Surau.co. Sejarah kehidupan Nabi Muhammad selalu dipenuhi hikmah yang dapat membimbing masyarakat pada nilai-nilai akhlak mulia. Salah satu peristiwa paling penting sebelum datangnya wahyu adalah kisah pengembalian Hajar Aswad ketika renovasi Ka’bah. Peristiwa tersebut menampilkan kemampuan Nabi dalam menyelesaikan konflik, mengelola ego banyak pihak, serta menjaga kehormatan masyarakat Quraisy. Pada masa itu, masyarakat Makkah menghormati Ka’bah sebagai pusat spiritual mereka, sehingga perselisihan terkait prosesi pembangunannya bisa berkembang menjadi konflik suku yang berujung pada pertumpahan darah.
Kisah ini tidak hanya mencerminkan kecerdasan seorang pemimpin, tetapi juga memperlihatkan pancaran akhlak amanah dan shiddiq yang telah dikenal sejak remaja. Kisah tersebut menjadi bukti bahwa kepemimpinan Nabi bukan muncul tiba-tiba setelah turunnya wahyu, tetapi sudah tampak sejak masa muda. Oleh karena itu, kajian mengenai peristiwa Hajar Aswad dapat menginspirasi pembaca untuk mencontoh sifat adil, bijaksana, dan solutif dalam kehidupan sosial.
Renovasi Ka’bah dan Meningkatnya Persaingan Suku Quraisy
Renovasi Ka’bah terjadi ketika bangunannya mengalami kerusakan akibat banjir besar. Suku-suku Quraisy sepakat memperbaiki bangunan suci tersebut agar lebih kokoh. Setiap suku berpartisipasi dalam pekerjaan sesuai kemampuan, sehingga tercipta rasa bangga yang tinggi dalam diri masing-masing kelompok. Ketika proses pembangunan mencapai tahap pengembalian Hajar Aswad, timbul permasalahan besar: setiap suku merasa lebih berhak untuk meletakkan batu itu pada posisinya. Ego antar-suku memuncak, dan suasana Makkah memanas.
Ketegangan ini diceritakan dalam karya Syekh Umar Abdul Jabbar, Khulasah Nurul Yaqin, sebagai kondisi yang sangat rawan konflik. Syekh Umar menjelaskan:
«وَاخْتَلَفَتِ الْقَبَائِلُ فِي مَنْ يَضَعُ الْحَجَرَ الأَسْوَدَ، وَكَادَ أَنْ يَقَعَ بَيْنَهُمْ قِتَالٌ شَدِيدٌ»
“Suku-suku berselisih tentang siapa yang paling berhak meletakkan Hajar Aswad, dan hampir saja terjadi pertumpahan darah yang sangat dahsyat.”
Penjelasan tersebut menggambarkan betapa gentingnya situasi waktu itu. Konflik perebutan kehormatan dapat meledak sewaktu-waktu, karena masyarakat Quraisy sangat menjunjung tinggi martabat suku. Perselisihan kecil bisa berubah menjadi peperangan berkepanjangan, dan hal itu telah sering terjadi sebelum masa tersebut. Karena itu, masyarakat membutuhkan sosok yang mampu menengahi secara adil tanpa memihak.
Munculnya Solusi dari Muhammad yang Dikenal al-Amin
Pada momen kritis itu, seorang tokoh Quraisy yang dituakan menyarankan agar keputusan diambil dari orang pertama yang memasuki pintu Ka’bah pada pagi hari berikutnya. Mereka sepakat mengikuti pendapat tersebut karena ingin menghindari perang saudara. Ketika pagi tiba, masyarakat terkejut melihat sosok pemuda yang memasuki kawasan Ka’bah adalah Muhammad yang dikenal sebagai al-Amin, seseorang yang reputasinya tidak pernah ternodai kebohongan.
Kedatangan Muhammad membawa angin tenang, karena semua suku menghormati kepribadian terpercaya tersebut. Pemimpin Quraisy berkata kepada kaumnya, “Inilah al-Amin, kami rela mengikuti keputusannya.” Sikap masyarakat menunjukkan pengakuan terhadap integritas yang selama ini dipancarkan oleh Muhammad sejak muda, sebuah pengakuan yang tidak diberikan kepada sembarang orang. Dari sinilah kepemimpinan Nabi mulai tampak sebagai kemampuan menengahi dan mendamaikan masyarakat.
Kepemimpinan Nabi dalam Menyelesaikan Konflik Hajar Aswad
Muhammad tidak hanya berperan sebagai penenang, tetapi juga sebagai pemecah masalah yang cerdas. Beliau meminta selembar kain yang cukup lebar lalu meletakkan Hajar Aswad di tengah kain tersebut. Setelah itu, beliau meminta setiap pemimpin suku memegang sisi kain itu, kemudian mengangkatnya bersama-sama hingga mencapai tempat pemasangan. Setelah batu tersebut berada pada ketinggian yang tepat, Muhammad mengambilnya dengan tangan dan meletakkannya di posisi semestinya. Dengan cara tersebut, setiap suku merasa terlibat dalam proses sakral itu sehingga tidak ada satu pun suku yang merasa direndahkan atau dilecehkan.
Kisah ini sering dikutip oleh ulama sebagai teladan dalam kepemimpinan kolektif. Imam ad-Dahlawi, misalnya, menegaskan:
«إِنَّ فِعْلَهُ فِي رَفْعِ الْحَجَرِ دَلِيلٌ عَلَى حُسْنِ تَدْبِيرِهِ وَرَأْيِهِ الصَّائِبِ فِي فَكِّ النِّزَاعِ»
“Tindakannya dalam mengangkat Hajar Aswad adalah bukti ketepatan pandangan dan kecerdasannya dalam meredakan perselisihan.”
Solusi tersebut memperlihatkan penggunaan metode partisipatif yang melibatkan seluruh pihak. Pendekatan itu membuat semua suku merasa dihargai, sekaligus menegaskan kemampuan Muhammad dalam merangkul masyarakat di atas kepentingan kelompok. Keputusan tersebut menampilkan kepemimpinan inklusif yang menjadi landasan kepemimpinan Nabi setelah masa kenabian.
Kecemerlangan Akhlak dan Implikasi Spiritual dalam Peristiwa Tersebut
Keputusan Muhammad tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga memberi pelajaran tentang pentingnya mengutamakan keadilan dan persaudaraan. Sikap itu sesuai dengan pesan Al-Qur’an mengenai keadilan sosial. Allah berfirman:
﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ﴾
“Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 90)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa nilai keadilan merupakan fondasi kehidupan masyarakat. Nilai itu telah dipraktikkan Muhammad jauh sebelum wahyu turun, sehingga masyarakat dapat melihat cahaya kenabian sudah tampak dalam setiap langkah hidupnya.
Akhlak Nabi dalam menyelesaikan konflik juga sejalan dengan sabda Rasulullah sendiri yang kemudian disampaikan dalam hadis sahih:
«خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ»
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Kisah Hajar Aswad menunjukkan bahwa manfaat besar dapat lahir dari ketenangan seorang pemimpin yang mengutamakan kemaslahatan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Makna Kepemimpinan Nabi sebelum Kenabian bagi Masyarakat Modern
Dalam dunia modern yang penuh kompetisi, peristiwa Hajar Aswad dapat menjadi referensi untuk membangun kepemimpinan kolaboratif. Keputusan Muhammad melibatkan seluruh suku mengajarkan prinsip bahwa kepemimpinan yang baik bukan hanya menghasilkan keputusan tepat, tetapi juga mampu menciptakan perasaan memiliki dalam diri semua pihak yang terlibat. Prinsip tersebut sangat relevan dalam manajemen organisasi, pendidikan, maupun kehidupan sosial.
Dalam konteks sosial-keagamaan, kisah ini menunjukkan bahwa menjaga kehormatan setiap kelompok merupakan langkah penting untuk menciptakan harmoni. Kepemimpinan Nabi mengajarkan bahwa merawat persaudaraan jauh lebih berharga dibandingkan meraih kemenangan sepihak.
Menghidupkan Nilai Amanah dan Shiddiq dalam Interaksi Sehari-hari
Kejujuran dan amanah menjadi fondasi utama dari peristiwa ini. Masyarakat Quraisy mempercayai Muhammad karena integritasnya yang telah teruji sejak lama. Kepercayaan merupakan modal penting dalam kepemimpinan, baik dalam lingkup keluarga, organisasi, maupun negara.
Nilai amanah ditegaskan dalam firman Allah:
﴿وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ﴾
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun: 8)
Ayat tersebut mengajarkan bahwa menjaga amanah bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga bagian dari karakter utama yang mesti dihidupkan setiap Muslim.
Kisah ini menegaskan bahwa kepemimpinan tidak hanya berbentuk struktur politik, tetapi juga bersifat spiritual dan sosial. Seseorang dapat menjadi pemimpin ketika mampu menghadirkan ketenangan, memecahkan masalah, dan memberikan jalan keluar yang bijaksana bagi masyarakatnya.
Penutup
Peristiwa Hajar Aswad adalah bukti nyata bahwa cahaya kepemimpinan Nabi telah bersinar sebelum turunnya wahyu. Kisah tersebut menghadirkan teladan tentang kepekaan sosial, kecerdasan memilih jalan tengah, dan kemampuan memelihara persatuan. Pada setiap zaman, masyarakat membutuhkan figur yang mampu meredakan ego, merangkul perbedaan, dan menghadirkan solusi adil.
Setiap pembaca dapat menjadikan kisah ini sebagai cermin spiritual. Ketika seseorang mampu menjaga amanah dan memilih jalan adil, maka cahaya keutamaan akan memantul dari dirinya, sebagaimana cahaya kepemimpinan Nabi memantul dalam peristiwa Hajar Aswad. Pada akhirnya, keteladanan itu tidak hanya dikenang dalam sejarah, tetapi juga hidup dalam hati mereka yang merindukan kedamaian.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
