SURAU.CO–Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam memberikan kaidah mendasar saat menilai ibadah:
“Amalan yang bersumber dari hati yang zuhud (tidak tamak pada dunia) tidak dapat kita sebut sedikit. Sedangkan amalan yang bersumber dari hati yang tamak tidak dapat kita sebut banyak.”
Hikmah ini mengajarkan bahwa bobot amal saleh terletak pada kualitas internal, yakni keadaan hati yang melandasinya. Walaupun amalan fisik yang kita laksanakan itu terasa minim atau kecil, namun kita kerjakan dengan penuh keikhlasan dan bersih dari unsur-unsur kesyirikan (riya), maka pada hakikatnya kita sedang melakukan sebuah investasi spiritual yang besar dengan ganjaran yang besar pula di sisi Allah. Nilai sejati sebuah ibadah ditentukan oleh kualitasnya, bukan sekadar kuantitas. Betapa banyak orang yang melaksanakan ibadah siang dan malam—puasa, shalat, dan zikir yang tak terhitung—namun mereka tidak memperoleh pahala yang berarti. Ini terjadi karena semua itu mereka lakukan tanpa keikhlasan dan jauh dari orientasi ketuhanan.
Pentingnya Amal Berlandaskan Keikhlasan
Sebaliknya, walaupun amalan yang kita kerjakan itu terlihat masif dan banyak, namun tidak dilandasi keikhlasan, bahkan tercemar oleh nilai-nilai kesyirikan atau pamrih dunia, maka pahala yang kita dapatkan praktis adalah nol besar, sia-sia belaka. Ibadah yang kita tujukan untuk selain-Nya, maka Dia akan menolaknya dan berlepas diri darinya. Ibadah itu sepenuhnya tergantung pada niatnya. Jikalau niatnya murni untuk Allah Swt., maka Allah pasti akan membalasnya dengan karunia-Nya. Jikalau niatnya hanya untuk mencapai keuntungan dunia, maka ia akan mendapatkan apa yang dikehendaki (jika Dia mengizinkan), tetapi kehilangan pahala di akhirat. Kita harus memahami bahwa banyaknya amalan belum tentu mencerminkan banyaknya pahala, dan sebaliknya. Timbangan yang Dia gunakan adalah keikhlasan hati dan kesesuaian perbuatan dengan tuntunan Rasulullah Saw.
Keterkaitan Hati dan Perjalanan Spiritual
Nasihat selanjutnya menjelaskan asal-muasal amal baik dan hubungannya dengan hati:
“Amal kebajikan merupakan hasil keadaan spiritual yang baik. Keadaan spiritual yang baik merupakan perwujudan dari kedudukan yang diberikan oleh Allah Swt.”
Amal kebajikan yang termanifestasi melalui perbuatan anggota badan adalah konsekuensi logis dari keadaan spiritual yang baik, yang bersemayam di dalam hati. Barang siapa yang keadaan batinnya baik, maka kebaikan itu akan terpancar pada amal lahiriahnya. Dan, barang siapa yang keadaan hatinya buruk, maka keburukan itu akan terefleksi pada perbuatannya. Orang yang baik sejati adalah yang baik keadaan hatinya. Sedangkan orang yang buruk adalah yang buruk keadaan hatinya. Kedua aspek ini terjalin erat dan memiliki korelasi timbal balik yang kuat.
Pentingnya Keadaan Hati yang Baik
Keadaan hati yang baik hanya bisa kita raih jikalau kita melaksanakan tahapan-tahapan yang benar menuju Allah Swt. Jikalau kita bertaubat, maka kita harus bertaubat dengan benar, yang melingkupi penyesalan mendalam dan janji tak mengulangi. Marilah kita jauhi semua larangan-Nya, dan kita laksanakan semua perintah-Nya. Jikalau kita sudah berada di tahapan sabar, maka kita harus bersabar dengan kesabaran yang indah (sabr jamil), dan kita pertahankan keadaan itu secara konsisten.
Kita tidak boleh menggunakan dalih berada di tahapan spiritual tertentu—misalnya, sabar—kemudian kita merasa boleh melanggar maksiat. Pikiran ini sama sekali tidak benar. Setiap tahapan spiritual saling mendukung dan berhubungan. Hati kita akan semakin jernih dan bercahaya setiap kali kita berhasil melintasi tahapan-tahapan menuju Allah Swt. dengan ketulusan dan ketekunan.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
