Surau.co. Membicarakan Makkah sebelum kenabian selalu menghadirkan panorama sejarah yang kaya, dinamis, dan penuh nuansa. Kota yang kelak menjadi pusat spiritual umat Islam ini tumbuh dari ruang sosial yang kompleks, ekonomi yang hidup, serta tradisi keagamaan yang beragam. Banyak orang membayangkan jazirah Arab sebagai wilayah kering tanpa peradaban, padahal Makkah—bahkan sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad—telah memainkan peran penting sebagai simpul perdagangan internasional, pusat ziarah regional, dan ruang bertemunya berbagai nilai budaya. Karena itu, mempelajari kondisi Makkah pra-Islam tidak hanya membantu memahami konteks kenabian, tetapi juga memberi wawasan penting bagi siapa pun yang ingin memahami bagaimana masyarakat bergerak dan berubah dalam pusaran sejarah.
Sejumlah kitab klasik, termasuk Khulasoh Nurul Yaqin karya Syekh Umar Abdul Jabbar, menegaskan bahwa Makkah berdiri sebagai tempat yang dilindungi dan dimuliakan oleh Allah sejak masa Nabi Ibrahim. Syekh Umar menuliskan dalam karyanya:
“وَجَعَلَ اللهُ الْبَيْتَ الْحَرَامَ مَأْمَنًا لِلنَّاسِ وَمَهْدًا لِلدِّينِ”
“Allah menjadikan Baitullah sebagai tempat aman bagi manusia dan sebagai pusat agama.”
Keterangan ini menunjukkan bahwa kesucian Makkah tidak tiba-tiba muncul ketika Nabi Muhammad lahir, tetapi telah mengendap dalam struktur keyakinan masyarakat berabad-abad sebelumnya.
Dinamika Sosial Makkah Pra-Islam
Makkah sebelum kenabian memiliki struktur sosial yang berlapis dan bergerak dinamis. Sementara banyak suku Arab hidup nomaden, Quraisy justru membangun masyarakat urban yang menetap. Mereka hidup dalam kabilah-kabilah yang saling terkait melalui nasab, perjanjian, dan jaringan patronase. Kehormatan (muru’ah) menjadi nilai utama yang memengaruhi perilaku sosial, mulai dari cara berbicara hingga strategi perniagaan. Setiap kabilah menjaga kehormatannya melalui keberanian, kesetiaan, dan kemampuan mempertahankan hak-hak kolektif.
Dalam konteks sosial ini, masyarakat Makkah hidup dengan interaksi yang padat. Pasar-pasar seperti Ukaz dan Majinnah bukan hanya tempat transaksi barang, tetapi juga pusat budaya, tempat puisi dilantunkan, hukum disidangkan, dan ide-ide disebarkan. Keterangan ulama sejarah menyebutkan bahwa pasar Ukaz menjadi ruang intelektual masyarakat Arab. Al-Azraqi, salah satu sejarawan Makkah awal, menggambarkan:
“كَانَ سُوقُ عُكَاظَ مَحَلًّا لِلْفُصَحَاءِ وَمَجْمَعًا لِلْحُكَمَاءِ”
“Pasar Ukaz menjadi tempat berkumpul para fasih dan forum bagi para bijak.”
Kehidupan sosial ini memperlihatkan bahwa masyarakat Makkah telah berada dalam fase perkembangan budaya yang matang, dengan tradisi literasi lisan yang sangat kuat.
Peran Quraisy sebagai Pengelola Haramain
Quraisy memegang peran penting sebagai pengelola Ka’bah, penanggung jawab air zamzam, dan pengatur keamanan jamaah haji. Peran ini membuat Quraisy memiliki kedudukan sosial yang tinggi di antara suku-suku Arab. Mereka memelihara Ka’bah, melayani tamu Allah, dan mengatur alur perdagangan. Syekh Umar Abdul Jabbar mencatat:
“وَكَانَتْ قُرَيْشٌ تَتَوَلَّى خِدْمَةَ الْبَيْتِ وَالسِّقَايَةَ وَالرِّفَادَةَ”
“Quraisy mengelola pelayanan Ka’bah, menyediakan air, dan memberi jamuan kepada para tamu.”
Dengan posisi ini, Quraisy tumbuh sebagai suku yang disegani. Mereka mendapat kepercayaan masyarakat Arab sekaligus menikmati stabilitas politik yang sangat berharga bagi perkembangan ekonomi mereka.
Dinamika Ekonomi: Perdagangan Sebagai Nadi Makkah
Makkah tidak memiliki tanah subur. Karena itu, masyarakat mengembangkan strategi ekonomi yang berorientasi pada perdagangan jarak jauh. Quraisy menjalankan kafilah dagang ke Yaman di selatan dan Syam di utara. Pola perjalanan ini dikenal dengan istilah rihlah asy-syita’ wa ash-shaif. Allah berfirman dalam QS. Quraisy ayat 1–4:
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (١) إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (٢) فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (٣) الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ (٤)
“.Karena kebiasaan orang-orang Quraisy (١) yaitu kebiasaan perjalanan musim dingin dan musim panas (٢) maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (٣) yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan (٤)”
Ayat ini menegaskan bahwa perdagangan menjadi jantung kehidupan Makkah. Jalur ini menghubungkan Arab dengan Bizantium, Persia, dan Afrika Timur. Barang-barang seperti kulit, rempah, kain, kapur barus, dan wewangian menjadi komoditas utama yang memperkuat posisi ekonomi Quraisy.
Keamanan dan Kepercayaan: Kapital Sosial Quraisy
Selain kemampuan berdagang, Quraisy membangun modal sosial berupa reputasi sebagai penjaga kesucian Ka’bah. Kabilah yang menghormati Ka’bah enggan menyerang kafilah Quraisy. Alhasil, mereka menikmati keamanan berperdagangan di tengah konflik antarsuku yang sering terjadi di wilayah Arab lainnya.
Konsep keamanan ini ditegaskan ulama Makkah dalam berbagai riwayat. Syekh al-Qurthubi menjelaskan:
“وَأَمَّا قُرَيْشٌ فَقَدْ أَمِنُوا فِي تِجَارَتِهِمْ بِسَبَبِ الْبَيْتِ”
“Quraisy mendapatkan keamanan dalam perdagangan mereka karena keberadaan Ka’bah.”
Keamanan ini memberikan keunggulan kompetitif yang membuat Makkah berkembang menjadi pusat ekonomi paling stabil di Jazirah Arab pada masa pra-Islam.
Spiritualitas Arab Pra-Islam: Antara Tauhid Ibrahim dan Tradisi Berhala
Meskipun masyarakat Arab sebelum Islam tidak lagi memegang ajaran tauhid secara benar, jejak Ibrahim tetap bertahan dalam berbagai ritual. Mereka menghormati Ka’bah, melakukan thawaf, haji, dan menyembelih kurban. Namun praktik ini bercampur dengan keyakinan syirik dan takhayul. Ka’bah dipenuhi ratusan patung dan berhala. Dalam konteks ini, spiritualitas Makkah pra-Islam menghadirkan ironi: manusia mendekat kepada Tuhan sambil menggantungkan diri pada simbol-simbol yang menutupi hakikat ketauhidan.
Syekh Umar Abdul Jabbar menggambarkan dengan:
“وَكَانَتِ الْأَصْنَامُ مُشْتَهِرَةً فِي الْبَيْتِ وَحَوْلَهُ، يَتَقَرَّبُ إِلَيْهَا الْمُشْرِكُونَ”
“Patung-patung banyak tersebar di dalam Ka’bah dan di sekelilingnya, dan kaum musyrik mendekatkan diri kepada patung-patung itu.”
Tradisi syirik ini bukan sekadar praktik ritual, tetapi juga menjadi bagian dari identitas budaya, ekonomi, dan politik masyarakat.
Peran Para Hanim (Pencari Tauhid)
Di tengah masyarakat yang larut dalam kultus berhala, beberapa tokoh dikenal mencari kembali ajaran tauhid Nabi Ibrahim. Mereka disebut hanif. Zaid bin Amr bin Nufail menjadi tokoh paling terkenal. Dia menolak menyembah berhala dan berdoa kepada Tuhan yang satu. Fenomena hanif menggambarkan kegelisahan spiritual masyarakat pra-Islam, yang merindukan kebenaran di tengah kabut kesyirikan.
Nabi bersabda:
“اللَّهُمَّ لَوْ أَنِّي أَعْلَمُ أَيَّ الْوُجُوهِ أَحَبُّ إِلَيْكَ عَبَدْتُكَ بِهِ، وَلَكِنِّي لَا أَعْلَمُ”
“Ya Allah, seandainya aku tahu cara yang paling Engkau cintai untuk beribadah, pasti aku akan melakukannya, tetapi aku tidak mengetahuinya.” (HR. Bukhari)
Doa ini memperlihatkan pencarian tulus yang kelak menemukan puncaknya dalam risalah Nabi Muhammad.
Kebiasaan Sosial yang Kontras
Masyarakat Makkah pra-Islam menampilkan wajah ganda. Di satu sisi, mereka menjunjung tinggi nilai-nilai seperti kesetiaan, keberanian, dan kedermawanan. Di sisi lain, mereka membiarkan praktik-praktik tidak manusiawi seperti penguburan bayi perempuan. Kontras sosial ini menjadi latar penting mengapa misi Islam hadir tidak hanya sebagai agama, tetapi sebagai transformasi kemanusiaan.
Allah berfirman:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (٥٨) يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِۦٓ أَيُمْسِكُهُۥ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُۥ فِى ٱلتُّرَابِ أَلَا سَآءَ مَا يَحْكُمُونَ (٥٩)
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira tentang kelahiran anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (karena marah) dan hatinya dipenuhi kesedihan (٥٨) Ia bersembunyi dari orang banyak karena buruknya berita yang diterimanya; apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan, atau menguburkannya ke dalam tanah? Sungguh buruk keputusan yang mereka buat (٥٩)” (QS. An-Nahl ayat: 58–59)
Ayat ini menggambarkan betapa nilai sosial saat itu sangat membutuhkan perubahan moral yang mendasar. Kesenjangan sosial juga membayang di Makkah. Perdagangan berkembang, tetapi banyak orang hidup sebagai budak atau fakir. Islam kelak mengangkat derajat mereka, memulihkan martabat, dan membangun struktur sosial baru berbasis keadilan. Namun memahami kondisi sebelum perubahan menjadi penting agar manusia dapat mengenali nilai dari perbaikan tersebut.
Makkah Sebelum Kenabian sebagai Cermin Perubahan Besar
Pada akhirnya, Makkah pra-Islam menghadirkan gambaran masyarakat yang sedang menunggu cahaya. Mereka hidup dalam vibrasi perdagangan, ritus spiritual, kebanggaan budaya, dan dinamika politik yang terus bergerak. Namun mereka juga bergulat dengan krisis nilai, kegelisahan ruhani, dan kehausan akan petunjuk yang benar.
Ketika wahyu turun kepada Nabi Muhammad, masyarakat ini telah matang menghadapi perubahan besar. Cahaya Islam tidak lahir dalam ruang kosong, tetapi menyinari masyarakat yang sudah lama mencari arah.
Penutup
Makkah sebelum kenabian adalah lembah pencarian panjang. Manusia bergerak dalam dinamika sosial, berdagang dalam ruang ekonomi yang hiruk-pikuk, dan mencari makna dalam spiritualitas yang tertutup kabut. Namun Allah telah menyiapkan lembah itu untuk menerima cahaya yang agung.
Risalah Nabi Muhammad tidak hanya menerangi hati, tetapi juga menata dunia, membangun kembali nilai asli agama Ibrahim, dan menghidupkan kemanusiaan yang pernah redup. Semoga kita mampu meneladani semangat pencarian itu, bergerak dalam kebaikan, dan menjaga cahaya yang diturunkan sebagai amanah bagi seluruh umat.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
