Sejarah peradaban Islam menyimpan banyak mutiara tersembunyi mengenai peran perempuan dalam ranah intelektual. Kita sering mendengar dominasi kaum adam dalam periwayatan hadis. Namun, lembaran sejarah mencatat nama besar yang mematahkan stereotip tersebut. Sosok itu adalah Umm Darda As-Sughra. Ia bersinar terang sebagai bintang ilmu di langit Damaskus pada masa Tabiin.
Umm Darda As-Sughra bukan sekadar istri dari sahabat Nabi yang mulia. Ia membangun reputasinya sendiri sebagai seorang faqihah (ahli hukum Islam) dan muhadditsah (ahli hadis). Kehebatan intelektualnya mengundang decak kagum dari berbagai kalangan. Bahkan, para ulama laki-laki dan khalifah sekalipun duduk bersimpuh untuk menimba ilmu darinya.
Tumbuh dalam Naungan Ilmu dan Hikmah
Wanita mulia ini memiliki nama asli Hujaymah binti Huyay Al-Awsiyyah. Ia tumbuh sebagai yatim piatu dalam asuhan sahabat Nabi, Abu Darda. Lingkungan yang kondusif ini membentuk karakternya menjadi pribadi yang haus akan ilmu. Ia menyerap ribuan hikmah langsung dari sumber yang dekat dengan Rasulullah SAW.
Kecerdasannya sudah tampak sejak usia belia. Ia tidak hanya menghafal teks, tetapi juga memahami konteks dan kedalaman makna syariat. Setelah dewasa, ia menikah dengan Abu Darda. Pernikahan ini semakin membuka lebar gerbang pengetahuan baginya. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berdiskusi dan menggali fatwa-fatwa penting.
Menguasai Mimbar Masjid Damaskus dan Yerusalem
Umm Darda As-Sughra mencapai derajat keilmuan yang sangat tinggi. Ia menguasai berbagai cabang ilmu agama dengan sangat mendalam. Keahliannya meliputi tafsir, hadis, hingga fiqih. Reputasi ini membuatnya menjadi rujukan utama bagi para pencari ilmu di wilayah Syam (Suriah).
Ia mendedikasikan hidupnya untuk mengajar. Dua tempat suci menjadi saksi kiprahnya, yaitu Masjid Damaskus dan Masjidil Aqsa di Yerusalem. Ia menggelar majelis ilmu secara rutin di sana. Uniknya, majelis tersebut tidak hanya berisi kaum hawa. Mayoritas muridnya justru berasal dari kalangan laki-laki.
Para lelaki tidak merasa gengsi atau malu belajar darinya. Mereka mengakui otoritas keilmuan Umm Darda. Hal ini membuktikan bahwa dalam Islam, ilmu tidak memandang gender. Siapa yang berilmu, dialah yang berhak memimpin majelis pengajaran.
Iyas bin Muawiyah, seorang hakim cerdas pada masanya, pernah memberikan kesaksian. Ia memuji Umm Darda sebagai salah satu wanita paling berakal dan berpengetahuan luas. Pengakuan ini menegaskan posisi Umm Darda sebagai ulama papan atas.
Guru Bagi Khalifah dan Ulama Besar
Pengaruh Umm Darda As-Sughra menembus tembok istana. Salah satu murid setianya adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Sang Khalifah yang berkuasa saat itu kerap menghadiri majelisnya di Masjid Damaskus. Abdul Malik duduk di hadapan Umm Darda layaknya seorang murid di hadapan gurunya.
Hubungan guru dan murid ini berjalan sangat harmonis namun tetap tegas. Umm Darda tidak segan menegur Khalifah jika melakukan kekeliruan. Ia pernah menasihati Abdul Malik dengan kalimat yang menyentuh namun tajam. Keberanian ini muncul karena integritas keilmuan yang ia miliki.
Selain Khalifah, banyak ulama besar lain yang mengambil riwayat hadis darinya. Sebut saja Makhul, seorang faqih ternama di Syam. Ia sering merujuk pendapat Umm Darda dalam masalah hukum.
Kisah ini menunjukkan betapa terbukanya akses pendidikan bagi wanita pada masa itu. Wanita memiliki ruang gerak yang luas untuk berekspresi dan berkontribusi bagi umat. Mereka tidak terkekang di dalam rumah semata. Mereka aktif membentuk peradaban melalui transfer ilmu pengetahuan.
Hikmah: Dedikasi Total pada Pendidikan
Kisah Umm Darda As-Sughra mengajarkan kita tentang totalitas dalam menuntut dan menyebarkan ilmu. Ia tidak membiarkan status gender menghalanginya mencapai puncak intelektual.
Ada sebuah kutipan indah darinya yang menggambarkan kecintaannya pada majelis ilmu. Ia berkata:
“Saya telah mencari ibadah dalam segala hal, tetapi saya tidak menemukan yang lebih melegakan bagi saya daripada duduk bersama para ulama dan bertukar ilmu.”
Kalimat ini menyiratkan bahwa bagi Umm Darda, aktivitas intelektual adalah bentuk ibadah tertinggi. Berdiskusi dan memecahkan masalah umat memberikan kepuasan batin yang luar biasa baginya.
Dedikasi ini patut kita teladani di era modern. Semangat Umm Darda relevan bagi para wanita masa kini. Wanita memiliki potensi besar untuk menjadi pilar pendidikan bangsa. Mereka bisa mencetak generasi unggul, baik laki-laki maupun perempuan.
Umm Darda membuktikan bahwa seorang wanita bisa menjadi guru bagi kaum laki-laki tanpa merendahkan martabat siapa pun. Justru, hal tersebut mengangkat derajat ilmu itu sendiri. Rasa hormat muncul karena kapasitas otak dan keluhuran akhlak, bukan karena jenis kelamin.
Penutup
Umm Darda As-Sughra telah meninggalkan warisan abadi. Namanya harum semerbak di taman sejarah Islam. Ia adalah bukti nyata bahwa Islam sangat memuliakan wanita berilmu. Damaskus menjadi saksi bisu bagaimana seorang wanita mampu menggerakkan roda intelektual sebuah peradaban besar. Semoga kisah ini memacu semangat kita untuk terus belajar tanpa henti.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
