Khazanah
Beranda » Berita » Berlomba dalam Kebaikan: Waspada Lingkungan yang Melemahkan dan Rasa Sempurna Menurut Al-Hikam

Berlomba dalam Kebaikan: Waspada Lingkungan yang Melemahkan dan Rasa Sempurna Menurut Al-Hikam

Ilustrasi seorang hamba yang tenggelam dalam munajat berharap hidayah dari Allah.
Ilustrasi seorang hamba yang tenggelam dalam munajat berharap hidayah dari Allah.

SURAU.COSyekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, melalui kitab Al-Hikam, memberikan sebuah filter penting dalam menjalin hubungan:

“Janganlah kita bersahabat dengan orang yang kondisinya tidak membangkitkan semangat kita, dan perkataannya tidak mengantarkan kita menuju Allah Swt.”

Prinsip dari Syekh Ibnu ‘Athaillah ini mengingatkan kita bahwa persahabatan bukanlah sekadar urusan rekreasi sosial, melainkan sebuah investasi spiritual. Kita harus menghindari bersahabat dengan orang-orang yang kondisi spiritualnya sama sekali tidak mampu memicu semangat ibadah dan amal saleh dalam diri kita. Pengaruh seorang teman memainkan peran yang sangat besar dalam membentuk karakter dan destinasi kita. Analogi klasik mengenai berteman dengan penjual minyak wangi yang membuat kita kecipratan harum, atau berteman dengan pandai besi yang membuat kita terkena asapnya, menggambarkan dengan jelas efek tarbiyah (pendidikan) dari lingkungan pergaulan.

Pentingnya Menjaga Jarak

Oleh karena itu, kita perlu menjaga jarak dengan orang-orang yang perkataannya sama sekali tidak menginspirasi kita untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya. Amat banyak manusia yang menghabiskan waktu dengan ucapan yang sia-sia, hampir seluruh perkataan mereka hanyalah gurauan belaka. Kita tidak bisa mengambil manfaat, hikmah, atau ilmu yang berarti dari obrolan mereka. Seringkali, fokus utama yang mereka bicarakan hanyalah urusan materi, uang, wanita, atau hal-hal duniawi lain yang fana. Kita harus benar-benar menjauhi kedua kelompok ini—mereka yang lemah semangatnya dan mereka yang omongannya laghwun (sia-sia)—karena mereka hanya akan menarik kita menjauhi Allah Swt. Seseorang yang perkataannya tidak menuntun kita mengingat Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya, maka waktu yang kita habiskan bersamanya hanyalah kerugian. Kita akan merasakan penyesalan yang mendalam di akhirat kelak, terutama ketika amal kebaikan diperlihatkan di hadapan kita dan kita menyadari betapa banyak peluang pahala yang telah kita buang percuma.

Waspada Jebakan Perbandingan

Nasihat selanjutnya dari Syekh Ibnu ‘Athaillah, beliau memperingatkan kita agar tidak terjebak dalam perbandingan yang menipu: “Barangkali kita adalah seseorang yang buruk, kemudian kebaikan tampak dari diri kita karena bersahabat dengan orang yang keadaannya lebih buruk dari diri kita.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kita harus waspada bahwa bisa jadi keadaan lahir dan batin kita sebenarnya kurang baik, namun karena kita memilih berteman dengan orang-orang yang tingkat keburukannya jauh lebih parah dari kita, maka secara otomatis kita terlihat lebih saleh, lebih hebat, dan lebih berilmu. Ini adalah jebakan yang sangat licik dari hawa nafsu. Jikalau kita tidak sangat hati-hati, maka kita akan terperangkap dalam ilusi, mulai merasa lebih baik, dan mengembangkan kesombongan halus (‘ujub) di hadapan orang lain.

Contoh sederhananya, kita mungkin berteman dengan orang yang sering melalaikan shalat wajib, sementara kita sendiri rajin mengerjakannya. Jikalau kita tidak membentengi hati, maka kita akan terjebak dalam perasaan superioritas, merasa lebih tinggi dan mulia dari teman kita. Marilah kita hindari pola pikir dan lingkungan pergaulan seperti ini.

Perlunya Melihat Orang yang Lebih Unggul dari Kita dalam Ibadah

Dalam urusan ibadah dan spiritualitas, kita harus selalu melihat kepada orang yang lebih unggul dari kita, dan berupaya bersahabat dengannya. Jikalau kita lalai melaksanakan ibadah sunah, maka marilah kita berteman dengan orang yang sangat rajin mengerjakan sunah. Lingkungan positif ini akan membuat kita merasa kecil di hadapan Allah. Dan kita tidak akan pernah merasa bangga atau sombong sedikit pun. Keadaan ini secara otomatis akan memicu kita terpacu untuk melakukan ibadah yang sama, bahkan berusaha menjadi lebih baik lagi. Tidak ada amalan yang lebih bermanfaat daripada berlomba-lomba dalam kebaikan. Jangan pernah kita membiarkan diri merasa telah sempurna. Karena perasaan puas diri itu, menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah akan menjadi penghambat paling besar bagi kemajuan spiritual kita.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement