Banyak orang mengenal Raden Ajeng Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita dengan kiblat pemikiran Barat. Sejarah sering menonjolkan kedekatan Kartini dengan sahabat penanya dari Belanda, seperti Rosa Abendanon. Namun, narasi tersebut sering melupakan satu fase penting dalam hidup sang pahlawan. Kartini sesungguhnya mengalami perjalanan spiritual mendalam yang mengubah pandangannya tentang agama dan kehidupan. Ia bukan sekadar pengagum budaya Eropa, melainkan seorang pencari kebenaran yang menemukan cahaya dalam Islam.
Perjuangan Kartini mengangkat derajat kaum wanita memiliki landasan religius yang kuat. Semangat belajarnya tidak hanya soal intelektualitas duniawi. Ia menginginkan kaum wanita memahami agamanya secara utuh, bukan sekadar ikut-ikutan tradisi.
Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Titik balik spiritual Kartini bermula dari sebuah pengajian di rumah pamannya, Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Saat itu, Kartini mendengarkan tafsir Al-Qur’an dari seorang ulama besar tanah Jawa, Kyai Sholeh Darat. Sang Kyai menerangkan makna surah Al-Fatihah dalam bahasa Jawa. Hati Kartini bergetar hebat. Selama ini, ia hanya membaca Al-Qur’an tanpa memahami maknanya sedikitpun.
Rasa penasaran mendorong Kartini untuk bertanya langsung kepada sang Kyai. Ia melontarkan pertanyaan kritis mengenai hukum membaca kitab suci tanpa mengerti artinya. Dialog ini menjadi pembuka jalan hidayah yang lebih terang bagi pemikiran Kartini.
Berikut adalah kutipan otentik ungkapan hati Kartini kepada Kyai Sholeh Darat:
“Kyai, selama ini hidupku gelap tanpa makna. Aku tak mengerti sedikitpun makna Al-Fatihah yang aku baca setiap hari. Tapi hari ini, aku baru mengerti bahwa maknanya begitu indah dan menggetarkan hati.”
Ucapan ini menandai transformasi pemikiran Kartini. Ia tidak lagi memandang agama sebagai dogma kaku yang mengekang. Ia mulai melihat Islam sebagai sumber cahaya pengetahuan.
Minadzulumati Ilan Nur
Slogan “Habis Gelap Terbitlah Terang” sangat identik dengan sosok Kartini. Banyak pihak mengaitkan judul buku ini dengan pemikiran Barat Door Duisternis Tot Licht. Namun, dalam perspektif Islam, kalimat tersebut memiliki korelasi kuat dengan ayat Al-Qur’an.
Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 257 tentang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya (Minadzulumati ilan Nur). Kartini menyadari konsep ini setelah mempelajari tafsir Al-Qur’an pegon karya Kyai Sholeh Darat. Ia memahami bahwa kebodohan adalah kegelapan, dan ilmu pengetahuan adalah cahaya.
Islam tidak pernah melarang wanita untuk pintar. Sebaliknya, Islam mewajibkan setiap muslim, laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu. Kesadaran inilah yang memicu semangat Kartini untuk mendirikan sekolah bagi kaum wanita. Ia ingin wanita pribumi keluar dari kegelapan kebodohan menuju cahaya ilmu yang diberkahi Tuhan.
Pendidikan sebagai Ibadah
Kartini memperjuangkan pendidikan bukan untuk menyaingi kaum laki-laki. Ia ingin wanita menjadi ibu yang cerdas. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Seorang ibu yang cerdas dan beriman akan melahirkan generasi bangsa yang tangguh.
Dalam surat-suratnya, pandangan Kartini tentang Islam berubah drastis setelah belajar tafsir. Awalnya ia sering mengkritik praktik keagamaan yang kaku. Namun, ia kemudian berbalik memuji nilai-nilai luhur Islam. Ia menyadari bahwa peradaban Islam sangat menghargai akal dan budi pekerti.
Kartini menuliskan perasaannya kepada Ny. Van Kol, tanggal 21 Juli 1902:
“Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.”
Kutipan tersebut membuktikan komitmen Kartini terhadap agamanya. Ia ingin menunjukkan wajah Islam yang ramah, cerdas, dan memuliakan wanita.
Relevansi Emansipasi Hari Ini
Kita bisa menarik hikmah besar dari perjalanan hidup Kartini. Emansipasi wanita tidak berarti meninggalkan kodrat atau nilai agama. Kebebasan sejati adalah kebebasan berpikir dan berkreasi dalam koridor nilai-nilai luhur.
Wanita masa kini menghadapi tantangan yang berbeda dengan zaman Kartini. Namun, semangatnya tetap relevan. Kartini mengajarkan kita untuk kritis namun tetap santun. Ia mengajak wanita untuk mengejar pendidikan setinggi mungkin tanpa melupakan akar spiritualitas.
Pencerah wanita pribumi ini telah meletakkan pondasi yang kokoh. Ia membuktikan bahwa modernitas dan religiusitas bisa berjalan beriringan. Menjadi wanita modern tidak harus menjadi kebarat-baratan. Kita bisa menjadi wanita maju dengan tetap memegang teguh iman dan taqwa.
Kesimpulan
Melihat Raden Ajeng Kartini dalam perspektif Islam memberikan pemahaman yang lebih utuh. Ia adalah sosok pembelajar sejati. Perjuangannya adalah manifestasi dari perintah Iqra (bacalah). Ia membaca situasi sosial, membaca ketidakadilan, dan membaca ayat-ayat Tuhan untuk mencari solusi.
Mari kita teruskan semangat Kartini dengan cara yang benar. Kita harus menuntut ilmu pengetahuan, memperluas wawasan, dan memperkuat iman. Itulah bentuk penghormatan terbaik bagi perjuangan sang pencerah wanita pribumi. Kartini telah menyalakan obor, tugas kitalah menjaga apinya agar tidak padam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
