SURAU.CO– Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam mengungkapkan rahasia penerimaan amal:
“Tidak ada amalan yang lebih bisa diharapkan (diterima) hati daripada amalan yang tidak kita sadari dan kita anggap remeh.”
Sama halnya dengan manusia, hati juga membutuhkan asupan agar ia bisa hidup. Ia membutuhkan cahaya agar ia bisa terang dan jauh dari kegelapan. Hati harus kita bersihkan dari segala jenis maksiat dan kotoran agar kacanya jernih dan mampu menangkap cahaya Ilahi. Ia membutuhkan dorongan agar ia bisa naik dari jurang yang dalam menuju puncak kemuliaan.
Asupan Hati Menurut Al-Hikam
Di antara asupan utama hati adalah amalan yang tidak kita sadari dan kita anggap remeh. Di dalam hati, kita menyadari sepenuhnya bahwa semua amalan yang kita lakukan adalah kehendak-Nya. Jikalau kita mengerjakan shalat, maka itu adalah kehendak-Nya. Kemudian saat itu kita berpuasa, maka itu adalah atas kehendak-Nya. Jikalau Dia menginginkan kita malas dan lalai, maka kita akan mengalami sesuatu yang Dia inginkan, hanya saja Dia selalu menginginkan kebaikan bagi para hamba-Nya.
Kita juga menyadari bahwa walaupun semua manusia yang ada di dunia melakukan amal-amal kebaikan yang banyak, maka itu tidak akan menambah kedudukan dan kemuliaan-Nya. Dia adalah Tuhan yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan orang lain, bahkan kitalah yang membutuhkan-Nya.
Siapakah diri kita sehingga kita membanggakan amalan di hadapan-Nya? Kita hanyalah manusia biasa dan makhluk hina yang tidak ada artinya di hadapan-Nya. Sebanyak apa pun amalan yang kita lakukan selama di dunia ini, maka sama sekali tidak sepadan dengan sayap nyamuk di hadapan-Nya. Tidak. Sama sekali Tidak.
Berapa banyak nikmat-Nya yang telah Dia berikan kepada kita? Allah memberikan kita karunia udara yang banyak untuk bernapas. Kemudian Allah memberikan kesehatan untuk bekerja dan menikmati hasilnya. Kita diberikan rezeki yang tidak terhingga. Jikalau semua itu kita bandingkan dengan amalan kita, maka berapakah besar perbandingannya? Mungkin, itu tidak sampai sepersepuluhnya, bahkan jauh di bawahnya.
Oleh karena itu, marilah kita jangan pernah membanggakan amalan, dan jangan takjub dengannya. Semua itu hanyalah kewajiban yang harus kita tunaikan. Marilah kita kerjakan sesuatu yang Dia perintahkan, dan kita jauhi semua yang Dia larang. Mengenai hasil, itu adalah hak-Nya yang tidak bisa kita ganggu gugat.
Makna Anugerah dan Musibah
Nasihat selanjutnya menjelaskan hikmah di balik segala takdir:
“Allah Swt. mengaruniakan kepada kita limpahan spiritual agar kita bisa menghampiri-Nya.”
Allah Swt. menganugerahkan berbagai limpahan spiritual kepada kita, seperti kemiskinan yang membuat kita gelisah dan kekayaan yang membuat kita bahagia. Maka, semua itu tidak lain hanyalah agar kita selalu menghampiri-Nya.
Marilah kita terima semua yang Dia berikan kepada kita. Jikalau kita diberikan kenikmatan, maka marilah kita bersyukur, niscaya Dia akan menambahnya. Marilah kita jangan kufur kepada-Nya. Sebab, kita yang akan merasakan akibat perbuatan kufur itu, baik di dunia maupun akhirat kelak.
Jikalau kita ditimpakan musibah, maka marilah kita bersabar dan kita berharap kelapangan dari-Nya. Kita jangan menjauhi-Nya dan meninggalkan perintah-Nya karena hal itu justru akan membuat kita makin sengsara.
Naik atau turunnya nikmat yang kita terima adalah sebuah kebaikan yang mengandung hikmah sangat mendalam. Terkadang, akal mampu mencernanya, dan terkadang akal justru lemah dalam menganalisisnya. Pastinya, segala sesuatu ada hikmahnya. Kebahagiaan yang hakiki adalah ketika kita dekat dengan-Nya, sedangkan kesengsaraan hakiki adalah ketika kita menjauh dari-Nya, walaupun Dia selalu dekat bersama kita.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
