Beranda » Berita » Meneladani Etika Bernegara Menurut Al-Mawardi: Fondasi Tata Kelola Pemerintahan yang Berintegritas

Meneladani Etika Bernegara Menurut Al-Mawardi: Fondasi Tata Kelola Pemerintahan yang Berintegritas

Dunia politik modern sering kali kehilangan arah moral dalam praktiknya. Kita membutuhkan kembali panduan etis yang kokoh. Salah satu rujukan terpenting dalam khazanah pemikiran politik Islam datang dari Abu al-Hasan al-Mawardi. Tokoh besar abad ke-11 ini menulis mahakarya berjudul Al-Ahkam As-Sultaniyyah. Buku tersebut menguraikan Etika Bernegara menurut Al-Mawardi secara komprehensif. Pemikirannya tetap relevan bagi siapa saja yang mendambakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Al-Mawardi tidak memandang kekuasaan sebagai tujuan akhir. Ia menempatkan jabatan publik sebagai amanah berat. Seorang pemimpin memikul tanggung jawab ganda, yakni kepada rakyat dan kepada Tuhan. Artikel ini akan mengupas hikmah pemikiran sang ulama tentang kepemimpinan yang adil.

Konsep Dasar Kepemimpinan (Imamah)

Al-Mawardi meletakkan dasar negara pada konsep Imamah atau kepemimpinan. Ia memberikan definisi yang sangat masyhur mengenai hal ini. Definisi tersebut menjadi landasan etika politik Islam hingga hari ini.

“Al-Imamah maudhu’atun li khilafatin nubuwwah fi hirasatid din wa siyasatid dunya.”
(Imamah diletakkan sebagai pengganti kenabian dalam rangka menjaga agama dan mengatur urusan dunia).

Definisi di atas menegaskan bahwa politik dan moralitas tidak bisa terpisah. Pemimpin memiliki tugas suci untuk menciptakan kesejahteraan duniawi sekaligus menjaga nilai-nilai spiritual. Negara harus hadir untuk menjamin keamanan dan keadilan bagi seluruh warganya. Tanpa adanya pemimpin, kekacauan sosial akan merajalela di tengah masyarakat. Oleh karena itu, mengangkat seorang pemimpin hukumnya adalah wajib demi kemaslahatan bersama.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Syarat Moral dan Intelektual Pemimpin

Mewujudkan pemerintahan yang bersih bermula dari kualitas pemimpinnya. Etika Bernegara menurut Al-Mawardi menetapkan standar tinggi bagi calon pejabat publik. Ia tidak sembarangan memberikan legitimasi kekuasaan.

Terdapat beberapa syarat utama bagi seorang pemimpin negara. Pertama, ia harus memiliki sifat adil (al-‘adalah). Keadilan ini mencakup aspek moralitas pribadi dan integritas publik. Pemimpin tidak boleh menuruti hawa nafsu dalam mengambil kebijakan.

Kedua, pemimpin wajib memiliki ilmu pengetahuan (al-‘ilm). Pengetahuan ini penting agar ia mampu melakukan ijtihad atau pemecahan masalah secara mandiri. Pemimpin yang bodoh akan mudah disetir oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Ketiga, ia harus memiliki ketajaman visi dan keberanian. Negara menghadapi berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar. Pemimpin membutuhkan keberanian mental untuk melindungi rakyat dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Fisik yang sehat juga menjadi syarat agar ia bisa bekerja secara optimal.

Kontrak Sosial dan Akuntabilitas

Al-Mawardi merupakan salah satu pemikir awal yang mengenalkan konsep kontrak sosial. Hubungan antara pemimpin dan rakyat bukanlah hubungan tuan dan budak. Hubungan ini bersifat timbal balik melalui mekanisme bai’at.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Rakyat memberikan mandat kekuasaan kepada pemimpin dengan syarat tertentu. Pemimpin harus menunaikan hak-hak rakyat, seperti keamanan, keadilan, dan kesejahteraan. Jika pemimpin memenuhi kewajibannya, rakyat wajib memberikan ketaatan penuh.

Namun, ketaatan ini memiliki batas. Al-Mawardi menegaskan bahwa kepatuhan hilang jika pemimpin menyimpang dari prinsip keadilan atau agama. Konsep ini sangat sejalan dengan prinsip demokrasi modern. Pemimpin harus siap menerima kritik dan evaluasi atas kinerjanya. Akuntabilitas merupakan kunci utama dalam menjaga kepercayaan publik.

Relevansi dengan Tata Kelola Pemerintahan Modern

Banyak orang menganggap kitab klasik sudah ketinggalan zaman. Padahal, prinsip Etika Bernegara menurut Al-Mawardi sangat kompatibel dengan Good Governance. Prinsip transparansi, supremasi hukum, dan partisipasi publik telah tersirat dalam tulisannya.

Al-Mawardi menekankan pembagian tugas yang jelas dalam birokrasi. Ia membahas peran Wazir (menteri) secara mendetail. Ada menteri yang bersifat eksekutif (tanfidz) dan ada yang memiliki wewenang delegasi (tafwidh). Pembagian ini bertujuan agar administrasi negara berjalan efektif dan efisien.

Pemerintah juga wajib mengelola keuangan negara dengan jujur. Harta negara adalah milik rakyat, bukan milik pribadi pejabat. Penggunaan anggaran harus berorientasi pada kepentingan umum, seperti pembangunan infrastruktur dan pendidikan. Korupsi merupakan pelanggaran berat terhadap etika bernegara ini.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Kesimpulan: Menuju Kepemimpinan yang Bertanggung Jawab

Pemikiran Al-Mawardi menawarkan solusi etis bagi krisis kepemimpinan masa kini. Politik bukan sekadar perebutan kursi kekuasaan. Politik adalah sarana mulia untuk melayani masyarakat luas. Kita perlu mengembalikan ruh integritas ke dalam sistem pemerintahan kita.

Seorang pejabat publik harus sadar bahwa jabatannya hanyalah sementara. Ia akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Dengan menerapkan Etika Bernegara menurut Al-Mawardi, kita bisa berharap lahirnya pemimpin-pemimpin yang adil. Pemimpin yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada rakyatnya. Inilah hikmah terbesar yang bisa kita ambil dari warisan intelektual Islam klasik untuk masa depan bangsa.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement