Surau.co. Syaikh Ibrahim al-Bājūrī tampil sebagai ulama Al-Azhar yang secara konsisten merawat dan memperkokoh tradisi ilmu kalam Asy‘ariyah. Beliau tidak hanya hadir sebagai tokoh penting, tetapi juga menggerakkan nalar umat di tengah perubahan zaman serta arus rasionalisme modern. Karena itu, kiprah beliau menunjukkan bagaimana teologi Asy‘ariyah terus hidup melalui nalar yang jernih dan sanad keilmuan yang kuat.
Dalam tradisi Islam, para ulama memandang ilmu kalam bukan sekadar perdebatan intelektual tentang Tuhan, tetapi sebagai benteng yang menjaga kemurnian aqidah agar tidak menyimpang akibat rasionalitas yang berlebihan. Al-Qur’an pun menegaskan urgensi aktivitas berpikir dalam memahami keesaan Allah:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 190)
Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa berpikir rasional merupakan bagian dari ibadah intelektual. Selanjutnya, gagasan seperti inilah yang terus diperjuangkan oleh Syaikh al-Bājūrī dalam karya dan pengajarannya di Al-Azhar.
Biografi Singkat: Dari Bajur Menuju Menara Al-Azhar
Syaikh Ibrahim al-Bājūrī lahir di desa Bajur, Mesir bagian utara, sekitar tahun 1198 H (1784 M). Lingkungan religius dan kecintaan masyarakat setempat terhadap ilmu benar-benar membentuk atmosfer keilmuan yang mendalam di sekelilingnya. Karena itu, sejak muda beliau menunjukkan kecerdasan luar biasa dan ketekunan dalam belajar. Setelah beliau menyelesaikan dasar-dasar ilmu di kampung halaman, beliau kemudian melanjutkan pendidikannya ke Universitas Al-Azhar di Kairo yang menjadi pusat ilmu Islam dunia.
Di Al-Azhar, beliau belajar kepada banyak ulama besar pada masanya, seperti Syaikh al-‘Aṭṭār dan Syaikh al-Amīr al-Kabīr. Seiring berjalannya waktu, beliau dikenal luas sebagai pengajar, mufti, dan akhirnya menjadi Syaikh al-Azhar. Jabatan itu bukan hanya simbol prestise akademik, tetapi sekaligus pengakuan atas kedalaman ilmunya dalam bidang aqidah, fikih, dan tasawuf.
Para murid menggambarkan beliau sebagai sosok yang berhati lembut namun berwawasan luas. Keilmuannya tidak hanya tercermin dalam ceramah-ceramah di masjid Al-Azhar, tetapi juga hadir dalam karya-karya monumentalnya yang hingga kini tetap menjadi rujukan utama dalam teologi Islam tradisional.
Karya dan Warisan Intelektual: Jejak Kalam dalam Kitab Tuhfat al-Murīd
Karya paling terkenal dari Syaikh Ibrahim al-Bājūrī adalah Tuhfat al-Murīd ‘alā Jawharat al-Tawḥīd, sebuah syarah atas Jawharat al-Tawḥīd karya Syaikh Ibrahim al-Laqqānī. Kitab ini kemudian menjadi rujukan utama dalam mempelajari teologi Asy‘ariyah, termasuk di pesantren-pesantren Nusantara.
Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan konsep tauhid dan sifat-sifat Allah melalui pendekatan sistematis dan logis. Beliau juga menyeimbangkan dalil akal dan wahyu secara proporsional. Dalam salah satu pernyataannya, beliau menegaskan:
يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ أَنْ يَعْرِفَ اللّٰهَ وَرَسُولَهُ بِالْأَدِلَّةِ الْعَقْلِيَّةِ وَالشَّرْعِيَّةِ.
“Wajib atas setiap mukallaf untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya melalui dalil-dalil rasional dan syar‘i.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau memandang iman yang kokoh harus berakar pada pemahaman rasional yang didukung wahyu, bukan semata berdiri di atas warisan atau taklid buta.
Selain Tuhfat al-Murīd, beliau juga menulis syarah terhadap karya Imam al-Sanusi serta berbagai teks penting lainnya dalam bidang aqidah, ushul fikih, dan tasawuf. Melalui semua karya tersebut, Syaikh al-Bājūrī terus menjaga kesinambungan ilmu kalam Asy‘ariyah lintas generasi.
Peran Sentral dalam Merawat Tradisi Asy‘ariyah di Al-Azhar
Sebagai Syaikh al-Azhar, beliau memegang peran penting dalam menjaga kemurnian mazhab Asy‘ariyah ketika pemikiran rasional ekstrem dan pengaruh modernisme Barat mulai menguat pada abad ke-19. Beliau memimpin lembaga pendidikan tertua dunia Islam itu dengan prinsip keseimbangan antara akal dan wahyu.
Para peneliti mencatat bahwa masa kepemimpinan beliau menjadi fase stabilisasi kurikulum ilmu kalam dan tafaqquh fiddin. Dalam majelis-majelisnya, beliau membahas sifat-sifat Allah, kenabian, dan eskatologi dengan menggunakan dalil naqli sekaligus argumentasi rasional yang menguatkan keimanan.
Pendekatan tersebut menggambarkan ajaran Asy‘ariyah yang menjadikan akal sebagai alat untuk memahami wahyu, bukan sebagai hakim atas wahyu. Prinsip ini sejalan dengan firman Allah:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Dia adalah yang benar.” (QS. Fuṣṣilat [41]: 53)
Dengan prinsip ini, Syaikh al-Bājūrī mengajarkan bahwa rasionalitas tidak mengancam iman, tetapi justru menguatkannya.
Rasionalitas dan Spiritualitas dalam Pemikiran Teologi al-Bājūrī
Keistimewaan teologi beliau terletak pada kemampuan menyeimbangkan rasionalitas dengan spiritualitas. Menurut beliau, teologi bukan sekadar ilmu untuk berdebat, tetapi jalan menuju pengenalan Allah yang mendalam.
Dalam Tuhfat al-Murīd, beliau menegaskan pentingnya sifat-sifat wajib bagi Allah seperti wujud, qidam, baqa’, dan wahdaniyyah. Beliau menjelaskan semuanya dengan argumentasi rasional yang mudah dipahami. Namun, beliau juga mengingatkan bahwa di atas logika terdapat cahaya iman yang hanya bisa dicapai melalui tazkiyatun nafs.
Syaikh Umar Abdul Jabbar dalam Khulāṣah Nūr al-Yaqīn menyampaikan gagasan serupa:
إِنَّ الْمَعْرِفَةَ بِاللّٰهِ تَحْتَاجُ إِلَى عَقْلٍ سَلِيمٍ وَقَلْبٍ مُنِيبٍ.
“Sesungguhnya mengenal Allah membutuhkan akal yang sehat dan hati yang tunduk.”
Gagasan tersebut memperlihatkan kesinambungan spiritual ulama Asy‘ariyah lintas generasi, di mana rasionalitas dan ketulusan batin berjalan beriringan.
Jembatan Antara Ulama dan Masyarakat Awam
Syaikh Ibrahim al-Bājūrī memahami bahwa ilmu kalam tidak boleh terjebak dalam ruang para teolog saja, sehingga beliau berusaha menjangkau masyarakat luas. Beliau memakai bahasa yang mudah dicerna dan mempraktikkan metode pengajaran yang inklusif.
Di masjid Al-Azhar, beliau membuka majelis terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar, dari ulama hingga masyarakat awam. Dalam pengajarannya, beliau selalu menekankan pentingnya memahami sifat-sifat Allah dan Rasul sebagai pondasi iman yang benar.
Pendekatan beliau serupa dengan tradisi pesantren di Nusantara yang menjelaskan teologi dengan bahasa lembut, tanpa fanatisme, serta penuh kasih sayang. Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Nihāyah az-Zayn pernah mengingatkan:
الْعِلْمُ مِنْ غَيْرِ رِفْقٍ يُورِثُ الْكِبْرَ، وَالرِّفْقُ فِي التَّعْلِيمِ يُورِثُ الْحِكْمَةَ.
“Ilmu tanpa kelembutan akan menumbuhkan kesombongan, sedangkan kelembutan dalam mengajar akan menumbuhkan kebijaksanaan.”
Spirit kelembutan seperti inilah yang selalu beliau bawa dalam dakwahnya.
Pengaruh dan Jejak di Dunia Islam dan Nusantara
Pemikiran Syaikh al-Bājūrī tidak hanya berpengaruh di Mesir, tetapi juga meluas ke dunia Islam lainnya, termasuk Indonesia. Banyak ulama Nusantara yang belajar dari karya-karyanya di Al-Azhar, lalu membawa ilmu tersebut ke pesantren-pesantren.
Kitab Tuhfat al-Murīd menjadi bahan ajar wajib di berbagai pesantren tradisional. Melalui kitab itu, pemikiran Asy‘ariyah terus hidup dan membentuk corak teologi Ahlussunnah wal Jamaah di Nusantara.
Pengaruh beliau sangat terasa dalam keseimbangan ajaran tauhid di pesantren: tidak ekstrem rasional dan tidak fatalistik; tidak menolak logika, tetapi tetap menjadikan wahyu sebagai pijakan utama. Dalam konteks ini, beliau menjadi penghubung antara ortodoksi klasik dan pemikiran modern yang rasional.
Penutup
Syaikh Ibrahim al-Bājūrī bukan hanya ulama besar, tetapi penjaga warisan intelektual Islam yang menyalakan obor teologi Asy‘ariyah di era modern. Melalui karya dan keteladanannya, beliau mengajarkan bahwa iman harus berdiri di atas ilmu, sedangkan ilmu harus disertai kerendahan hati.
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa tiada tuhan selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Ayat tersebut tidak hanya memerintahkan untuk beriman, tetapi juga mengajak umat untuk memahami keesaan Allah melalui pengetahuan. Itulah pesan abadi Syaikh al-Bājūrī: berpikir adalah ibadah, dan ilmu kalam adalah jalan menuju ma‘rifatullah.
Semoga semangat beliau terus hidup dalam setiap majelis ilmu—di Al-Azhar, di pesantren-pesantren, dan di hati umat Islam yang mencintai ilmu
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
