SURAU.CO. Dunia Islam mengenal banyak sosok sufi dengan kisah hidup yang inspiratif. Salah satu tokoht adalah Malik bin Dinar. Namanya terus melegenda hingga saat ini. Ia memiliki banyak cerita penuh hikmah yang menjadi teladan bagi umat. Salah satu cerita paling terkenal adalah pengalamannya saat menaiki kapal tanpa uang. Peristiwa ini menjadi alasan kuat orang-orang memanggilnya dengan julukan “Bin Dinar”.
Kisah bermula ketika Malik bin Dinar melakukan perjalanan jauh. Ia memilih menumpang sebuah perahu untuk mencapai tujuannya. Kapal tersebut melaju membelah lautan lepas. Di tengah perjalanan, para awak kapal mulai bekerja menagih ongkos kepada penumpang. Mereka meminta bayaran sebagai imbalan jasa penyeberangan.
Tak Punya Ongkos
Para pekerja kapal mendatangi Malik. Mereka berkata dengan tegas, “Bayarlah ongkos perjalananmu!”
Malik menjawab dengan sangat tenang dan lembut. Ia berkata jujur mengenai kondisinya, “Aku tak punya uang untuk membayar ongkos perahu ini.”
Para awak kapal ternyata tidak menerima alasan tersebut. Emosi mereka langsung tersulut mendengar jawaban polos dari penumpangnya. Mereka lantas memukuli Malik bin Dinar tanpa ampun. Pukulan bertubi-tubi itu membuat Malik jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Beberapa saat kemudian, Malik mulai siuman. Namun, penderitaannya belum berakhir. Para awak kapal kembali datang dan menagih dengan paksaan.
Mereka membentak, “Bayarlah ongkos perjalananmu!” Nada bicara mereka terdengar jauh lebih galak dari sebelumnya.
Namun Malik tetap konsisten dengan jawabannya dengan berkata, “Aku tidak punya uang.”
Kejujuran itu justru berbuah petaka. Malik bin Dinar kembali mendapatkan kekerasan. Pukulan demi pukulan membuatnya pingsan untuk kedua kalinya.
Situasi semakin memanas ketika Malik sadar kembali. Para awak kapal mendesaknya untuk ketiga kali. Mereka tidak mau tahu alasan apa pun.
“Bayarlah ongkos perjalananmu!” ucap awak kapal dengan penuh tekanan.
Jawaba Malik tetap sama yaitu tidak ada uang untuk membayar.
Amarah para awak kapal sudah memuncak. Kesabaran mereka habis. Salah satu dari mereka kemudian berseru dengan lantang, “Ayo kita usir dan lemparkan dia ke laut.”
Keajaiban Ikan
Tepat saat mereka hendak melempar tubuh Malik, sebuah keajaiban besar terjadi. Allah SWT menunjukkan kuasa-Nya untuk melindungi hamba yang saleh. Para awak kapal tiba-tiba tercengang melihat pemandangan di permukaan laut.
Mereka melihat banyak ikan mendongakkan kepala ke atas air. Hal yang lebih ajaib terjadi. Masing masing ikan itu ternyata membawa dua keping dinar emas. Masing masing ua ada pada mulutnya. Pemandangan ini membuat semua orang di atas kapal terdiam kaku.
Malik bin Dinar kemudian menjulurkan tangannya ke ikan dan mengambil dua keping dinar dari mulut salah satu ikan. Ia menyerahkan uang emas tersebut kepada awak perahu sebagai ongkos perjalanan.
Para pelaut segera menyadari kesalahan besar mereka. Mereka langsung berlutut dan meminta maaf kepada Malik. Namun, Malik memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan bersama mereka.
Kejadian aneh kembali terjadi. Ia turun dari perahu dan berjalan di atas air meninggalkan mereka. Peristiwa tersebut yang membuat nama dinar kemudian melekat pada dirinya.
Sosok Sang Ulama
Siapakah sebenarnya sosok luar biasa ini? Kitab Tadzkirul Auliya karya Fariduddin Atthar mencatat latar belakangnya. Dalam riwayat menyebut Malik bin Dinar merupakan anak dari seorang budak Persia. Meski demikian, ia telah merdeka sepenuhnya bahkan tumbuh menjadi ulama besar dari kalangan tabiin.
Bernama lengkap Abu Yahya Malik bin adalah pria berasal dari kabilah al-Sami. Malik menimba ilmu dari guru-guru terbaik pada zamannya. Ia merupakan salah satu murid dari Abu Said bin Abul-Hasan Yasar al-Basri. Kita mengenalnya dengan nama populer Hasan al-Basri, seorang sufi ternama sepanjang masa.
Kredibilitas sebagai Ahli Hadis
Selain itu sufi yang satu ini populer dalam kapasitas intelektual yang mumpuni dalam ilmu agama. Bahkan telah mendapatkan pengakuan banyak pihak. Para ulama mengenalnya sebagai ahli hadis yang terpercaya. Ia meriwayatkan hadis dari rantai otoritas (sanad) periode awal. Guru-gurunya dalam bidang hadis antara lain Anas bin Malik dan Ibnu Sirin.
Imam ad-Dzahabi menulis banyak hal tentang Malik dalam kitab Siyaru A’lami an-Nubala. Kitab tersebut menampilkan beragam komentar positif para ulama. Imam an-Nasai dan Imam al-Bukhari juga memastikan kualitas hadis riwayat Malik bin Dinar memiliki derajat hasan (baik).
Kitab tersebut juga mengutip pendapat ahli hadis lain. Imam Ali bin al-Madini menyebut beliau meriwayatkan 40 hadis. Kabar baiknya, semua hadis tersebut memiliki derajat hasan. Hal ini membuktikan bahwa Malik adalah sosok yang jujur dan memiliki hafalan yang baik.
Akhir Hayat
Selain bergelut di dunia tasawuf dan hadis, Malik memiliki bakat seni. Ia masyhur sebagai seorang ahli kaligrafi Al-Quran terkemuka. Ia menulis mushaf dengan tangannya sendiri untuk mencari nafkah yang halal.
Para sejarawan berbeda pendapat mengenai tahun kelahirannya. Tidak ada catatan pasti mengenai tanggal lahir sang sufi. Namun, ia hidup satu zaman dengan Imam Malik bin Anas. Ia juga sempat menjumpai masa hidup Sayyidina Ali bin Abi Thalib, suami Sayyidah Fatimah az-Zahra.
Imam Muhammad ar-Rabi’i memberikan data tentang wafatnya sang ulama. Ia mencatat dalam kitab Tarikhu Maulidil ‘Ulama wa Wafayatihim bahwa Malik wafat pada tahun 129 H. Pendapat lain menyebutkan beliau wafat sekitar tahun 130 H atau 748 M. Ia menutup usia pada umur yang sangat sepuh, yakni 90 tahun.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
