Surau.co. Transisi kekuasaan dari Hasan bin Ali menuju Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi salah satu episode paling penting dalam sejarah politik Islam. Banyak sejarawan menyebut peristiwa ini sebagai titik balik yang menentukan arah peradaban Muslim, sebab momen tersebut bukan sekadar pergantian pemimpin, tetapi sebuah rekonsiliasi politik berskala besar yang menyelamatkan umat Islam dari perpecahan berkepanjangan. Pembahasan mengenai Hasan bin Ali dan Muawiyah bukan hanya soal dua tokoh, tetapi tentang etika kekuasaan, kebijaksanaan moral, dan seni meredam konflik.
Firman Allah ﷻ dalam QS. Al-Hujurat ayat 10 menegaskan landasan moral dalam penyelesaian perselisihan:
﴿ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ﴾
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara; maka damaikanlah antara dua saudaramu.”
Ayat ini menunjukkan bahwa perdamaian bukan pilihan tambahan, melainkan kewajiban agama. Hasan bin Ali tampil sebagai figur yang menegakkan pesan Qur’ani tersebut, sementara Muawiyah menunjukkan kecerdasan manajerial sebagai pemimpin yang mampu menjaga stabilitas di tengah gejolak.
Konteks Politik Pasca-Ali: Ketegangan dan Keletihan Sosial Umat
Setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib, masyarakat Muslim berada dalam situasi yang sangat sensitif. Perang-perang internal sebelumnya seperti Perang Jamal dan Perang Shiffin menyisakan luka sosial yang mendalam. Banyak wilayah mulai mengalami ketidakstabilan, sementara berbagai kelompok politik menuntut arah kepemimpinan yang jelas. Dalam situasi seperti ini, Hasan bin Ali diangkat sebagai khalifah oleh penduduk Kufah dan daerah-daerah sekitarnya.
Namun, kondisi politik yang diwarisi Hasan tidak stabil. Pasukan belum sepenuhnya solid, dan loyalitas umat terpecah pada beberapa kelompok. Hasan memahami bahwa konflik berkelanjutan tidak akan membawa kemaslahatan. Pilihan untuk berdamai menjadi opsi realistis sekaligus paling etis dalam menjaga persatuan umat.
Syekh Umar Abdul Jabbar dalam Khulāṣoh Nūr al-Yaqīn memberikan gambaran situasi tersebut:
« وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ يَتَعَبُونَ مِنَ الْفِتَنِ وَالْقِتَالِ، فَكَانَ الصُّلْحُ أَقْرَبَ إِلَى الْوَحْدَةِ »
“Kaum Muslim berada dalam kelelahan akibat fitnah dan peperangan, sehingga perdamaian lebih dekat kepada terciptanya persatuan.”
Penjelasan ini mempertegas hikmah di balik keputusan Hasan. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut berani di medan perang, tetapi juga berani mengakhiri perang demi kemaslahatan jangka panjang.
Hasan bin Ali: Pemimpin Visioner yang Mengutamakan Perdamaian
Ketika Hasan menerima baiat sebagai khalifah, seluruh umat berharap stabilitas segera terwujud. Namun Hasan memahami bahwa jalan menuju stabilitas tidak selalu melalui kemenangan militer. Rekonsiliasi menjadi pilihan yang lebih maslahat, terutama demi menyelamatkan nyawa kaum Muslim yang telah lama terkuras oleh konflik internal.
Keputusannya untuk berdamai dengan Muawiyah sering disalahpahami sebagai bentuk kelemahan. Padahal, langkah tersebut sesuai dengan prinsip kenabian. Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda:
« إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ »
“Putraku ini adalah seorang pemimpin, dan semoga Allah mendamaikan melalui dirinya dua kelompok besar kaum Muslim.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan legitimasi moral dan spiritual atas keputusan Hasan. Damai bukan berarti menyerah, tetapi strategi mulia untuk mengembalikan persatuan umat. Hasan tidak mengejar kemenangan politik jangka pendek, melainkan kemaslahatan jangka panjang yang jauh lebih bernilai.
Para ulama menegaskan kemuliaan langkah Hasan. Ibn Katsir dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah mencatat:
« فَكَانَ تَرْكُهُ لِلْحُكْمِ أَفْضَلَ مِنْ تَمَسُّكِ غَيْرِهِ بِهِ، لِأَنَّهُ أَرَادَ وَجْهَ اللهِ وَجَمْعَ كَلِمَةِ الْمُسْلِمِينَ »
“Tindakan Hasan melepaskan kekuasaan lebih utama daripada upaya orang lain mempertahankannya, karena tujuannya adalah mencari ridha Allah dan menyatukan kaum Muslim.”
Perdamaian yang ditempuh Hasan menjadi teladan tentang bagaimana pemimpin Muslim mengutamakan misi besar, bukan ambisi pribadi.
Muawiyah bin Abi Sufyan: Stabilitas, Administrasi Modern, dan Rekonsiliasi
Di sisi lain, Muawiyah tampil dengan karakter kepemimpinan yang kuat, visioner, dan terstruktur. Selama menjadi gubernur Syam, dirinya membangun sistem administrasi yang rapi, disiplin, dan profesional. Ketika rekonsiliasi dengan Hasan tercapai, Muawiyah memikul tanggung jawab besar untuk menjaga stabilitas dan memulihkan hubungan antarwilayah.
Muawiyah tidak hanya dikenal sebagai negarawan ulung, tetapi juga sosok yang mampu mengendalikan konflik dengan pendekatan politik yang matang. Ia tidak menolak perdamaian yang ditawarkan Hasan, karena memahami betapa pentingnya kesatuan umat di bawah kekuasaannya setelah masa panjang perselisihan.
Rekonsiliasi ini bukan sekadar kesepakatan politik, tetapi simbol kematangan moral Hasan bin Ali. Hasan pemimpin dari dua generasi yang berbeda menunjukkan bahwa cinta terhadap umat harus mengalahkan segala bentuk ego dan kepentingan pribadi, meskipun hal ini berbeda dengan muawiyah yang lebih menginginkan kekuasaan.
Perjanjian Damai Hasan–Muawiyah: Model Rekonsiliasi Politik Islam
Perjanjian damai antara Hasan dan Muawiyah bukanlah penyerahan kekuasaan semata, tetapi kesepakatan strategis yang mengandung nilai-nilai luhur. Dalam beberapa riwayat, perjanjian tersebut memuat poin-poin mengenai perlindungan terhadap warga Muslim, penghormatan terhadap keluarga Nabi, dan jaminan bahwa kekuasaan tidak boleh diwariskan secara turun-temurun selama Hasan masih hidup.
Syekh Umar Abdul Jabbar mencatat:
« وَتَضَمَّنَ الصُّلْحُ مَبَادِئَ الْعَدْلِ وَالْحِفَاظِ عَلَى دِمَاءِ الْمُسْلِمِينَ »
“Perjanjian damai tersebut memuat prinsip keadilan dan menjaga darah kaum Muslim.”
Perjanjian ini mengajarkan bahwa rekonsiliasi tidak boleh berdiri tanpa nilai. Kedamaian yang benar adalah kedamaian yang berlandaskan keadilan dan perlindungan terhadap hak seluruh umat.
Perdamaian ini kemudian menjadi fondasi kokoh bagi apa yang disebut tahun 41 H sebagai ‘Ām al-Jamā‘ah—tahun persatuan. Dari sinilah, umat Muslim kembali memiliki satu kepemimpinan yang sah menurut konsensus mayoritas.
Pelajaran Etika Kekuasaan dari Hasan dan Muawiyah dalam Rekonsiliasi politik Islam
Dinamika politik antara Hasan dan Muawiyah memberikan banyak pelajaran penting mengenai etika kekuasaan:
- Kekuasaan bukan tujuan utama, tetapi amanah moral
Hasan menunjukkan bahwa seorang pemimpin tidak wajib mempertahankan kekuasaan jika terdapat opsi lain yang lebih maslahat. Pengorbanan politik demi persatuan umat menjadi bukti ketinggian moral seorang cucu Nabi.
- Perdamaian memerlukan keberanian spiritual
Muawiyah memperlihatkan bahwa rekonsiliasi adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan. Kesediaannya menerima perjanjian damai menjadi bukti kecerdasan politik dan keberanian untuk mengembalikan stabilitas umat.
- Konflik internal dapat diselesaikan melalui dialog dan kesepakatan strategis
Perjanjian Hasan–Muawiyah menjadi model mediasi politik Islam yang adil dan maslahat. Ini bisa menjadi inspirasi bagi penyelesaian konflik modern, baik di level nasional maupun global.
Penutup
Transisi kepemimpinan dari Hasan bin Ali menuju Muawiyah memberikan hikmah abadi tentang rekonsiliasi politik. Dua pemimpin besar ini menunjukkan bahwa perdamaian dapat menjadi keputusan paling berani dalam sejarah umat manusia. Di tengah gelombang ambisi dan perselisihan, Hasan memilih jalan lapang yang merangkul seluruh umat, sementara Muawiyah menjaganya dengan penuh kesungguhan.
Dalam keheningan sejarah, langkah mereka berdua mengajarkan bahwa kejayaan umat tidak lahir dari pertumpahan darah, tetapi dari kesediaan untuk mengedepankan persatuan. Hikmah itu tetap relevan hingga hari ini, menjadi cahaya bagi siapa pun yang ingin membangun bangsa dan masyarakat dengan hati yang jernih dan visi kemaslahatan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
