Opinion
Beranda » Berita » Sobat Ngajar dan Generasi Z: Adaptasi Guru di Era Digital

Sobat Ngajar dan Generasi Z: Adaptasi Guru di Era Digital

SURAU.CO. Jika Anda aktif di TikTok, Facebook, Instagram, atau X, mungkin pernah melihat nama “Sobat Ngarit”, karena istilah ini belakangan ramai dibicarakan di media sosial. Istilah tersebut merujuk pada sekelompok anak muda yang menampilkan aktivitas sederhana mencari rumput untuk pakan ternak sapi di Blitar, Jawa Timur, sebuah fenomena yang muncul berkat kreativitas Indra Khoirul Faiyun atau Mas Iyun. Melalui konten yang apa adanya, ia tidak hanya menunjukkan keseharian masyarakat desa, tetapi juga menyampaikan pesan kuat tentang kerja keras, kesederhanaan, dan semangat anak muda desa yang tetap kreatif serta percaya diri di era digital. Karena itu, di tengah dominasi konten glamor dan serba pamer, kehadiran Sobat Ngarit menjadi pengingat penting bahwa ketulusan dan kejujuran justru lebih mudah menyentuh hati banyak orang.

Video kesehariannya yang jujur, sederhana, dan penuh kerja keras justru menarik perhatian banyak orang, bahkan mendapat apresiasi dari anggota DPR RI. “Sobat Ngarit” kemudian menjadi simbol bahwa kerja keras dan kreativitas bisa tumbuh dari mana saja, dan kesederhanaan pun mampu membuka jalan masa depan.

Fenomena Mas Iyun ini paralel dengan guru. Guru setiap hari “ngarit” yakni dalam bentuk yang berbeda. Memotong semak-semak kebodohan, menyiapkan “rumput” ilmu dan nilai untuk murid-murid amanah. Guru tidak butuh viral, tidak perlu gemerlap lampu atau mencari sensasi. Bagi guru, menjadi “sobat ngajar” adalah tujuan utama.

Transformasi Pendidikan Pasca-Pandemi

Tantangan guru hari ini berbeda. Jauh beda dari beberapa tahun lalu. Pandemi Covid-19 mengubah segalanya. Wajah pendidikan drastis berubah. Pembelajaran tatap muka berubah dan kini pakai Zoom Meeting atau Google Meet. Banyak orang tua gagap, murid pun bingung bahkan sampai guru juga stres. Interaksi sosial menurun tajam, keakraban mulai luntur dan sang guru bahkan tidak mengenali murid karena hanya melihat kotak foto di layar yang kadang pula bukan wajah aslinya.

Di sisi lain, orang tua mengeluh. Mendidik anak di rumah itu sulit. Bukan hanya learning loss yang terjadi. Kebiasaan disiplin hilang, karakter positif juga tergerus. dan inilah masalah besar bagi semua.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Menghadapi Generasi Z: Guru yang Relate

Memasuki era Generasi Z ada tantangan baru. Mereka lahir kisaran 1997–2012. Mereka tidak hanya diajar guru. Juga “diajar” smartphone, Google, drama Korea, TikTok, dan Meta. Filosofi lama “digugu lan ditiru” tidak otomatis berlaku. Murid era ini menuntut guru yang relate. Guru harus mampu masuk dunia mereka dengan tanpa kehilangan harga diri sebagai pendidik. Guru tidak lagi serba tahu tapi mitra berdialog, teman diskusi dan tempat bertanya dengan cara setara.

Pengalaman pribadi mengajar saya. Ini menunjukkan perubahan besar di mana metode ceramah sulit diterima sementara murid jenuh jika hanya wejangan panjang karena tanpa adanya interaksi. Saya pernah menegur siswa bernama Rian. Dia ribut dan tidak kerjakan tugas. Teguran tidak diterima baik. Tidak seperti dulu murid menghormati guru. “Wek-wek Pak, ndak kena… ayo lagi Pak!” katanya. Dia tertawa saat saya melempar kapur. Saat itu saya bertanya. Apakah murid tidak menghormati guru? Atau guru butuh metode baru?

Adaptasi dan Inovasi: Hadir di Zaman Murid

Pesan klasik Imam al-Syahrastani, “Jangan paksa anak-anakmu mengikuti jalan hidupmu; mereka diciptakan untuk zamannya, bukan zamanmu,” terasa sangat relevan bagi dunia pendidikan hari ini. Guru dituntut hadir dalam zaman murid, memahami cara berpikir dan dunia mereka, namun tetap menjaga batas adab dan martabat profesinya sebagai pendidik.

Oleh karena itu, sikap kreatif, kolaboratif, dan inovatif bukan lagi pilihan, tetapi keharusan agar pembelajaran menjadi lebih dekat dengan kehidupan peserta didik—lebih hangat, demokratis, dan menyenangkan—tanpa kehilangan inti sejati pendidikan, yaitu mendidik manusia secara utuh lahir dan batin.

Kolaborasi untuk Kualitas Pendidikan

Tentu muncul kekhawatiran: prestasi menurun, etika melemah, sopan santun terkikis. Arus konten digital begitu deras, dan tidak semuanya mendidik. Algoritma media sosial sering mengarahkan murid pada apa yang mereka sukai, bukan pada apa yang mereka butuhkan. Di sinilah guru harus hadir, tidak berjalan sendiri, tetapi berkolaborasi dengan orang tua, komite sekolah, dan lingkungan, agar iklim akademis tetap sehat dan bermutu.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Guru hari ini berhadapan langsung dengan era digital, sebuah realitas yang mau tidak mau harus bertemu. Saatnya bukan hanya mengeluh, tetapi mengambil peran sebagai penggerak perubahan. Seperti “Sobat Ngarit” yang tetap berusaha dalam kesederhanaan, guru pun harus terus bekerja, melangkah, dan optimistis, memastikan murid-murid tumbuh cerdas, pikirannya terang, akhlaknya terjaga, dan masa depannya tetap cerah. (kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement