Khazanah
Beranda » Berita » Mengapa Ketaatan Bukan Prestasi? Pelajaran Tauhid dari Al-Hikam

Mengapa Ketaatan Bukan Prestasi? Pelajaran Tauhid dari Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang tenggelam dalam doa kepada Allah.
Ilustrasi hamba yang tenggelam dalam doa kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam  mengungkap mekanisme penerimaan hakikat Ilahi dalam diri manusia dengan membagi peran spiritual menjadi tiga:

“Cahaya sebagai pembuka rahasia, mata hati sebagai pemberi penilaian, sedangkan hati yang akan menerima atau menolaknya.”

Cahaya, yang merupakan anugerah dari Allah Swt., diberikan kepada hati orang-orang beriman. Cahaya ini memiliki kemampuan unik untuk menyingkap berbagai hakikat dan rahasia yang tersembunyi di alam semesta. Ketika terjadi peristiwa yang samar atau tabu di mata manusia awam, cahaya tersebut mampu mengungkapkan hikmah dan pelajaran mendalam yang tersembunyi di baliknya. Kemampuan spiritual ini hanya bisa dimiliki oleh mereka yang terus membersihkan hati mereka dari segala kotoran duniawi.

Mata Hati Sebagai Penilai Moral dan Spiritual

Pada tingkat yang lebih rendah, mata hati (bashirah) berfungsi sebagai perangkat penilaian moral dan spiritual. Ia mampu menilai suatu perkara sesuai dengan hakikatnya yang murni. Jikalau suatu tindakan itu benar, maka mata hati akan membenarkannya. Sebaliknya, jikalau tindakan itu salah, maka mata hati akan menolaknya. Mata hati tidak pernah berbohong. Oleh karena itu, jikalau kita berada dalam kebimbangan atau keraguan moral, kita perlu merujuk pada mata hati kita; ia akan memberikan jawaban yang jujur.

Sedangkan hati (qalb) —pusat dari kesadaran dan keimanan—selalu mengalami fluktuasi antara kejernihan dan kegelapan. Hati yang sedang bercahaya mampu menangkap dan menyingkap hikmah serta rahasia di balik segala peristiwa. Cara agar hati tetap bercahaya adalah kita asah secara terus-menerus dengan ketaatan dan amal-amal saleh. Sebaliknya, jikalau hati sedang gelap, maka ia akan gagal menangkap rahasia spiritual apa pun. Hati yang gelap adalah hasil akumulasi perbuatan maksiat dan dosa. Semakin tebal debu maksiat yang menumpuk, maka hati akan semakin tertutup dari pancaran cahaya Allah Swt.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ketaatan sebagai Anugerah, Bukan Prestasi Diri

Melanjutkan ajaran tentang kondisi hati, Syekh Syekh Ibnu ‘Athaillah kemudian meluruskan pandangan kita terhadap amal kebaikan:

“Janganlah kita bahagia karena bisa melakukan ketaatan. Tetapi, berbahagialah atas dasar ketaatan sebagai karunia dari Allah Swt. untuk kita.”

Kita dilarang merasa senang karena kita telah berhasil melaksanakan ketaatan. Perasaan senang yang berlebihan ini dapat berujung pada egoisme dan sikap merasa hebat (ujub). Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa semua ketaatan yang kita lakukan—sekecil apa pun itu—adalah semata-mata atas kehendak-Nya (tawfiq).

Oleh karena itu, kebahagiaan sejati seharusnya muncul karena Dia telah menganugerahkan nikmat untuk taat kepada kita. Rasa syukur ini membuat kita bisa mengerjakan shalat, berpuasa, berzakat, haji, dan ibadah lainnya. Jikalau bukan karena karunia dan izin-Nya, maka kita tidak akan mampu menggerakkan anggota badan kita untuk taat.

Pentingnya Memfokuskan Diri pada Pandangan Allah

Sebagai hamba, Syekh Ibnu ‘Athaillah berpesan seharusnya kita memfokuskan pandangan kepada Allah dalam segala perbuatan yang kita lakukan, bukan memfokuskan pandangan kepada diri sendiri (pelaku ketaatan). Seseorang yang meniadakan keberadaan dirinya (merasa diri fakir dan tidak berdaya) di hadapan Keagungan-Nya, maka ia akan selalu merasa hina dan kecil, serta yakin tidak mampu berbuat apa-apa tanpa bantuan Ilahi. Sebaliknya, jikalau seseorang hanya melihat kepada diri sendiri, maka ia akan mudah menjadi congkak dan sombong. Kita dapat merasa seolah-olah semua ketaatan itu adalah jerih payah dan prestasi pribadi, tanpa adanya campur tangan Tuhan. Ini adalah sebuah kesalahan besar dalam tauhid yang harus kita bersihkan dari hati kita. (St.Diyar)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement