Dunia pesantren mengenal sosok KH. Bisri Syansuri sebagai ulama yang tegas. Beliau memegang teguh prinsip hukum Islam. Namun, di balik ketegasannya, Mbah Bisri memiliki pandangan sangat progresif mengenai perempuan. Banyak pengamat sejarah menempatkan KH Bisri Syansuri sebagai tokoh sentral dalam perjuangan kesetaraan gender di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Beliau mendobrak tradisi lama yang mengekang akses pendidikan bagi kaum hawa.
Mendobrak Tabu Pendidikan Perempuan
Sejarah mencatat sebuah terobosan besar di Jombang pada tahun 1919. Saat itu, masyarakat masih menganggap tabu pendidikan bagi anak perempuan. Orang tua lebih memilih anak gadis mereka tinggal di rumah. Mereka hanya menunggu pinangan laki-laki. Namun, Mbah Bisri berpikir lain. Beliau melihat kebodohan sebagai musuh utama umat, baik laki-laki maupun perempuan.
Mbah Bisri kemudian mengambil langkah berani. Ia mendirikan kelas khusus untuk santriwati di Pesantren Mamba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang. Ini merupakan kelas perempuan pertama dalam sejarah pesantren di Jawa Timur, bahkan mungkin di Indonesia. Awalnya, murid kelas ini sangat terbatas. Murid pertamanya adalah anak-anak beliau sendiri dan kerabat dekat.
Langkah ini menuai pro dan kontra. Banyak pihak meragukan keputusan tersebut. Namun, Kiai Bisri tidak gentar. Ia meyakini bahwa perempuan memiliki hak setara dalam menuntut ilmu agama. Beliau ingin mencetak ibu-ibu cerdas yang akan melahirkan generasi emas. Kini, jejak langkah beliau diikuti oleh ribuan pesantren di seluruh Nusantara.
Ahli Fiqih yang Membela Kaum Hawa
Julukan KH Bisri Syansuri ahli fiqih perempuan NU bukan tanpa alasan. Beliau memahami teks agama secara mendalam. Kiai Bisri mampu menempatkan dalil agama sesuai dengan konteks sosial. Beliau tidak serta merta melarang perempuan tampil di ruang publik.
Sebagai seorang pakar hukum Islam, Mbah Bisri sangat teliti. Ia membedakan antara ajaran pokok syariat dan budaya patriarki. Beliau berpendapat bahwa Islam justru memuliakan wanita. Kemuliaan itu hadir melalui kesempatan belajar dan berkarya. Pandangan ini sangat visioner pada zamannya.
Gus Dur, cucu beliau, sering menceritakan kehebatan kakeknya. Mbah Bisri mampu mengombinasikan kekakuan teks fiqih dengan fleksibilitas kemaslahatan umat. Sikap ini membuat fiqih menjadi hidup. Hukum Islam tidak lagi menjadi momok bagi kemajuan perempuan. Justru, fiqih menjadi landasan bagi perlindungan hak-hak wanita.
Peran Politik Perempuan di Mata Sang Kiai
Dukungan Mbah Bisri tidak berhenti di ruang kelas. Ia juga mendorong peran perempuan di ranah politik praktis. Hal ini terlihat saat perdebatan mengenai Undang-Undang Perkawinan pada tahun 1973-1974. Mbah Bisri tampil di garda terdepan. Ia menolak pasal-pasal yang bertentangan dengan syariat Islam. Namun di sisi lain, ia mendukung keterlibatan perempuan di parlemen.
Kiai Bisri merestui masuknya perempuan ke dalam jajaran legislatif (DPR). Beliau melihat bahwa suara perempuan harus terdengar dalam pengambilan kebijakan negara. Tanpa kehadiran perempuan, kebijakan negara bisa menjadi timpang. Keputusan ini menjadi legitimasi kuat bagi kaum perempuan Nahdliyin untuk berpolitik.
Sikap politik ini menunjukkan kedewasaan berpikir sang Kiai. Ia memegang prinsip bahwa wanita boleh menjadi pemimpin di ranah publik selama tidak melanggar batasan syariat. Mbah Bisri memberikan ruang gerak yang luas. Ia mematahkan anggapan bahwa ulama salaf selalu mengekang wanita di kasur dan dapur.
Hikmah Perjuangan Kiai Bisri
Kita bisa memetik banyak pelajaran dari perjalanan hidup Mbah Bisri. Pertama, pendidikan adalah kunci perubahan. Tanpa pendidikan yang setara, perempuan akan terus tertinggal. Kedua, keberanian memerlukan ilmu. Mbah Bisri berani mendobrak tradisi karena beliau memiliki kedalaman ilmu fiqih. Ketiga, Islam adalah agama yang adil. Keadilan Islam mencakup hak-hak perempuan untuk berkembang.
Mbah Bisri mengajarkan kita cara menghargai perempuan secara proporsional. Kita harus menjaga kehormatan mereka tanpa membelenggu potensi mereka. Semangat ini harus terus kita jaga. Generasi muda NU wajib meneladani kegigihan Mbah Bisri.
KH. Bisri Syansuri telah mewariskan fondasi yang kokoh. Pesantren putri kini menjamur di mana-mana. Santriwati tidak hanya pandai mengaji kitab kuning. Mereka kini menjadi dokter, dosen, politisi, hingga pemimpin daerah. Semua ini berhulu dari keberanian seorang Kiai di Denanyar seabad yang lalu.
Warisan intelektual beliau tetap relevan hingga kini. Di tengah gempuran ideologi feminisme barat dan konservatisme ekstrem, pemikiran Mbah Bisri adalah jalan tengah. Ia menawarkan konsep kesetaraan yang berakar pada tradisi Islam Nusantara. Beliau membuktikan bahwa menjadi religius tidak berarti harus anti terhadap kemajuan perempuan.
Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali peran kita. Sudahkah kita memberikan akses pendidikan terbaik bagi anak perempuan kita? Sudahkah kita menghargai peran istri dan ibu di sekitar kita? Meneladani KH Bisri Syansuri berarti terus memperjuangkan kemuliaan perempuan melalui jalur pendidikan dan kiprah sosial.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
