Surau.co. Baiat Aqabah menjadi salah satu momentum terbesar dalam sejarah dakwah Islam. Pada saat umat Islam mengalami tekanan berat di Makkah, muncullah sekelompok penduduk Yatsrib yang datang membawa harapan baru. Mereka datang bukan sekadar untuk mendengar ajaran Islam, tetapi untuk memberikan janji setia kepada Rasulullah. Peristiwa itu menghadirkan perubahan besar bagi arah dakwah, bahkan menjadi gerbang terbentuknya masyarakat Islam pertama yang adil, egaliter, dan penuh persaudaraan.
Frasa kunci seperti Baiat Aqabah, janji kaum Anshar, serta dukungan Yatsrib menggambarkan arah baru dakwah yang sebelumnya tertahan oleh tekanan Quraisy. Baiat Aqabah bukan sekadar perjanjian politik, tetapi perjanjian spiritual yang mengikat hati, tekad, dan komitmen untuk menegakkan nilai-nilai tauhid. Oleh karena itu, peristiwa tersebut memiliki kedalaman makna yang layak dibaca ulang oleh generasi hari ini, baik sebagai inspirasi sosial maupun spiritual.
Kondisi Dakwah Sebelum Baiat Aqabah
Dakwah Rasulullah di Makkah mengalami berbagai hambatan. Kelompok Quraisy melakukan tekanan terorganisir terhadap umat Islam. Mereka memutus hubungan sosial, memboikot ekonomi, serta menyebarkan propaganda untuk mencegah masyarakat mendekati ajaran tauhid. Situasi tersebut menggoyahkan sebagian umat, terutama mereka yang tidak memiliki pelindung dari suku-suku besar Quraisy. Dalam kondisi seperti itu, dakwah membutuhkan arah baru agar risalah tetap berjalan.
Al-Qur’an mencatat bentuk kezaliman tersebut dalam firman Allah:
﴿إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218)
Ayat ini memberi gambaran bahwa hijrah dan komitmen perjuangan menjadi bagian penting dari fase dakwah. Keadaan Makkah memerlukan perubahan strategi yang lebih luas dari sekadar dakwah secara sembunyi maupun terang-terangan. Syekh Umar Abdul Jabbar dalam Khulasoh Nurul Yaqin memberikan gambaran mengenai situasi tersebut:
«وَزَادَ أَذَى الْمُشْرِكِينَ فِي مَكَّةَ حَتَّى لَمْ يَقْدِرِ الْمُسْلِمُونَ عَلَى إِظْهَارِ دِينِهِمْ، فَكَانُوا يَطْلُبُونَ مَخْرَجًا لِحِمَايَةِ الْعَقِيدَةِ»
“Tekanan kaum musyrik semakin bertambah di Makkah hingga kaum muslimin tidak mampu menampakkan agamanya, sehingga mereka mencari jalan keluar untuk menjaga akidah.”
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan akan tempat baru bagi dakwah bukan sekadar pertimbangan strategis, tetapi tuntutan untuk menjaga keberlangsungan iman. Yatsrib kemudian muncul sebagai ruang harapan yang dapat menjadi titik balik perjalanan dakwah.
Baiat Aqabah Pertama: Keteguhan Janji di Tengah Malam
Peristiwa Baiat Aqabah pertama terjadi pada musim haji tahun ke-12 kenabian. Beberapa penduduk Yatsrib yang datang untuk berhaji mendengar tentang ajaran Rasulullah. Mereka berasal dari suku Aus dan Khazraj yang lama hidup dalam konflik. Ketika mendengar ajaran tauhid, hati mereka terbuka karena risalah Nabi menawarkan perdamaian yang mereka dambakan.
Pertemuan antara Nabi dan enam orang Yatsrib berlangsung secara rahasia pada suatu malam di Aqabah, dekat Mina. Para penduduk Yatsrib menyatakan bahwa ajaran tersebut sangat menjawab persoalan sosial mereka. Mereka merasa ajaran itu mampu menghentikan permusuhan yang selama ini menelan generasi demi generasi.
Hadis riwayat Ahmad menyebutkan:
«تَعَالَوْا نُبَايِعْكَ عَلَى أَنْ لَا نُشْرِكَ بِاللَّهِ شَيْئًا»
“Marilah kami membaiat engkau untuk tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun.”
Mereka kemudian berjanji setia, dan perjanjian itu menjadi titik awal masuknya cahaya Islam di Yatsrib. Syekh Umar Abdul Jabbar dalam Khulasoh Nurul Yaqin menjelaskan:
«فَبَايَعُوا النَّبِيَّ بَيْعَةً صَادِقَةً عَلَى التَّوْحِيدِ وَتَرْكِ الْمُنْكَرَاتِ»
“Mereka membaiat Nabi dengan baiat yang jujur untuk menegakkan tauhid dan meninggalkan kemungkaran.”
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa perjanjian tersebut bukan hanya deklarasi iman, tetapi komitmen moral untuk menciptakan masyarakat yang bersih dari fitnah, kezaliman, dan permusuhan. Baiat Aqabah pertama menjadi awal keniscayaan perubahan sosial di Yatsrib.
Baiat Aqabah Kedua: Janji Agung yang Mengubah Sejarah
Setahun setelah Baiat Aqabah pertama, perkembangan Islam di Yatsrib meningkat pesat. Para penduduk yang sebelumnya menerima risalah Nabi menyebarkan ajaran tersebut kepada keluarganya. Ketika musim haji berikutnya tiba, rombongan besar dari Yatsrib datang menemui Rasulullah secara rahasia pada malam hari. Di antara mereka terdapat 73 laki-laki dan 2 perempuan yang siap memberi komitmen jauh lebih besar daripada tahun sebelumnya.
Mereka datang membawa tekad untuk melindungi Rasulullah sebagaimana mereka melindungi keluarga mereka sendiri. Baiat Aqabah kedua bukan hanya perjanjian keimanan, tetapi perjanjian pertahanan. Mereka siap menghadapi konsekuensi politik yang mungkin timbul dari perjanjian tersebut, termasuk permusuhan bangsa Quraisy yang memiliki pengaruh besar.
Hadis sahih menggambarkan janji itu:
«عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ»
“(Kami berjanji) untuk mendengar dan taat dalam keadaan suka maupun tidak suka.”(HR.Bukhari & Muslim)
Janji itu menunjukkan kedewasaan politik kaum Anshar yang memahami bahwa dakwah memerlukan persatuan yang kuat. Pendapat seorang ulama besar, Ibnu Katsir, menegaskan makna Baiat Aqabah kedua:
«وَكَانَتْ هَذِهِ الْبَيْعَةُ أَسَاسًا لِقِيَامِ دَوْلَةِ الْإِسْلَامِ الْأُولَى فِي الْمَدِينَةِ»
“Baiat inilah yang menjadi dasar berdirinya negara Islam pertama di Madinah.”
Makna perjanjian tersebut sangat besar. Kaum Anshar berjanji melindungi Rasulullah meskipun harus menghadapi seluruh suku Arab. Dengan demikian, Baiat Aqabah kedua menjadi titik awal terbentuknya masyarakat Islam yang kuat, inklusif, dan penuh solidaritas.
Dampak Baiat Aqabah terhadap Dakwah dan Masyarakat Islam
Setelah Baiat Aqabah kedua, Rasulullah memberikan izin kepada kaum muslimin untuk berhijrah ke Yatsrib secara bertahap. Hijrah membuka lembaran baru dalam sejarah umat Islam. Di Yatsrib, umat Islam menemukan ruang yang lebih bebas untuk beribadah, belajar, dan mengembangkan ajaran Islam secara lebih luas. Baiat Aqabah menjadi pintu terbentuknya masyarakat yang memegang teguh nilai persaudaraan.
Allah menegaskan nilai persatuan tersebut dalam firman-Nya:
﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ﴾
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Ayat ini menjadi fondasi sosial masyarakat Madinah, tempat kaum Muhajirin dan Anshar hidup dalam satu ikatan akidah yang kuat.
Selain dampak politik, Baiat Aqabah mengajarkan bahwa spiritualitas Islam tidak pernah terpisah dari tanggung jawab sosial. Para penduduk Yatsrib tidak hanya memeluk ajaran tauhid, tetapi mengikatkan diri pada janji untuk melindungi Nabi, memperjuangkan keadilan, dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Baiat Aqabah menghadirkan pandangan bahwa keimanan sejati selalu menuntut aksi nyata. Janji yang mereka ucapkan menjadi saksi sejarah bagaimana kelompok kecil dengan kesungguhan hati mampu mengubah arah peradaban.
Penutup
Baiat Aqabah mengajarkan kepada umat bahwa perubahan besar selalu dimulai dari hati yang bersedia menerima kebenaran. Komitmen kaum Anshar menjadi teladan bahwa keimanan bukan hanya pengakuan lisan, tetapi tindakan yang terarah untuk menjaga agama dan sesama. Melalui kesungguhan hati mereka, Allah membuka jalan terbentuknya masyarakat Madinah yang memadukan nilai spiritual, keadilan sosial, serta semangat persaudaraan.
Ketika umat memandang kembali peristiwa Baiat Aqabah, ajakan moral itu terasa sangat dekat: bahwa setiap generasi memiliki “Aqabah”-nya masing-masing. Ada janji yang harus dijaga, ada tanggung jawab yang harus ditunaikan, dan ada cahaya keimanan yang harus terus dijaga agar tidak padam. Semoga pantulan cahaya itu menuntun langkah umat menuju kehidupan yang damai dan penuh keberkahan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
