Surau.co. Turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad menandai salah satu titik paling monumental dalam sejarah kemanusiaan. Peristiwa ini bukan hanya awal risalah Islam, tetapi juga gerbang transformasi diri Nabi dari seorang mukhalli—yang berdiam dalam khalwat dan perenungan mendalam—menjadi utusan yang memikul pesan langit untuk seluruh umat manusia. Karena itu, pembahasan mengenai wahyu pertama selalu menghadirkan nuansa sakral, dan setiap detail sejarah mengandung hikmah yang relevan bagi kehidupan modern. Kisah monumental ini membuktikan bahwa perubahan besar bermula dari ruang sunyi, dari proses olah batin yang jernih, hingga akhirnya menghadirkan keberanian untuk membawa pesan kebenaran ke tengah masyarakat.
Dalam kajian sejarah dan kitab turats, termasuk Khulasoh Nurul Yaqin karya Syekh Umar Abdul Jabbar, disebutkan bahwa peristiwa turunnya wahyu pertama bukan sebuah kejadian spontan. Peristiwa tersebut merupakan puncak dari perjalanan spiritual panjang yang Allah siapkan bagi Nabi. Syekh Umar menjelaskan:
“وَكَانَ مُحَمَّدٌ يَتَعَبَّدُ فِي غَارِ حِرَاءٍ أَيَّامًا ذَوَاتِ عَدَدٍ، حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ”
“Nabi Muhammad melakukan ibadah di Gua Hira selama hari-hari tertentu hingga kebenaran datang kepadanya.”
Penjelasan tersebut menguatkan pemahaman bahwa transformasi Nabi lahir dari kesungguhan, perenungan, dan kesiapan ruhani yang mendalam.
Khalwat Nabi: Perenungan di Gua Hira
Nabi Muhammad memilih untuk melakukan khalwat di Gua Hira bukan karena kebiasaan masyarakat Makkah, tetapi karena keresahan spiritual yang tumbuh seiring kedewasaan akalnya. Makkah kala itu hidup dalam hiruk-pikuk perdagangan, tetapi juga dipenuhi tradisi jahiliah seperti penyembahan berhala, praktik tidak manusiawi, serta kesenjangan sosial yang tajam. Di tengah suasana itu, Nabi menempuh jalur sunyi yang berbeda. Beliau naik ke Jabal Nur dan menyendiri di Gua Hira untuk merenungi tanda-tanda kebesaran Allah dan memohon petunjuk kebenaran.
Kebiasaan khalwat ini memperlihatkan kesiapan spiritual Nabi menjelang risalah. Banyak ulama menggambarkan bahwa dunia pada masa itu sedang menunggu cahaya. Al-Qadhi ‘Iyadh menegaskan dalam asy-Syifa’:
“فَلَمَّا تَمَّ أَرْبَعُونَ مِنْ سِنِيهِ، أَشْرَقَ نُورُ النُّبُوَّةِ فِي قَلْبِهِ”
“Ketika umur Nabi mencapai empat puluh tahun, cahaya kenabian memancar di dalam hatinya.”
Penjelasan ini menunjukkan bahwa usia empat puluh bukan sekadar angka, tetapi fase puncak kematangan spiritual yang dipilih Allah sebagai momentum awal risalah.
Ketenangan Gua Hira dan Kesiapan Hati Nabi
Gua Hira bukan ruang ibadah yang megah, tetapi tempat sunyi yang menawarkan pemandangan luas ke arah Makkah. Dalam kesendirian itu, Nabi mengamati kehidupan kota, memikirkan arah moral masyarakat, dan mendekatkan hati kepada Tuhan. Pemandangan langit malam yang penuh bintang, suara angin lembah, dan kesunyian puncak Jabal Nur menjadi latar refleksi yang memperkuat hubungan Nabi dengan Allah.
Khalwat ini menjadi fase penting yang membentuk kesiapan emosional, intelektual, dan spiritual Nabi. Transformasi besar tidak terjadi tiba-tiba, tetapi tumbuh dari ruang-ruang sunyi yang melatih ketenangan jiwa.
Turunnya Wahyu Pertama: Pertemuan dengan Malaikat dan Perintah “Iqra’”
Pada malam 17 Ramadhan, malaikat Jibril datang membawa wahyu pertama. Hadits riwayat Imam Bukhari menggambarkan peristiwa ini dengan sangat jelas:
«جَاءَنِي جِبْرِيلُ فَقَالَ اقْرَأْ»
“Jibril datang kepadaku dan berkata: Bacalah.”Nabi menjawab dengan penuh kerendahan,
«مَا أَنَا بِقَارِئٍ»
“Aku tidak dapat membaca.”
Perintah ini mengandung makna mendalam. Kata Iqra’ bukan sekadar perintah membaca teks, tetapi ajakan memahami, menyerap, dan mentadabburi seluruh tanda-tanda Allah di alam semesta. Perintah tersebut menjadi pondasi peradaban Islam yang mengutamakan ilmu, pena, dan pencarian pengetahuan sepanjang hayat.
Allah kemudian menurunkan lima ayat pertama Surah Al-‘Alaq:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١) خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (١) Dia menciptakan manusia dari segumpal darah (٢) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (٣) Yang mengajar manusia dengan pena (٤) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (٥)”. (QS. Al-‘Alaq ayat 1–5)
Ayat-ayat ini menggambarkan empat poros utama risalah: tauhid, penciptaan, ilmu, dan pendidikan manusia.
Getaran Wahyu dan Kejutan Batin Nabi
Turunnya wahyu pertama menjadi pengalaman yang mengguncang jiwa Nabi secara mendalam. Bukan guncangan ketakutan semata, tetapi rasa agung karena berjumpa dengan malaikat dan menerima amanah besar. Nabi turun dari Gua Hira dengan tubuh bergetar, lalu kembali ke rumah menemui Khadijah. Dalam kitab Khulasoh Nurul Yaqin menyebutkan:
“فَرَجَعَ يَرْجُفُ فُؤَادُهُ، وَقَالَ لِخَدِيجَةَ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي”
“Nabi kembali dengan hati bergetar dan berkata kepada Khadijah: Selimutilah aku, selimutilah aku.”
Reaksi ini bukan tanda kelemahan, melainkan pertemuan pertama seorang manusia dengan wujud malaikat, dan kesadaran bahwa amanah besar telah dimulai.
Peran Khadijah dalam Menenangkan dan Menguatkan Hati Nabi
Ketika Nabi kembali dalam keadaan gemetar, Khadijah menyambut dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Khadijah tidak meragukan pengalaman spiritual tersebut. Sebaliknya, Khadijah memperkuat keyakinan Nabi dengan penilaian objektif terhadap akhlaknya. Sebagaimana tercatat dalam hadits:
«وَاللَّهِ لَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتُقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ»
“Demi Allah, Tuhan tidak akan menghinakanmu selamanya. Engkau penyambung silaturahmi, penanggung beban, pemberi kepada yang tidak punya, pemulia tamu, dan penolong di jalan kebenaran.” (HR. Bukhari & Muslim)
Ucapan Khadijah menunjukkan bahwa transformasi Nabi lahir dari karakter kokoh yang telah terbentuk jauh sebelum turunnya wahyu.
Waraqah bin Naufal dan Penguatan Risalah
Khadijah membawa Nabi menemui Waraqah bin Naufal, seorang alim yang memahami kitab-kitab sebelumnya. Setelah mendengar cerita Nabi, Waraqah berkata:
«هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى»
“Itu adalah Namus (Jibril) yang Allah turunkan kepada Musa.” (HR. Bukhari & Muslim)
Ucapan tersebut memberikan validasi historis dan teologis terhadap pengalaman Nabi. Transformasi diri Nabi semakin kokoh karena dorongan moral dari Khadijah dan pengakuan ilmiah dari Waraqah.
Transformasi dari Khalwat ke Risalah
Setelah menerima wahyu, Nabi mengalami perubahan mendasar. Khalwat tidak lagi menjadi tujuan utama, tetapi menjadi fondasi untuk turun ke tengah masyarakat membawa pesan langit. Nabi mengubah kesunyian Gua Hira menjadi energi dakwah yang menggerakkan perubahan sosial. Dari pribadi yang kontemplatif, Nabi tampil sebagai pembimbing umat yang memikul amanah besar.
Transformasi ini berjalan bertahap, tetapi tegas. Wahyu yang turun kemudian membimbing perjalanan dakwah, mulai dari perintah menyampaikan secara sembunyi-sembunyi hingga dakwah terang-terangan. Proses ini menegaskan bahwa risalah bukan sekadar pengetahuan, tetapi tindakan yang mengubah arah sejarah.
Makna Transformasi bagi Kehidupan Manusia Modern
Peristiwa turunnya wahyu pertama tidak hanya relevan bagi sejarah Islam, tetapi juga bagi kehidupan manusia modern. Setiap individu membutuhkan momen khalwat, ruang refleksi yang jernih, agar mampu memahami arah hidup dan menemukan misi personal. Allah mengajarkan bahwa perubahan besar bermula dari kesadaran batin, dari keberanian mendengar panggilan kebenaran, dan dari keteguhan membawa cahaya kepada orang lain.
Seorang ulama Sahl bin ‘Abdillah at-Tustarī berkata:
“مَنْ أَصْلَحَ سِرَّهُ أَصْلَحَ اللهُ عَلَانِيَتَهُ”
“Barang siapa memperbaiki batinnya, Allah akan memperbaiki lahiriahnya.” (Siyar A‘lām an-Nubalā’ karya Imam adz-Dzahabi)
Keterangan ini menggambarkan bahwa perubahan sosial dimulai dari perubahan pribadi.
Risalah sebagai Amanah Pengetahuan dan Pembebasan
Wahyu pertama bukan perintah ibadah tertentu, tetapi perintah membaca. Ini menunjukkan bahwa risalah Islam berdiri di atas pondasi pengetahuan. Islam menempatkan proses belajar sebagai ibadah, pena sebagai alat pencerahan, dan ilmu sebagai cahaya yang membebaskan manusia dari kegelapan.
Al-Hasan al-Bashri menyatakan:
“العِلْمُ نُورٌ يَهْدِي اللهُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ”
“Ilmu adalah cahaya yang Allah berikan kepada hamba yang Dia kehendaki.”
Pandangan ini selaras dengan pesan Surah Al-‘Alaq. Risalah menghidupkan akal, membersihkan hati, dan menggerakkan manusia menuju kemuliaan.
Risalah Sebagai Misi Rahmat dan Keadilan
Transformasi diri Nabi juga menghadirkan pesan keadilan bagi masyarakat. Islam hadir untuk menghapus penindasan, ketimpangan sosial, dan kekeliruan moral yang merusak tatanan manusia. Risalah menjadi jalan untuk memulihkan kemanusiaan. Karena itu, manusia hari ini dapat belajar bahwa perubahan pribadi harus disertai komitmen memperbaiki lingkungan sosial.
Turunnya wahyu pertama menjadi bukti bahwa cahaya sering datang ketika manusia menyiapkan hati dalam kesunyian. Nabi yang sedang khalwat menerima risalah yang mengubah sejarah dunia. Peristiwa ini mengajarkan bahwa perubahan besar memerlukan ketenangan batin, kesiapan akhlak, serta keberanian untuk menghadapi amanah kehidupan. Semoga kisah ini menginspirasi manusia untuk menemukan ruang sunyi dalam hidupnya, mengenali panggilan kebenaran, dan membawa cahaya kebaikan kepada sesama.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
