Surau.co. Bahasa Arab adalah bahasa yang hidup dan dinamis. Setiap harakat, posisi kata, dan tanda i‘rab memiliki makna yang dapat mengubah arah kalimat secara keseluruhan. Salah satu aspek penting dalam tata bahasa Arab adalah isim manshūb, yaitu kata benda yang berada dalam keadaan nasab (fathah atau tanda serupa) karena sebab tertentu dalam struktur kalimat. Dalam kajian Laamiyyah Asy-Syabrowiy karya Syaikh Jamaluddin Asy-Syabrowiy, isim manshūb tampil bukan hanya sebagai unsur gramatikal, melainkan sebagai fondasi yang menggerakkan makna dan ritme bahasa.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Al-Qur’an berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf [12]: 2)
Ayat ini menegaskan bahwa keindahan bahasa Arab bukan sekadar estetik, tetapi juga logis. Syaikh Jamaluddin Asy-Syabrowiy memahami hal ini, dan melalui Laamiyyah-nya, beliau menampilkan gramatika yang hidup — di mana isim manshūb menjadi aktor utama yang menggerakkan makna.
Isim Manshūb: Gerak Harakat yang Menentukan Makna
Secara linguistik, isim manshūb adalah kata benda yang mengalami perubahan harakat akhir menjadi fathah (ـَ) atau tanda serupa (alif, ya, kasrah pengganti) karena sebab tertentu dalam kalimat. Isim manshūb muncul dalam banyak fungsi, seperti menjadi maf‘ūl bih (objek), maf‘ūl fīh (keterangan waktu/tempat), hal, tamyīz, dan sebagainya.
Ulama nahwu klasik seperti Ibnu Malik dalam Alfiyyah-nya menjelaskan:
وَالنَّصْبُ فِي الْكَلَامِ لِفِعْلٍ أَوْ سَبَبْ
كَكَوْنِهِ مَفْعُولَ فِيهِ أَوْ نُصِبْ
“Nasab dalam kalimat terjadi karena fi‘il atau sebab,
seperti menjadi maf‘ūl fīh atau lainnya yang dinasabkan.”
Dalam Laamiyyah Asy-Syabrowiy, berbagai bentuk manshūb digunakan dengan fungsi yang bervariasi. Setiap bentuk membawa nuansa makna tersendiri. Ketika sebuah kata dalam nazham dinasabkan, ia “bergerak” dari keadaan netral menuju fungsi semantik yang lebih aktif.
Isim Manshūb sebagai Maf‘ūl Bih: Objek yang Menghidupkan Kalimat
Dalam banyak bait Laamiyyah Asy-Syabrowiy, ditemukan penggunaan isim manshūb dalam posisi maf‘ūl bih, yaitu objek langsung dari fi‘il (kata kerja). Bentuk ini sangat dominan karena berfungsi memperjelas arah tindakan.
Contohnya terdapat dalam bait berikut:
طَلَبْتُ الْعِلْمَ لِرِضَى الْمَوْلَى سُبْحَانَهُ
وَسَعَيْتُ فِي الْخَيْرِ حَتَّى أَجِدَ السَّبِيلَ
“Aku menuntut ilmu demi keridaan Sang Pemilik Segala,
dan berusaha dalam kebaikan hingga menemukan jalan.”
Kata الْعِلْمَ dalam bait pertama berharakat fathah karena berfungsi sebagai maf‘ūl bih dari fi‘il ṭalabtu (aku menuntut). Demikian pula الْخَيْرِ dalam bait kedua menunjukkan hubungan fi‘il dan objek secara jelas, memperlihatkan kesinambungan antara perbuatan dan sasaran.
Struktur ini menunjukkan penguasaan Syaikh Jamaluddin terhadap sistem nahwu Arab klasik. Beliau menata kalimat sedemikian rupa agar irama syair tidak hanya indah didengar tetapi juga gramatikal sempurna.
Isim Manshūb sebagai Hal: Menggambarkan Keadaan yang Bergerak
Fungsi lain yang sering muncul dalam Laamiyyah Asy-Syabrowiy adalah isim manshūb sebagai hal, yaitu kata benda yang menjelaskan keadaan pelaku atau objek saat peristiwa terjadi. Penggunaan hal menambah kekayaan visual dan makna gerak dalam nazham.
Sebagai contoh, dalam salah satu bait disebutkan:
أَقْبِلْ عَلَى الْعِلْمِ مُخْلِصًا وَمُجْتَهِدًا
فَإِنَّ الإِخْلَاصَ يُبْرِزُ ثَمَرَةَ الْعَمَلِ
“Hadapkan dirimu pada ilmu dengan ikhlas dan sungguh-sungguh,
karena keikhlasan menampakkan buah amal.”
Kata مُخْلِصًا dan مُجْتَهِدًا berfungsi sebagai hal, menjelaskan keadaan subjek anta (engkau) dalam perintah aqbil. Keduanya berada dalam posisi manshūb karena mengikuti fi‘il amar yang mengandung makna aktif.
Dengan struktur seperti ini, kalimat menjadi lebih hidup. Gerak pelaku tampak jelas, dan makna “bergerak menuju ilmu” menjadi konkret. Dari sisi gramatikal, Syaikh Jamaluddin memperlihatkan pemahaman mendalam terhadap fungsi hal sebagai unsur yang memperkaya narasi tanpa merusak keseimbangan irama syair.
Isim Manshūb sebagai Maf‘ūl Liajlih: Sebab yang Menjelaskan Tujuan
Dalam bahasa Arab, isim manshūb juga digunakan untuk menjelaskan sebab atau tujuan, dikenal dengan istilah maf‘ūl li ajlih. Bentuk ini menunjukkan mengapa sebuah perbuatan dilakukan.
Sebagaimana dalam firman Allah Swt.:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyāt [51]: 56)
Dalam ayat ini, kata لِيَعْبُدُونِ menunjukkan sebab penciptaan, dan konsep ini tercermin dalam struktur isim manshūb pada karya Syaikh Jamaluddin.
Dalam bait beliau disebutkan:
تَعَلَّمْتُ النَّحْوَ لِتَفْهَمَ كَلَامَ الرَّبِّ
فَفِي تَدَبُّرِهِ فَضْلٌ وَعَظَمَةٌ
“Aku mempelajari ilmu nahwu agar memahami firman Tuhan,
karena dalam tadabbur itu terdapat keutamaan dan kebesaran.”
Kata لِتَفْهَمَ menandai tujuan pembelajaran, sementara konteksnya menjelaskan sebab tindakan — sesuai fungsi maf‘ūl li ajlih. Dalam konteks ini, struktur manshūb bukan hanya bentuk tata bahasa, tetapi sarana menjelaskan hubungan logis antara sebab dan tujuan.
Isim Manshūb sebagai Tamyīz: Penjelas Makna yang Samar
Fungsi tamyīz (penjelas) adalah salah satu bentuk manshūb yang digunakan untuk menghilangkan ambiguitas makna. Dalam Laamiyyah Asy-Syabrowiy, bentuk ini digunakan untuk memperjelas pernyataan yang bersifat umum.
Contoh penggunaan bisa dijumpai dalam bait berikut:
زِدْ عِلْمًا يَا طَالِبَ الْعِلْمِ تَفُزْ فَوْزًا كَبِيرًا
“Tambahkan ilmumu, wahai penuntut ilmu, niscaya engkau akan meraih kemenangan yang besar.”
Kata فَوْزًا dengan arti kemenangan di sini berfungsi sebagai tamyīz yang menjelaskan (kabīrā) yang besar. Secara gramatikal, fawzan berada dalam keadaan manshūb untuk menegaskan makna umumnya. Struktur seperti ini membuat kalimat menjadi tegas dan menghindari ambiguitas.
Ulama nahwu seperti Az-Zamakhsyari dalam Al-Mufassal menyebutkan:
التَّمْيِيزُ يُنْصَبُ لِإِزَالَةِ الإِبْهَامِ
“Tamyīz dinasabkan untuk menghilangkan ketidakjelasan.”
Syaikh Jamaluddin menerapkan kaidah ini dengan indah, menunjukkan bahwa beliau menguasai perincian teknis nahwu tanpa kehilangan rasa estetik syair.
Isim Manshūb dalam Struktur Nadzham: Keseimbangan antara I‘rab dan Irama
Satu keunikan dari Laamiyyah Asy-Syabrowiy terletak pada keseimbangan antara struktur nahwu dan ritme syair (wazn). Dalam nazham, setiap kata harus tunduk pada pola irama, namun tetap mematuhi hukum i‘rab.
Penggunaan isim manshūb sering kali menjadi kunci agar bait tetap seimbang. Misalnya, perubahan harakat menjadi fathah tidak hanya memenuhi hukum nahwu, tetapi juga mempertahankan irama fa‘ilātun fa‘ilātun fa‘ilun yang khas dalam nazham Arab klasik.
Dalam konteks ini, manshūb menjadi elemen yang “bergerak” dua arah: secara sintaksis mengikuti hukum kalimat, dan secara prosodik mengikuti ketukan irama. Keseimbangan semacam ini menunjukkan kecanggihan teknis penyair sekaligus ketelitian seorang ahli nahwu.
Perbandingan Nahwu: Asy-Syabrowiy dalam Tradisi keilmuan Klasik
Syaikh Jamaluddin Asy-Syabrowiy berdiri di atas tradisi nahwu klasik yang diwarisi dari para ulama Basrah dan Kufah. Pemahaman terhadap isim manshūb dalam karya beliau memperlihatkan perpaduan antara dua aliran tersebut: ketelitian Basrah dan kelonggaran Kufah.
Sebagai contoh, dalam kasus maf‘ūl ma‘ah (objek yang menyertai), Syaikh Jamaluddin mengikuti pendekatan Kufah yang lebih longgar terhadap tanda manshūb. Namun dalam penentuan tamyīz dan hal, beliau lebih condong pada metode Basrah yang ketat dalam alasan penasabannya.
Keseimbangan ini menegaskan bahwa Laamiyyah Asy-Syabrowiy bukan hanya karya sastra, melainkan juga kitab pedagogis bagi santri dalam memahami struktur gramatikal Arab secara aplikatif.
Penutup
Isim manshūb dalam Laamiyyah Asy-Syabrowiy adalah bukti bahwa gramatika Arab tidak pernah statis. Ia hidup dalam setiap gerak harakat, mengubah fungsi, mempertegas makna, dan menjaga harmoni kalimat. Dalam setiap fathah yang ditorehkan, terdapat “gerak makna” yang menjadikan bahasa Arab begitu kaya dan berwibawa.
Syaikh Jamaluddin Asy-Syabrowiy melalui karya ini mengajarkan bahwa memahami i‘rab bukan hanya perkara teori, tetapi juga seni membaca kata. Dengan memahami manshūb, seorang pelajar dapat melihat bagaimana makna “bergerak” dari struktur kalimat menjadi pesan yang utuh.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Belajar nahwu, termasuk isim manshūb, adalah bagian dari upaya memahami Al-Qur’an dengan benar. Maka, ketika seorang pelajar menguasai manshūb, sesungguhnya ia sedang menapaki jalan menuju pemahaman yang lebih baik terhadap kalam Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
