-kerasnya.
Kita jangan tertipu oleh nikmat dan kesenangan yang kita rasakan. Semua itu adalah milik-Nya. Kita jangan sampai Dia azab dengan nikmat-Nya, sebab yang demikian itu jauh lebih menyakitkan daripada siksa-Nya.
Terkadang, di masyarakat, di antara mereka ada yang bertanya,
“Kenapa si Fulan yang selalu berzina, berjudi, mabuk, dan lain sebagainya, rezekinya terus melimpah dan tidak mengalami penderitaan hidup sedikit pun?”
Kepada orang ini, kita mengatakan bahwa semua itu adalah istidraj. Jikalau orang yang bermaksiat tersebut tidak bertaubat, maka tidak akan lama lagi Allah Swt. akan mengazabnya dengan siksaan yang pedih, yang tidak akan pernah ia lupakan sepanjang hidup.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
