SURAU.CO. “Ajining Raga Saka Busana” bukan sekadar peribahasa, tetapi filosofi Jawa yang menegaskan bahwa harga diri tercermin dari cara seseorang berpakaian. Pakaian bukan hanya penutup tubuh, melainkan representasi identitas yang menunjukkan karakter dan nilai yang luhur. Di era modern yang serba visual, busana menjadi bahasa nonverbal yang mempertegas kesadaran diri, penghormatan terhadap lingkungan sosial, serta etika dalam menempatkan diri.
Menggali Makna “Ajining Raga Saka Busana”
Filosofi Jawa ini menekankan keserasian lahir dan batin, sehingga cara berpakaian tidak hanya dinilai dari tampilan luar, tetapi dari adab dan kesadaran yang melandasinya. Karena itu, busana harus sopan dan sesuai norma untuk menunjukkan kerapian serta penghargaan terhadap diri dan orang lain.
Sejalan dengan itu, Islam juga mengajarkan pentingnya menutup aurat sebagai wujud ketaatan dan penjagaan martabat. Harmoni antara budaya Jawa dan ajaran agama inilah yang menjadikan pakaian sebagai perwujudan identitas, etika sosial, dan kepatuhan spiritual.
Tantangan di Era Modern: Globalisasi dan Gaya Hidup
Globalisasi menghadirkan perubahan besar dalam cara masyarakat berpakaian, karena tren mode dari berbagai belahan dunia dengan mudah masuk dan ditiru, termasuk gaya barat yang lebih terbuka. Kondisi ini menjadi tantangan bagi ajaran “Ajining Raga Saka Busana”, sebab generasi muda harus mampu memilih busana yang mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan identitas dan nilai diri.
Namun, akulturasi budaya justru membuka ruang kreatif, di mana busana tradisional dan modern dapat berpadu harmonis. Banyak desainer kini menghadirkan karya yang memadukan unsur Jawa dan sentuhan kontemporer, seperti batik berpotongan modern atau kebaya beraksen global. Inovasi semacam ini bukan hanya menjaga identitas, tetapi juga menunjukkan bahwa budaya Jawa mampu beradaptasi tanpa kehilangan akar nilai yang luhur.
Jati Diri Bangsa Melalui Busana
Busana tradisional dalam budaya Jawa bukan sekadar kain, tetapi bagian dari jati diri yang sarat sejarah dan makna, sebagaimana terlihat pada batik yang mendapat pengakuan dunia sebagai warisan tak benda. Mengenakannya berarti ikut melestarikan budaya dan merawat ingatan kolektif bangsa.
Nilai ini harus tertanam sejak dini melalui pendidikan di rumah dan sekolah, agar generasi muda memahami alasan di balik etika berpakaian, bukan sekadar mengikuti bentuk luarnya. Sejalan dengan pandangan para budayawan bahwa “busana bukan soal mahalnya, tetapi bagaimana kita membawanya,” filosofi Jawa menegaskan bahwa martabat bukan karena brand atau merek, melainkan oleh kesantunan, kepribadian, dan kemampuan menempatkan diri.
Transformasi Mode Busana Muslim di Jawa
Busana Muslim di Jawa kini mengalami transformasi yang menarik. Jika dulu modelnya relatif seragam, kini pilihannya jauh lebih beragam, stylish, namun tetap syar’i dan santun. Hal ini menunjukkan kemampuan masyarakat dan desainer lokal beradaptasi dengan kebutuhan zaman tanpa meninggalkan nilai dasar.
Namun, perubahan ini perlu adanya kesadaran kolektif bahwa model pakaian bukan sekadar mengikuti tren, melainkan cara menghormati diri dan orang lain. Dengan pemahaman ini, nilai “Ajining Raga Saka Busana” dapat terus hidup dan terus terwariskan dari generasi ke generasi.
Menjaga Kearifan Lokal di Tengah Arus Global
Kearifan lokal adalah kekayaan tak ternilai, termasuk etika berpakaian yang perlu dijaga di tengah arus globalisasi. Perubahan zaman tidak harus menghapus identitas, bahkan dapat menjadi peluang untuk menampilkan kekayaan budaya kepada dunia. Pepatah “Ajining Raga Saka Busana” menjadi pedoman penting yang menuntun cara berpakaian secara bermartabat, dan nilai religius semakin menguatkan fondasinya.(kareemustofa).
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
