Surau.co. Islam memandang akidah bukan sekadar keyakinan buta, melainkan hasil perenungan mendalam antara akal dan wahyu. Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, kalam atau teologi rasional menjadi medan dialog antara keduanya. Salah satu aliran yang menggabungkan harmoni keduanya adalah Asy‘ariyah, mazhab teologi yang berusaha meneguhkan keimanan dengan nalar yang tunduk kepada wahyu rasionalitas dalam akidah.
Kitab Tijān ad-Darāri menjadi salah satu rujukan penting yang menampilkan corak pemikiran Asy‘ariyah dengan pendekatan khas pesantren: rasional, moderat, dan bersanad. Kitab ini tidak hanya memaparkan dalil-dalil akidah, tetapi juga menanamkan adab berpikir dalam memahami Tuhan. Dalam setiap pembahasannya, terlihat bagaimana rasionalitas digunakan bukan untuk menandingi wahyu, melainkan untuk mengantarkan hati agar semakin tunduk kepada kebenaran ilahiah.
Asy‘ariyah dan Rasionalitas dalam Akidah
Pemikiran Asy‘ariyah muncul sebagai jembatan antara dua kutub ekstrem dalam sejarah Islam: kaum rasional murni seperti Mu‘tazilah, dan kaum tradisional yang menolak penggunaan akal secara luas. Abu al-Hasan al-Asy‘ari (874–936 M) menghadirkan jalan tengah yang menyeimbangkan akal dan naql (wahyu).
Dalam Tijān ad-Darāri, rasionalitas ditempatkan sebagai “pelita yang menyinari jalan iman”, bukan sebagai hakim terhadap teks. Penulis kitab tersebut menggambarkan bahwa akal sejati adalah akal yang tunduk pada kebenaran wahyu.
Firman Allah Swt. menjadi dasar utama prinsip ini:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 190)
Ayat ini menegaskan bahwa akal berfungsi mengenali tanda-tanda kekuasaan Allah, bukan menyaingi kehendak-Nya. Maka, berpikir menjadi bagian dari ibadah, sebab dengan akal manusia mengenal Sang Pencipta melalui tanda-tanda ciptaan-Nya.
Rasionalitas Asy‘ariyah dalam Tijān ad-Darāri
Kitab Tijān ad-Darāri memperlihatkan bagaimana pemikiran Asy‘ariyah menempatkan logika dalam bingkai teologis yang beradab. Penulis menekankan pentingnya al-istidlāl (penggunaan dalil) dalam beriman, tetapi dengan kesadaran bahwa akal memiliki batas.
Dalam salah satu bagiannya disebutkan:
الْعَقْلُ نُورٌ يُبْصِرُ بِهِ الْعَبْدُ الْحَقَّ، وَلَكِنَّهُ يَضِلُّ إِذَا لَمْ يَقْتَدِ بِالنُّبُوَّةِ
“Akal adalah cahaya yang membuat hamba melihat kebenaran, tetapi akan tersesat jika tidak dipandu oleh kenabian.”
Kutipan ini menggambarkan pandangan teologis Asy‘ariyah yang juga ditekankan dalam karya al-Baqillani dan al-Juwaini, dua murid besar dalam tradisi Asy‘ari. Akal berperan sebagai alat memahami, bukan penguasa atas wahyu.
Syekh Umar Abdul Jabbar dalam Khulāṣah Nūr al-Yaqīn juga menjelaskan:
الْإِيمَانُ يَزْدَادُ بِالْعِلْمِ وَيَثْبُتُ بِالْعَقْلِ
“Iman bertambah dengan ilmu dan teguh dengan akal.”
Terjemahan ini menunjukkan bahwa rasionalitas adalah pondasi kekokohan iman, bukan musuhnya. Dalam konteks Asy‘ariyah, iman yang teguh lahir dari keseimbangan antara ilmu dan hati yang tunduk pada Allah.
Dialog Akal dan Wahyu: Jalan Tengah Asy‘ariyah
Asy‘ariyah menolak paham ekstrem yang menuhankan akal seperti Mu‘tazilah, namun juga menghindari sikap anti-rasional seperti kelompok tekstualis ekstrem. Prinsip jalan tengah ini tampak dalam cara Tijān ad-Darāri menjelaskan konsep tawḥīd, qadā’ dan qadar, serta sifat-sifat Allah.
Misalnya, dalam menjelaskan sifat Allah, kitab tersebut menyebutkan:
نُثْبِتُ لِلَّهِ مَا أَثْبَتَهُ لِنَفْسِهِ بِلَا تَشْبِيهٍ وَلَا تَعْطِيلٍ
“Kita menetapkan bagi Allah apa yang Allah tetapkan bagi diri-Nya, tanpa menyerupakan dan tanpa meniadakan.”
Pernyataan ini adalah inti rasionalitas dalam Asy‘ariyah: meneguhkan keimanan dengan menjaga kesucian konsep ketuhanan dari tasybīh (penyerupaan) dan ta‘ṭīl (peniadaan).
Dengan demikian, rasionalitas dalam Asy‘ariyah bukan logika bebas nilai, tetapi logika yang berakhlak dan tunduk kepada wahyu.
Rasionalitas sebagai Jalan Iman: Perspektif Qur’ani dan Hadis
Al-Qur’an berkali-kali menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akal. Dalam banyak ayat disebutkan:
أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Tidakkah kalian berpikir?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44)
Panggilan berpikir ini menjadi landasan epistemologis bagi Asy‘ariyah dalam meneguhkan iman. Akal yang bekerja sesuai bimbingan wahyu melahirkan keyakinan yang kuat dan ilmiah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
التَّفَكُّرُ سَاعَةً خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ
“Berpikir sejenak lebih baik daripada beribadah semalam suntuk.” (HR. Dailami)
Hadis ini menunjukkan keutamaan berpikir yang berorientasi pada pengenalan terhadap kebesaran Allah. Dalam konteks Tijān ad-Darāri, berpikir bukan hanya kegiatan intelektual, tetapi juga spiritual.
Teologi Asy‘ariyah dan Pendidikan Akidah Modern
Nilai-nilai rasional dalam Tijān ad-Darāri sangat relevan untuk pendidikan Islam kontemporer. Ketika generasi muda berhadapan dengan sains dan teknologi modern, pendekatan Asy‘ariyah membantu mereka memahami bahwa akal dan iman tidak harus dipertentangkan.
Penelitian M. Arif (2025) dalam Al-Maheer: Jurnal Pendidikan Islam menunjukkan bahwa pengajaran kitab-kitab akidah bermazhab Asy‘ariyah meningkatkan pemahaman rasional keagamaan peserta didik. Mereka belajar untuk berpikir kritis tanpa kehilangan adab kepada wahyu.
Pesan utama Tijān ad-Darāri adalah bahwa berpikir ilmiah tidak menghapus keimanan; justru memperkokohnya. Karena Islam bukan agama dogma buta, melainkan agama yang mengajarkan beriman dengan memahami.
Rasionalitas yang Beradab: Hikmah dari Ulama Klasik
Para ulama klasik memberikan banyak teladan dalam menggunakan akal secara beradab. Imam al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn menyampaikan:
الْعَقْلُ أَصْلُ الْعِلْمِ وَهُوَ نُورٌ فِي الْقَلْبِ يُمَيِّزُ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ
“Akal adalah sumber ilmu, cahaya di dalam hati yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan.”
Kutipan ini menguatkan pandangan Asy‘ariyah bahwa akal adalah alat untuk menyingkap kebenaran, bukan untuk menggugat kebenaran wahyu.
Demikian pula Imam Fakhruddin al-Razi dalam Tafsīr al-Kabīr menjelaskan bahwa seluruh dalil akal sejati akhirnya mengantarkan manusia kepada pengakuan akan keesaan Allah. Dengan akal, manusia mengenal ciptaan, lalu tunduk kepada Sang Pencipta.
Rasionalitas Asy‘ariyah dan Tantangan Zaman Modern
Dalam era digital yang penuh informasi dan skeptisisme, pemikiran Asy‘ariyah dalam Tijān ad-Darāri menghadirkan keseimbangan antara nalar dan keimanan. Rasionalitas tanpa iman melahirkan kekeringan spiritual, sementara iman tanpa rasionalitas berpotensi menjadi fanatisme buta.
Ajaran Asy‘ariyah mengajarkan agar manusia berpikir dengan hati dan beriman dengan akal. Dengan begitu, iman menjadi dinamis, tidak mudah goyah oleh keraguan atau wacana materialisme. Keseimbangan ini menjadikan Asy‘ariyah tetap relevan di tengah dunia modern yang menuntut keterbukaan berpikir namun tetap mendambakan kedalaman spiritual.
Penutup
Rasionalitas dalam akidah bukanlah pertentangan antara kepala dan hati, melainkan pertemuan keduanya dalam cahaya wahyu. Tijān ad-Darāri mengajarkan bahwa akal adalah anugerah ilahi untuk menuntun manusia menuju ma‘rifatullah.
Akal yang tunduk kepada wahyu menjadi seperti pelita di malam panjang: menerangi tanpa membakar, menuntun tanpa menyesatkan. Maka, berimanlah dengan memahami, dan berpikirlah dengan beriman. Karena akal yang bersujud lebih bercahaya daripada ilmu tanpa adab.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
