Surau.co. Dalam ilmu nahwu, setiap kata Arab mengalami perubahan harakat akhir sesuai posisinya dalam kalimat. Perubahan itu disebut i‘rāb (الإعراب), dan menjadi kunci untuk memahami makna kalimat secara tepat. Di antara kelompok isim yang paling penting untuk dipelajari adalah Marfū‘āt al-Asmā’ (المرفوعات من الأسماء) — kelompok isim yang berharakat raf‘ atau berakhiran ḍammah.
Syaikh Jamāluddīn Asy-Syabrowiy dalam Nadzham Lāmiyyah-nya menegaskan bahwa memahami marfū‘āt adalah pintu utama untuk membaca Al-Qur’an dan hadis dengan benar. Melalui bait-bait nadzhamnya, beliau menjelaskan bahwa fā‘il, nā’ibul fā‘il, mubtada, dan khabar merupakan inti dari struktur kalimat Arab.
Makna dan Ruang Lingkup Marfū‘āt al-Asmā’
Kata marfū‘ secara bahasa berarti “yang diangkat”. Dalam istilah nahwu, marfū‘āt al-asmā’ adalah kumpulan isim yang tanda i‘rāb-nya berupa raf‘ (yakni harakat ḍammah atau penggantinya seperti alif, wāw, dan nūn).
Syaikh Asy-Syabrowiy dalam nadzhamnya menyebutkan:
وَارْفَعْ بِضَمٍّ كُلَّ مَا قَدْ سُمِّيَا
مَرْفُوعَ إِسْمٍ فَاحْفَظَنْ وَاعْلَمْ تَقِيَاAngkatlah dengan ḍammah setiap isim yang disebut marfū‘. Hafalkan dan pahamilah, agar engkau menjadi orang yang bertakwa dalam ilmu nahwu.
Dari sini, marfū‘ mencakup semua isim yang menjadi subjek atau predikat dalam kalimat, atau yang menggantikan keduanya. Ulama nahwu klasik seperti Ibnu ‘Aqīl menjelaskan dalam Syarḥ Alfiyyah Ibni Mālik:
المرفوعاتُ سبعةٌ، منها الفاعل والمبتدأ وخبره، ونائب الفاعل، واسم كان، وخبر إنّ، والتوابع.
Marfū‘āt ada tujuh: fā‘il, mubtada, khabar, nā’ibul fā‘il, isim kāna, khabar inna, dan kata yang mengikutinya (tawābi‘).
Fā‘il: Pilar Kalimat Fi‘liyah
Fā‘il (الفاعل) adalah isim yang menunjukkan pelaku suatu pekerjaan dan selalu datang setelah fi‘il. Ia termasuk marfū‘ karena menjadi subjek dalam kalimat. Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:
خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
“Allah menciptakan langit dan bumi.” (QS. Al-An‘ām: 1)
Kata اللَّهُ berharakat ḍammah karena menjadi fā‘il dari kata kerja خَلَقَ. Inilah contoh klasik marfū‘ dalam kalimat fi‘liyah.
Syaikh Asy-Syabrowiy menerangkan:
وَالرَّفْعُ لِلْفَاعِلِ سُنَّةٌ تُرْوَى
فَاحْذَرْ لِتُحْفَظَ مِنْ خَطَإٍ تَهْوَىRaf‘ adalah tanda bagi fā‘il sebagaimana riwayat para ahli nahwu. Berhati-hatilah agar terjaga dari kesalahan yang menjatuhkan.
Dalam fi‘liyah, posisi fā‘il tidak bisa digantikan oleh bentuk manshūb (seperti maf‘ūl bih), karena fungsinya berbeda: fā‘il sebagai pelaku, sementara maf‘ūl bih sebagai objek. Ketelitian ini menjaga struktur makna bahasa Arab tetap presisi.
Nā’ibul Fā‘il: Ketika Pelaku Tak Disebut
Dalam kalimat pasif (fi‘il majhūl), pelaku (fā‘il) dihilangkan, dan posisi subjek diisi oleh nā’ibul fā‘il (نائب الفاعل), yakni kata benda yang menjadi pengganti pelaku.
Contoh dari Al-Qur’an:
خُلِقَ الْإِنسَانُ مِنْ عَجَلٍ
“Manusia diciptakan dari sesuatu yang tergesa-gesa.” (QS. Al-Anbiyā’: 37)
Kata الإنسانُ di sini berharakat ḍammah sebagai nā’ibul fā‘il, menggantikan posisi pelaku yang dihapus. Dalam konteks ini, fi‘il خُلِقَ (diciptakan) bersifat majhūl (tidak diketahui pelakunya).
Syaikh Asy-Syabrowiy menerangkan:
وَالنَّائِبُ الْمَرْفُوعُ مِثْلُ الْفَاعِلِ
فِي كُلِّ إِعْرَابٍ لَهُ وَالْفَضْلِNā’ibul fā‘il marfū‘ sebagaimana fā‘il, dalam i‘rāb dan keutamaannya sama.
Hal ini menunjukkan kesinambungan antara dua fungsi: fā‘il dan nā’ibul fā‘il sama-sama menjadi unsur utama kalimat, hanya berbeda pada keberadaan pelaku.
Mubtada dan Khabar: Tulang Punggung Kalimat Ismiyyah
Selain kalimat fi‘liyah, bahasa Arab mengenal kalimat ismiyyah, yaitu kalimat yang diawali dengan isim. Dua unsur utama dalam kalimat ini adalah mubtada (المبتدأ) dan khabar (الخبر).
Contoh sederhana:
الْعِلْمُ نُورٌ — Ilmu adalah cahaya.
Kata الْعِلْمُ berharakat ḍammah karena menjadi mubtada, dan نُورٌ juga marfū‘ karena berfungsi sebagai khabar.
Syaikh Asy-Syabrowiy menerangkan:
وَالْمُبْتَدَا مَرْفُوعٌ بِالضَّمَّةِ
وَخَبَرُهُ يُتْبَعُ فِي الْكَلِمَةِMubtada diangkat dengan ḍammah, dan khabarnya mengikuti dalam bentuk kalimat.
Ayat Al-Qur’an banyak menggunakan struktur ini, misalnya:
اللَّهُ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Fāṭir: 15)
Kata اللَّهُ adalah mubtada, sedangkan غَنِيٌّ adalah khabar. Keduanya berharakat ḍammah karena termasuk marfū‘āt al-asmā’.
Kalimat seperti ini menjadi dasar bagi para penuntut ilmu untuk memahami bagaimana isim berperan tanpa perlu kata kerja.
Isim Kāna dan Khabar Inna: Marfū‘ karena Unsur Perantara
Tidak semua marfū‘ muncul karena fā‘il atau mubtada. Dalam struktur kalimat tertentu, marfū‘ muncul karena pengaruh partikel seperti kāna (كان) dan inna (إنّ).
- Isim Kāna
Dalam kalimat seperti: كَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا,
kata اللَّهُ menjadi marfū‘ karena menjadi isim dari kāna. - Khabar Inna
Dalam kalimat: إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ,
kata غَفُورٌ menjadi marfū‘ karena berfungsi sebagai khabar dari inna.
Syaikh Asy-Syabrowiy menjelaskan :
وَارْفَعْ لِكَانَ اسْمًا وَلِإِنَّ خَبَرًا
تَكُنْ مِنَ النَّحْوِ عَلَى الْبَصَرَاJadikan isim kāna marfū‘, dan khabar inna pun marfū‘, niscaya engkau akan cermat dalam ilmu nahwu.
Kaidah ini menunjukkan bahwa marfū‘ tidak hanya muncul dalam kalimat murni, tetapi juga karena pengaruh kata pengantar yang mengubah susunan makna.
Tawābi‘: Pengikut yang Marfū‘ karena I‘rāb Pendahulunya
Dalam struktur kalimat, ada kelompok kata yang disebut tawābi‘ (pengikut), yaitu na‘t (sifat), ‘aṭf (penghubung), taukīd (penegasan), dan badal (pengganti). Semua mengikuti i‘rāb dari kata sebelumnya.
Contoh:
- جَاءَ الطَّالِبُ النَّاجِحُ → النَّاجِحُ marfū‘ karena mengikuti الطَّالِبُ sebagai na‘t.
- جَاءَ زَيْدٌ وَعَمْرٌو → عَمْرٌو marfū‘ karena di‘aṭaf’kan pada زَيْدٌ.
Syaikh Asy-Syabrowiy menerangkan:
وَالتَّوَابِعُ فِي الْإِعْرَابِ تَتْبَعُ مَا سَبَقْ
Tawābi‘ dalam i‘rāb selalu mengikuti kata sebelumnya.
Kaidah ini mengajarkan bahwa struktur kalimat Arab memiliki keharmonisan: jika kata pertama marfū‘, pengikutnya pun marfū‘.
Tanda-Tanda Raf‘ dalam Marfū‘āt al-Asmā’
Tanda raf‘ tidak selalu berupa ḍammah. Dalam kitab Lāmiyyah, Syaikh Asy-Syabrowiy menjelaskan:
وَالرَّفْعُ بِالضَّمِّ وَبِالْوَاوِ فِي جَمْعٍ
وَبِالْأَلِفِ لِلْمُثَنَّى الْمَرْفُوعِ مَعًاRaf‘ dengan ḍammah, dan dengan wāw bagi jamak mudzakkar salim, serta dengan alif bagi bentuk mutsanna.
Rinciannya:
- Ḍammah (ـُ) untuk isim mufrad dan jamak taksir:
جَاءَ الرَّجُلُ – “Telah datang seorang laki-laki.” - Alif (ـانِ) untuk mutsanna:
حَضَرَ الطَّالِبَانِ – “Dua siswa hadir.” - Wāw (ـونَ) untuk jamak mudzakkar salim:
جَاءَ الْمُسْلِمُونَ – “Kaum muslimin datang.” - Nun (نُ) untuk af‘āl al-khamsah (fi‘il bentuk lima):
يَكْتُبُونَ → “Mereka menulis,” di mana nun menjadi tanda raf‘.
Pemahaman tanda-tanda ini menjaga ketepatan i‘rāb dan struktur kalimat.
Keterkaitan Marfū‘āt dengan Pemahaman Al-Qur’an
Bahasa Al-Qur’an tidak dapat dipahami tanpa memahami sistem i‘rāb, terutama marfū‘āt. Satu perubahan harakat dapat mengubah makna secara signifikan.
Contoh:
اللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.”
Jika kata اللَّهُ dibaca اللَّهَ, maknanya berubah menjadi “Allah diberi petunjuk,” ini jelas salah. Karena itu, mengenali marfū‘āt bukan hanya soal kaidah, tetapi juga menjaga makna wahyu.
Penutup: Keindahan Kaidah dan Ketinggian Bahasa Arab
Kaidah Marfū‘āt al-Asmā’ adalah tulang punggung ilmu nahwu. Di dalamnya terkandung keteraturan logis dan keindahan sistemik. Dari fā‘il yang menjadi pelaku, hingga mubtada yang membuka makna, semua berjalan seimbang dalam struktur bahasa yang menakjubkan.
Seorang penuntut ilmu yang menguasai marfū‘āt telah menapaki jalan memahami bahasa Al-Qur’an dengan benar. Sebagaimana pepatah Arab berkata:
مَنْ أَخَذَ بِالنَّحْوِ أَمِنَ اللَّحْنَ فِي الْقُرْآنِ
“Barang siapa menguasai ilmu nahwu, ia terhindar dari kesalahan dalam membaca Al-Qur’an.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
