Khazanah
Beranda » Berita » Eksistensi Abadi dan Ke-Esaan Ilahi: Pondasi Iman dalam Kitab Al-Hikam

Eksistensi Abadi dan Ke-Esaan Ilahi: Pondasi Iman dalam Kitab Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang menundukkan hati dalam doa yang tulus kepada Allah.
Ilustrasi hamba yang menundukkan hati dalam doa yang tulus kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Kitab Al-Hikam memulai kajian dengan menegaskan pilar utama keimanan:

“Allah Swt. itu ada, dan tidak ada sesuatu pun yang bersama-Nya. Dia berada dalam keadaan yang sama dengan sebelumnya.” Penegasan Syekh Ibnu ‘Athaillah ini  membuktikan keabsolutan tauhid.

Eksistensi Allah Swt. dalam kitab Al-Hikam adalah sebuah kepastian yang tidak menyisakan keraguan sedikit pun. Bahkan, pada dasarnya, orang kafir dan musyrik pun akan mengakui adanya Dzat Maha Kuasa yang mengatur dan menguasai alam semesta ini. Sementara orang-orang ateis, meskipun mereka menyangkal keberadaan-Nya secara verbal, lubuk hati mereka sejatinya membenarkan dan meyakini Keberadaan-Nya.

Allah Dzat Yang Maha Esa

Dia adalah Dzat Yang Maha Esa (Al-Ahad) dalam segala aspek keagungan-Nya. Dia berdiri sendiri tanpa memerlukan apa pun (Al-Qayyum). Sesuai firman-Nya, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (Lam yalid wa lam yulad). Keyakinan murni ini jelas bertentangan dengan pandangan pihak lain, misalnya mereka yang mengatakan bahwa Ketuhanan itu terdiri dari tiga entitas dalam satu kesatuan. Selain bertentangan dengan tuntunan syariat yang lurus, konsep majemuk ini juga tidak sesuai dengan logika sehat yang mengakui pentingnya kesatuan kekuasaan. Sebagai perumpamaan, bagaimana mungkin sebuah kerajaan atau negara dapat berjalan efektif jika memiliki  tiga otoritas  pemimpin yang setara? Dalam struktur kepemimpinan yang ideal, hanya boleh ada satu pimpinan tertinggi. Jikalau tidak, maka negara itu pasti akan dilanda kekacauan dan perpecahan.

Semenjak dahulu kala hingga selama-lamanya, Keberadaan Allah Swt. tidak akan pernah mengalami perubahan. Keadaan-Nya akan tetap absolut, kekal, dan tidak terikat waktu. Dia akan selamanya menjadi Penguasa tunggal dan Maha Raja di seluruh semesta ini. Segala sesuatu selain-Nya adalah makhluk fana yang harus tunduk dan patuh secara mutlak kepada-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Esa, dan Ke-Esaan-Nya meliputi segala dimensi wujud, sifat, dan kekuasaan-Nya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dalam Kitab Al-Hikam, kesadaran akan Tauhid  ini kemudian harus kita selaraskan dengan tujuan hidup kita, sebagaimana hikmah kedua mengingatkan: “Jangan sampai cita-cita kita tertuju kepada selain Allah Swt. Dzat Yang Maha Mulia tidak akan mampu terlangkahi oleh harapan manusia.”

Jangan Sampai Ketamakan  Melampaui Pengharapan Akan Karunia Allah

Jikalau kita menginginkan sesuatu di dunia ini, jangan sampai ketamakan kita melampaui keinginan kita untuk mendapatkan karunia agung Allah Swt. dan menjadi lebih dekat kepada-Nya. Marilah kita jadikan Diri-Nya sebagai tujuan utama kita dalam setiap aktivitas, baik dalam pekerjaan, istirahat, ibadah, maupun interaksi sosial. Jikalau niat kita sudah murni dan ikhlas tertuju kepada-Nya, maka kita berhak mendapatkan kemenangan terbesar, yaitu surga-Nya di akhirat.

Kita harus menghindari menomorduakan Allah Swt. Misalnya, kita tidak boleh lebih mementingkan urusan pekerjaan duniawi daripada beribadah kepada-Nya. Kita tidak boleh lebih mendambakan membeli mobil atau rumah mewah daripada menyambut seruan-Nya untuk menunaikan haji ke tanah suci. Demikian pula, kita tidak boleh mendahulukan kepentingan sekunder pribadi daripada menunaikan kewajiban zakat yang telah Dia perintahkan. Banyak contoh lain yang bisa kita gunakan sebagai tolok ukur kadar keikhlasan dan prioritas kita.

Allah Mengabulkan Doa Sesuai Kehendak-Nya

Dia adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih. Apa pun yang kita mohon, akan Dia kabulkan sesuai kehendak dan hikmah-Nya. Jikalau ada manusia yang merasa enggan atau marah karena kita meminta sesuatu kepada mereka, maka Dia justru akan marah jikalau kita tidak meminta dan tidak bergantung kepada-Nya. Oleh karena itu, marilah kita tempatkan Diri-Nya di tempat tertinggi dalam hati dan pikiran kita. Marilah kita jadikan Diri-Nya sebagai nomor satu dalam hidup, agar karunia dan taufiq-Nya selalu menyertai setiap langkah kita.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement