SURAU.CO–Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam memberikan motivasi kuat agar kita tidak meninggalkan zikir:
“Janganlah kita meninggalkan zikir karena tidak bisa konsentrasi mengingat Allah Swt. ketika melakukannya. Sebab, kelalaian kita ketika tidak berzikir jauh lebih buruk daripada kelalaian kita ketika berzikir. Mudah-mudahan Allah mengangkat kita dari zikir yang masih terdapat kelalaian menuju zikir yang disertai konsentrasi, dari zikir yang disertai konsentrasi menuju zikir yang disertai semangat kehadiran-Nya, dari zikir yang disertai semangat kehadiran-Nya menuju zikir yang meniadakan segala sesuatu selain diri-Nya. Dan, itu tidaklah sulit bagi-Nya.”
Jangan Pernah Meninggalkan Zikir
Kita jangan meninggalkan zikir hanya karena kita tidak bisa berkonsentrasi mengingat-Nya, baik karena pekerjaan maupun urusan-urusan dunia lainnya. Jikalau kita menyangka bahwa sesuatu yang kita lakukan tidak bermanfaat sama sekali, maka itu adalah sebuah kesalahan besar. Kita harus terus berzikir. Jikalau kita berzikir, walaupun hati kita tidak bisa berkonsentrasi, itu jauh lebih baik daripada kita tidak berzikir sama sekali. Perbedaannya bagaikan langit dan bumi, bagaikan dua orang yang punggungnya berhadap-hadapan dan wajahnya saling menjauh.
Ketika seseorang meninggalkan zikir, berarti ia meninggalkannya secara keseluruhan. Ia tidak akan memperoleh kebaikan dan pahala. Sedangkan orang yang berzikir, walaupun hatinya masih lalai, ia masih berhak mendapatkan pahala, terutama pahala beribadah. Orang yang mendapatkan sebagian keutamaannya, tentu lebih baik daripada orang yang tidak mendapatkannya sama sekali.
Berdasarkan uraian ini, kita bisa mengetahui bahwa zikir itu memiliki berbagai tingkatan, yaitu zikir tanpa konsentrasi hati (adz-dzikru ma’a wujudil ghaflah), zikir dengan konsentrasi (adz-dzikru ma’a yaqizhah), zikir dengan semangat kehadiran-Nya (adz-dzikru ma’a hudhur), dan zikir dengan meniadakan segala selain-Nya (adz-dzikr ma’a ghaibah).
Allah Mengangkat Derajat Hamba yang Berzikir
Jikalau kita masih berzikir dan kita konsisten menjalankannya, maka mudah-mudahan Dia mengangkat derajat kita menuju zikir yang disertai konsentrasi. Setelah itu, mudah-mudahan Dia mengangkat kita menuju zikir yang disertai semangat kehadiran-Nya. Kemudian, mudah-mudahan Dia mengangkat kita menuju zikir yang meniadakan segala selain-Nya. Menaikkan kita dari satu tingkatan ke tingkatan lainnya, bukanlah sesuatu yang sulit bagi-Nya. Hanya dengan berfirman, “Terjadilah,” maka sesuatu yang Dia inginkan akan terjadi.
Allah Swt. sengaja membuat tahapan-tahapan ini karena seorang hamba tidak akan mampu mencapai tingkatan tertinggi, kecuali melalui tingkatan sebelumnya. Ada banyak hikmah yang bisa kita dapatkan di dalamnya.
Jikalau kita menghentikan zikir karena kita tidak kunjung mampu berkonsentrasi, maka lama-kelamaan hati kita akan penuh dengan kegelapan dan karat. Jika hal tersebut tidak kita bersihkan, maka cahaya hati akan padam dan kita dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam kekufuran. Selama kita masih mempertahankan ritme zikir, maka Dia akan membantu kita dengan memberikan konsentrasi yang kita harapkan. Lama-kelamaan, kita akan mendapatkan tingkatan tertinggi dalam berzikir seperti para sufi.
Tanda-Tanda Hati yang Mati
Nasihat selanjutnya menjelaskan bahaya kelalaian yang akut:
“Di antara tanda kematian hati adalah kita tidak bersedih ketika melewatkan ketaatan, dan tidak menyesal ketika melakukan kemaksiatan.”
Di antara tanda hati yang mati adalah kita tidak bersedih ketika kita melewatkan momen-momen ketaatan yang telah Dia berikan. Ketika Allah memberikan kita waktu untuk mengerjakan shalat, dan kita melewatkannya begitu saja.Kemudian saat kita mendapat kesempatan bersedekah atau berzakat, lalu kita membiarkannya. Ketika kita mendapat kesempatan menunaikan haji, maka kita melalaikannya. Dan, masih banyak lagi contoh ibadah yang kita lewatkan, padahal kesempatan itu sudah ada di depan mata.
Kematian hati yang Al-Hikam maksud adalah tidak adanya rasa cinta kepada-Nya, rasa rindu menghampiri-Nya, dan keinginan untuk selalu bermunajat kepada-Nya. Jikalau ini kita biarkan, maka itu akan mencapai tingkat kronis, yang membuat kita tidak sensitif lagi dengan kemaksiatan dan ketaatan.
Jikalau hati sudah mati, maka kita tidak akan menyesal ketika telah berzina, atau mencuri, atau membunuh, atau perbuatan maksiat lainnya. Hati kita sudah mati, dan tidak ada lagi cahaya keimanan. Keadaan seperti ini merupakan tanda bahwa kita berada di jurang kekufuran. Marilah kita selamatkan diri kita segera, yaitu dengan menjalankan ketaatan kepada-Nya.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
