Khazanah
Beranda » Berita » Antara Ṣiddīq dan Fatānah: Mengapa Sifat Wajib, Mustahil, dan Jaiz Penting bagi Rasul Menurut Tijān ad-Darāri

Antara Ṣiddīq dan Fatānah: Mengapa Sifat Wajib, Mustahil, dan Jaiz Penting bagi Rasul Menurut Tijān ad-Darāri

Kaligrafi Arab ṣidq dan fatānah di atas cahaya kitab terbuka melambangkan rasionalitas kenabian.
Gambar menampilkan simbol keseimbangan antara ṣidq dan fatānah sebagai lambang kesempurnaan kenabian menurut ajaran Tijān ad-Darāri.

Surau.co. Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah selalu menjelaskan bahwa kenabian bukan hanya kedudukan spiritual tertinggi. Mereka menegaskan bahwa kenabian merupakan amanah intelektual sekaligus moral yang menuntut kesempurnaan sifat. Karena itu, para ulama menjadikan tiga kategori sifat—wājib, mustahil, dan jaiz—sebagai tolok ukur kesempurnaan para Rasul. Kitab Tijān ad-Darāri kemudian membahasnya secara mendalam, sembari menjelaskan bagaimana akal, wahyu, dan kepribadian kenabian saling berkaitan.

Melalui penjelasan tersebut, para ulama menegaskan bahwa sifat-sifat kenabian bukan sekadar konsep metafisis. Sebaliknya, mereka memahaminya sebagai panduan teologis yang memastikan kebenaran misi Rasul. Tanpa memahami alasan rasional di balik sifat-sifat itu, seseorang mudah menjadikan iman kepada Rasul sekadar simbol, bukan pijakan epistemologis yang kokoh. Karena itu, Allah berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى • إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tidaklah Nabi Muhammad berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm [53]: 3–4)

Ayat ini menegaskan bahwa setiap ucapan dan tindakan Rasul sepenuhnya sesuai wahyu. Dengan demikian, umat memahami makna sifat ṣidq (صدق) dan amānah (أمانة) sebagai dua sifat wajib yang melekat kuat pada diri para Rasul.

Sifat Wājib bagi Rasul: Pilar Keagungan Utusan Allah

Para ulama menyatakan bahwa Rasul membawa empat sifat wajib: ṣidq (صدق), amānah (أمانة), tablīgh (تبليغ), dan fatānah (فطانة). Keempatnya saling menguatkan sehingga menghasilkan sosok Nabi yang sempurna secara moral maupun intelektual.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ṣidq (Kejujuran) sebagai Fondasi Kepercayaan

Para ulama menjelaskan ṣidq sebagai kebenaran dalam ucapan, tindakan, dan niat. Karena itu, Rasul selalu bersikap jujur, sebab kebohongan jelas bertentangan dengan misi kenabian. Dalam Tijān ad-Darāri, para ulama menegaskan bahwa ṣidq menjadi dalil pertama atas validitas risalah. Mereka menilai bahwa kebohongan pasti merusak kepercayaan umat terhadap wahyu.

Syekh Umar Abdul Jabbar dalam Khulāṣah Nūr al-Yaqīn menyatakan:

إِنَّ الرُّسُلَ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ صِدِّيقُونَ فِي أَقْوَالِهِمْ وَأَفْعَالِهِمْ، لَا يَكْذِبُونَ أَبَدًا.
“Sesungguhnya para Rasul benar dalam perkataan dan perbuatan mereka, tidak pernah berdusta sama sekali.”

Rasionalitas sifat ṣidq sangat jelas. Mustahil Allah memilih pendusta sebagai pembawa wahyu, sebab pilihan semacam itu bertentangan dengan hikmah-Nya. Karena itu, sifat ṣidq menjadi fondasi epistemik bagi kenabian, sehingga wahyu tetap memiliki otoritas absolut.

Fatānah (Kecerdasan) sebagai Jembatan Akal dan Wahyu

Para ulama juga menegaskan bahwa Rasul harus memiliki kecerdasan tingkat tinggi. Mereka menjelaskan bahwa kecerdasan diperlukan agar Rasul mampu memahami wahyu, menjelaskan hukum, serta menjawab berbagai keraguan umat.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Imam al-Bajuri dalam Tuhfat al-Murid menyebut:

يَجِبُ لِلرُّسُلِ أَنْ يَكُونُوا فُطَنَاءَ أَذْكِيَاءَ، لِيَقُومُوا بِتَبْلِيغِ الرِّسَالَةِ كَمَا أُمِرُوا.
“Wajib bagi para Rasul memiliki kecerdasan tinggi agar mereka dapat menyampaikan risalah sebagaimana yang diperintahkan.”

Dengan kecerdasan ini, Rasul tidak hanya membimbing umat secara spiritual. Rasul juga mengarahkan akal umat agar berpikir sehat, logis, dan adabiyyah.

Sifat Mustahil bagi Rasul: Penegasan Kesucian Misi Ilahi

Jika Rasul memiliki sifat wajib, maka para ulama juga menetapkan empat sifat mustahil: kidzb (كذب), khiyānah (خيانة), kitmān (كتمان), dan balādah (بلادة).

Kidzb dan Khiyānah: Dua Sifat yang Membatalkan Risalah

Para ulama menegaskan bahwa dusta dan khianat mustahil melekat pada Rasul. Jika Nabi berdusta atau berkhianat, seluruh risalah pasti runtuh dan umat tidak dapat mempercayai wahyu. Karena itu, Allah menegaskan sifat Nabi Ibrahim dalam firman-Nya:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Dan ingatlah dalam Kitab tentang Ibrahim. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 41)

Ayat ini menunjukkan bahwa kejujuran merupakan sifat mendasar bagi semua Nabi. Secara rasional, kebohongan bertentangan total dengan hikmah Allah yang mengutus mereka.

Balādah: Mustahil bagi Utusan Allah yang Cerdas

Para ulama menjelaskan balādah sebagai ketumpulan akal atau kebodohan. Mereka menegaskan bahwa Rasul mustahil bersifat demikian, sebab kebodohan akan menghalangi pemahaman terhadap wahyu. Dalam Tijān ad-Darāri, para ulama menggambarkan bahwa kecerdasan Rasul merupakan karunia Allah yang memampukan mereka menghadapi tantangan zaman.

Imam al-Sanusi dalam Umm al-Barāhīn menuliskan:

الْعَقْلُ الصَّحِيحُ يَقْضِي بِاسْتِحَالَةِ الْبَلَادَةِ عَلَى الرُّسُلِ، لِأَنَّهُمْ قُدْوَةٌ فِي الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ.
“Akal yang sehat menegaskan kemustahilan kebodohan bagi para Rasul, karena mereka adalah teladan dalam ilmu dan amal.”

Sifat Jaiz bagi Rasul: Dimensi Kemanusiaan yang Membumi

Para ulama mengajarkan bahwa Rasul memiliki sifat jaiz berupa a‘rāḍ basyariyyah, seperti makan, minum, tidur, dan merasakan sakit. Dengan sifat ini, Rasul semakin mudah diteladani umat.

Allah berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
“Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Dalam Tijān ad-Darāri, para ulama menjelaskan bahwa sifat jaiz justru menghubungkan dimensi ilahi dan manusiawi Rasul. Dengan begitu, risalah menjadi lebih mudah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Syekh Nawawi al-Bantani menambahkan:

جَعَلَ اللّٰهُ الرُّسُلَ مِنَ الْبَشَرِ لِيَكُونُوا أُسْوَةً فِي الطَّاعَةِ وَالصَّبْرِ وَالزُّهْدِ.
“Allah menjadikan para Rasul dari kalangan manusia agar mereka menjadi teladan dalam ketaatan, kesabaran, dan kezuhudan.”

Rasionalitas Teologis dalam Tijān ad-Darāri

Kitab Tijān ad-Darāri selalu menekankan bahwa sifat-sifat Rasul harus dipahami melalui integrasi antara dalil naqli dan ‘aqli. Karena itu, para ulama Asy‘ariyyah mengajarkan bahwa iman yang kokoh harus memiliki fondasi rasional.

Misalnya, mereka menggunakan dalīl al-mu‘jizah untuk membuktikan bahwa Rasul pasti bersifat jujur. Mereka menilai bahwa mustahil Allah membenarkan pendusta dengan mukjizat. Demikian pula, mereka menegaskan bahwa kecerdasan Rasul memastikan bahwa wahyu tidak disalahpahami.

Makna Spiritual Sifat Rasul bagi Kehidupan Modern

Pada era modern, umat dapat menjadikan sifat wajib, mustahil, dan jaiz sebagai inspirasi moral dan intelektual. Sifat ṣidq mengajarkan etika sosial; amānah mengokohkan kepercayaan publik; tablīgh menguatkan komunikasi bijak; dan fatānah mendorong cara berpikir cerdas.

Ketika umat memahami bahwa Rasul menggabungkan kejujuran dan kecerdasan, mereka dapat menghadapi dunia dengan iman yang rasional dan bermartabat. Inilah relevansi mendasar Tijān ad-Darāri dalam membangun paradigma Islam yang seimbang antara wahyu dan akal.

Penutup

Rasulullah ﷺ menjadi teladan yang memadukan kejujuran dan kecerdasan dalam satu kepribadian agung. Melalui dirinya, wahyu turun dengan jernih, kemudian berpadu dengan nalar yang cemerlang hingga melahirkan peradaban yang penuh kasih dan keadilan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi kalian.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21)

Karena itu, meneladani Rasul berarti menghadirkan ṣidq dalam tutur, amānah dalam tugas, tablīgh dalam dakwah, dan fatānah dalam berpikir. Ketika umat menghidupkan sifat-sifat itu, mereka menjaga kemurnian iman sekaligus kehormatan kemanusiaan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement