Surau.co. Peristiwa Isra’ Mi’raj selalu menempati posisi penting dalam sejarah Islam. Para ulama memandangnya sebagai perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW yang sarat makna transendental sekaligus momen penetapan ibadah paling fundamental, yaitu salat lima waktu. Karena itu, pembahasan mengenai Isra’ Mi’raj bukan hanya relevan bagi studi sejarah keagamaan, tetapi juga penting untuk membangun kesadaran spiritual umat Islam masa kini.
Makna Isra’ dan Mi’raj dalam Perspektif Wahyu
Pembahasan mengenai Isra’ Mi’raj harus dimulai dari sumber utamanya: Al-Qur’an. Allah berfirman:
﴿سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى﴾
“Mahasuci Allah yang memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha …” (QS. Al-Isra’: 1)
Ayat ini menegaskan bahwa perjalanan pertama, yaitu Isra’, berlangsung secara nyata dengan raga dan ruh. Para ulama Ahlussunnah menyampaikan bahwa kemuliaan ayat ini juga menunjukkan keistimewaan Nabi sebagai ‘abd, hamba yang paling sempurna dalam ketaatan.
Perjalanan kedua, yaitu Mi’raj, dijelaskan dalam berbagai hadis sahih. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi naik ke langit, bertemu para nabi, dan menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Perjalanan vertikal ini menghadirkan hakikat bahwa spiritualitas dalam Islam tidak lepas dari legitimasi wahyu dan petunjuk ilahi.
Konteks Historis: Dari Tahun Kesedihan menuju Cahaya Langit
Isra’ Mi’raj tidak berdiri sendiri; peristiwa ini terjadi setelah Nabi mengalami fase berat yang dikenal sebagai ‘Aam al-Huzn, tahun kesedihan. Kepergian Abu Thalib dan Khadijah menambah tekanan dakwah. Selain itu, penduduk Thaif juga menolak dakwah dengan perlakuan menyakitkan.
Syekh Umar Abdul Jabbar dalam Khulasoh Nurul Yaqin menggambarkan konteks ini dengan:
«وَتَوَالَتْ عَلَيْهِ الْمِحَنُ حَتَّى ضَاقَتْ بِهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ»
“Ujian demi ujian menimpanya, sampai-sampai bumi yang luas terasa sempit baginya.”
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa Isra’ Mi’raj bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi merupakan penguatan ilahi bagi Nabi Muhammad SAW setelah fase penderitaan panjang.
Karena itu, memaknai Isra’ Mi’raj berarti melihat bagaimana rahmat Allah turun pada titik paling genting dalam perjalanan risalah.
Isra’: Perjalanan Malam dari Makkah ke Baitul Maqdis
Isra’ berlangsung dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha dengan mengendarai Buraq. Nabi melewati tempat-tempat penting, dan setiap lokasi memiliki pesan spiritual tersendiri. Masjidil Aqsha merupakan kiblat pertama umat Islam.
Dengan singgahnya Nabi di sana, perjalanan Isra’ menjadi simbol penyambung risalah para nabi, sehingga umat Islam memiliki hubungan pewarisan spiritual dari para nabi sebelumnya. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya menyatakan:
«فِي الْإِسْرَاءِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الرِّسَالَةَ وَاحِدَةٌ وَإِنِ اخْتَلَفَتْ شَرَائِعُهَا»
“Isra’ menunjukkan bahwa risalah para nabi hakikatnya satu, meskipun syariat mereka berbeda.”
Penjelasan ulama ini menguatkan bahwa perjalanan Nabi bukan hanya perjalanan fisik, tetapi perjalanan lintas risalah.
Mi’raj: Pendakian Spiritual menuju Sidratul Muntaha
Mi’raj merupakan fase paling agung. Nabi naik melalui tujuh lapis langit, bertemu para nabi, dan menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah.
Syekh Umar Abdul Jabbar menggambarkan fase Mi’raj dengan bahasa sangat kuat:
«وَرَأَى فِي السَّمَاءِ مَا تُذْهِبُ لِأَجْلِهِ الْعُقُولُ وَتَحَارُ فِيهِ الْأَفْهَامُ»
“Nabi menyaksikan di langit perkara-perkara yang membuat akal takjub dan pikiran terpana.”
Ketika Nabi mencapai Sidratul Muntaha, wahyu mengenai salat lima waktu diberikan. Dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari, Nabi bersabda bahwa Allah mewajibkan lima puluh salat, kemudian Nabi meminta keringanan hingga menjadi lima salat, namun tetap bernilai lima puluh.
Proses ini menunjukkan kemurahan Allah sekaligus keutamaan Nabi Musa yang memberikan saran berulang agar Nabi meminta keringanan.
Penetapan Salat: Legitimasi Syariat Umat Islam
Peristiwa Mi’raj menandai kewajiban salat lima waktu. Salat tidak turun di bumi seperti ibadah lain; salat turun langsung dari pertemuan Nabi dengan Allah.
Karena itu, ulama menyebut salat sebagai “mi’rajnya orang beriman”. Imam al-Ghazali menegaskan:
«الصَّلَاةُ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِ»
“Salat adalah mi’raj bagi orang beriman.”
Dengan salat, seorang mukmin menghubungkan dirinya dengan Allah secara langsung. Inilah alasan mengapa peristiwa Isra’ Mi’raj menjadi basis legitimasi ibadah dalam Islam.
Isra’ Mi’raj dalam Perspektif Sosial: Dari Langit Turun ke Bumi
Isra’ Mi’raj tidak hanya berkaitan dengan dimensi spiritual. Para sejarawan mencatat bahwa setelah peristiwa itu, Nabi kembali dengan semangat baru dan mulai membangun masyarakat Islam yang kuat.
Perintah salat yang turun dari langit menjadi energi transformasi sosial. Salat membentuk pribadi yang disiplin, sabar, dan terarah. Umat Islam pertama di Makkah mempraktikkan salat secara sembunyi-sembunyi, tetapi tetap teguh karena salat menjadi fondasi spiritual mereka.
Perjalanan Isra’ Mi’raj juga menunjukkan bahwa umat Islam memiliki legitimasi wahyu yang tidak bisa dipatahkan oleh tekanan sosial. Nabi kembali dengan sikap lebih tegas, terutama setelah hijrah ke Madinah. Masyarakat yang beriman pun lahir dari integrasi antara spiritualitas dan perjuangan sosial.
Isra’ Mi’raj sebagai Sumber Inspirasi Kehidupan Modern
Di era modern, peristiwa Isra’ Mi’raj tetap menghadirkan nilai-nilai yang relevan bagi kehidupan sehari-hari. Setidaknya, terdapat beberapa pelajaran penting: Isra’ Mi’raj terjadi setelah tahun kesedihan. Umat Islam dapat belajar bahwa ujian tidak menghalangi turunnya pertolongan. Dalam kondisi paling gelap, cahaya bisa turun kapan saja.
Mi’raj membuktikan bahwa salat bukan ritual rutinitas, tetapi jalan menuju ketenangan. Dengan salat, seseorang memulihkan kejernihan batin dan menemukan arah hidup. Inilah inti spiritualitas yang diajarkan peristiwa Mi’raj.
Penjelasan Ulama tentang Hikmah Isra’ Mi’raj
Banyak ulama memberikan penjelasan mendalam mengenai hikmah peristiwa ini. Imam Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan:
«فِي الْمِعْرَاجِ إِظْهَارُ كَمَالِ مَنْزِلَتِهِ عِنْدَ رَبِّهِ»
“Dalam Mi’raj terdapat penjelasan tentang kesempurnaan kedudukan Nabi di sisi Tuhannya.”
Selain itu, Imam al-Qurtubi menerangkan:
«وَفِيهِ تَسْلِيَةٌ لَهُ بَعْدَ مَا لَقِيَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ»
“Mi’raj berfungsi sebagai penenang hati setelah berbagai penderitaan dari penduduk Makkah.”
Kedua pendapat ini memperjelas bahwa Isra’ Mi’raj bukan hanya penetapan syariat, tetapi juga bukti kasih sayang Allah kepada Nabi dan umatnya.
Penutup
Ketika umat Islam memperingati Isra’ Mi’raj, sebenarnya umat Islam sedang menghidupkan kembali perjalanan luhur yang mengajarkan harapan, keteguhan, dan cinta ilahi. Salat yang menjadi hasil Mi’raj tidak hanya membangun kedekatan dengan Allah, tetapi juga menciptakan ketenangan yang menuntun hidup.
Perjalanan Nabi ke langit menunjukkan bahwa cahaya selalu turun bagi mereka yang bertahan dalam kebenaran. Dan setiap sujud yang dilakukan seorang muslim merupakan langkah kecil menuju mi’raj pribadi yang penuh ketenangan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
