Surau.co. Pembahasan mengenai dua puluh sifat wajib Allah merupakan salah satu pilar utama dalam ilmu tauhid. Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jamaah, khususnya yang berakar pada ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, sifat-sifat wajib ini bukan hanya dogma teologis, melainkan juga hasil dari refleksi rasional terhadap eksistensi Tuhan. Kitab Tijān ad-Darāri karya para ulama klasik menjadi salah satu referensi utama yang membahas keagungan dua puluh sifat wajib Allah dengan kedalaman nalar dan sanad keilmuan yang kokoh.
Rasionalitas teologis dalam konteks ini berarti upaya mengaitkan dalil ‘aqli (rasional) dan dalil naqli (wahyu) dalam memahami keesaan Allah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur’an:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 255)
Ayat ini menegaskan sifat wujud dan qiyamuhu binafsih (berdiri sendiri), dua di antara dua puluh sifat wajib yang menjadi fondasi ketuhanan.
Hakikat Dua Puluh Sifat Wajib Allah
Kitab Tijān ad-Darāri menjelaskan bahwa dua puluh sifat wajib Allah terbagi menjadi empat kelompok besar: sifat nafsiyyah, salbiyyah, ma‘ani, dan ma‘nawiyyah. Pembagian ini menunjukkan keteraturan logika dan kejelasan konsep yang khas dalam pemikiran teologis Islam.
Sifat nafsiyyah mencakup satu sifat, yaitu wujud (وجود), yang berarti keberadaan Allah yang pasti dan tidak bergantung pada apa pun. Sifat salbiyyah mencakup lima sifat yang menegasikan segala kekurangan dari Allah, seperti qidam (قدم), baqa’ (بقاء), mukhalafatuhu lil-hawaditsi (مخالفتُهُ للحوادث), qiyamuhu binafsihi (قيامه بنفسه), dan wahdaniyyah (وحدانية).
Syekh Umar Abdul Jabbar dalam Khulāṣah Nūr al-Yaqīn menerangkan:
اللّٰهُ تَعَالَى مَوْجُودٌ لَا كَأَحَدٍ مِنَ الْمَوْجُودَاتِ، قَدِيمٌ لَا أَوَّلَ لَهُ، بَاقٍ لَا آخِرَ لَهُ.
“Allah Ta‘ala itu ada, namun tidak serupa dengan segala yang ada; Dia Qadim tanpa permulaan dan Baqa’ tanpa kesudahan.”
Ungkapan ini menunjukkan harmoni antara dalil rasional dan dalil naqli. Rasionalitas dalam memahami dua puluh sifat bukanlah bentuk skeptisisme terhadap wahyu, tetapi upaya untuk menegaskan bahwa keyakinan terhadap Allah memiliki dasar logis yang tak terbantahkan.
Rasionalitas Teologis dalam Sifat-Sifat Salbiyyah
Sifat salbiyyah menegaskan keterlepasan Allah dari segala sifat kekurangan makhluk. Misalnya, sifat mukhalafatuhu lil-hawaditsi berarti Allah berbeda dari makhluk dalam segala hal. Akal yang sehat dapat memahami bahwa Sang Pencipta tidak mungkin sama dengan ciptaan.
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)
Dalil ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk) bersumber langsung dari wahyu. Dalam ranah rasionalitas, sifat ini mempertegas bahwa keberadaan Allah bersifat independen dan absolut.
Imam al-Sanusi dalam Umm al-Barāhīn juga menjelaskan:
إِنَّ الْعَقْلَ يَحْكُمُ بِوُجُوبِ قِدَمِ اللهِ وَبَقَائِهِ، لِاسْتِحَالَةِ الْعَدَمِ عَلَيْهِ.
“Akal menegaskan wajibnya sifat Qidam dan Baqa’ bagi Allah, karena mustahil bagi-Nya sifat tidak ada.”
Ini menunjukkan bahwa rasionalitas berperan sebagai jembatan antara keyakinan dan penalaran logis.
Sifat Ma‘ani: Bukti Rasional atas Kesempurnaan Tuhan
Kelompok sifat ma‘ani terdiri dari tujuh sifat: qudrah (قدرة), iradah (إرادة), ngilmu (علم), hayat (حياة), sama‘ (سمع), bashar (بصر), dan kalam (كلام). Ketujuh sifat ini menjadi bukti rasional atas kesempurnaan Tuhan sebagai Dzat yang hidup, berkehendak, dan mengetahui segala sesuatu.
Rasionalitas teologis dalam sifat-sifat ini tampak jelas. Misalnya, mustahil bagi Tuhan yang mencipta alam semesta untuk tidak memiliki pengetahuan tentang ciptaan-Nya. Allah berfirman:
وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 29)
Dengan demikian, sifat ‘ilm (ilmu) adalah keniscayaan logis. Begitu pula sifat qudrah dan iradah, sebab tanpa keduanya, tidak mungkin ada ciptaan dan keteraturan alam semesta.
Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid menjelaskan:
إِنَّ قُدْرَةَ اللّٰهِ شَامِلَةٌ لِكُلِّ مُمْكِنٍ، لَا يَعْجِزُهُ شَيْءٌ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ.
“Sesungguhnya kekuasaan Allah meliputi segala yang mungkin, tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan-Nya di langit maupun di bumi.”
Ungkapan ini mempertegas hubungan antara dalil wahyu dan bukti rasional dalam teologi Islam.
Sifat Ma‘nawiyyah: Refleksi Kesempurnaan dan Ketuhanan
Sifat ma‘nawiyyah merupakan derivasi dari sifat ma‘ani, yaitu keadaan Allah yang bersifat Maha Kuasa, Maha Berkehendak, Maha Mengetahui, dan seterusnya. Melalui sifat-sifat ini, manusia dapat memahami bahwa Tuhan bukan hanya ada, tetapi juga aktif dan berperan dalam realitas kehidupan.
Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam Tuhfat al-Murid menegaskan:
يَجِبُ لِلّٰهِ تَعَالَى أَنْ يَكُونَ قَادِرًا عَلَى كُلِّ مُمْكِنٍ، فَعَّالًا لِمَا يُرِيدُ.
“Wajib bagi Allah Ta‘ala memiliki kekuasaan atas segala yang mungkin dan melakukan apa yang dikehendaki-Nya.”
Pernyataan ini mengandung logika rasional dan spiritual sekaligus. Rasional karena mustahil Tuhan yang sempurna tidak memiliki kuasa atas ciptaan-Nya, dan spiritual karena kesadaran ini menumbuhkan keimanan dan ketundukan.
Keterpaduan Rasio dan Wahyu dalam Tijān ad-Darāri
Kitab Tijān ad-Darāri bukan hanya menyajikan daftar sifat Allah secara dogmatis, tetapi juga menerapkan logika tauhid yang berimbang antara akal dan wahyu. Setiap sifat dijelaskan dengan dalil argumen rasional yang memperkuat dalil nash. Dengan demikian, keimanan seorang Muslim menjadi bersandar pada ilmu dan keyakinan, bukan pada tradisi buta.
Pendekatan semacam ini menjadikan teologi Islam bersifat ilmiah-bersanad: ilmiah karena berlandaskan argumentasi rasional dan sistematis, serta bersanad karena merujuk pada otoritas ulama salaf yang terpercaya.
Keselarasan akal dan wahyu inilah yang menjadikan pemahaman terhadap dua puluh sifat wajib Allah tidak hanya menenangkan hati, tetapi juga memuaskan nalar.
Implikasi Spiritual dan Intelektual
Pemahaman dua puluh sifat wajib Allah tidak berhenti pada tataran konseptual, tetapi harus berimplikasi pada kesadaran spiritual. Setiap sifat mengandung nilai yang dapat membentuk karakter hamba. Misalnya, memahami sifat ‘ilm menumbuhkan semangat menuntut ilmu, sedangkan sifat iradah mengajarkan kesadaran atas kehendak Allah dalam setiap takdir.
Dalam konteks pendidikan Islam modern, telaah rasionalitas teologis ini relevan untuk meneguhkan keimanan generasi muda yang hidup di tengah arus sains dan skeptisisme. Ketika teologi dijelaskan secara rasional dan kontekstual, keimanan tidak lagi sekadar dogma, tetapi menjadi kesadaran intelektual yang hidup.
Penutup: Ketika Akal Bersujud di Hadapan Keagungan Allah
Menelaah rasionalitas teologis dua puluh sifat wajib Allah dalam Tijān ad-Darāri membawa manusia pada satu titik perenungan: akal yang tajam sekalipun akhirnya harus bersujud di hadapan kebesaran-Nya. Allah bukan sekadar konsep metafisik, melainkan realitas yang dirasakan oleh hati yang yakin.
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri hingga jelas bagi mereka bahwa Dia adalah yang benar.” (QS. Fussilat [41]: 53)
Dalam kesadaran inilah, ilmu dan iman berpadu, nalar dan nurani bertemu, menuntun manusia untuk mengenal Tuhannya dengan cinta, logika, dan keyakinan yang teguh.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
