Khazanah
Beranda » Berita » Syaikh Sa‘id bin Sa‘id bin Nabhan al-Hadhrami: Sang Guru Tajwid dari Negeri Hadhramaut

Syaikh Sa‘id bin Sa‘id bin Nabhan al-Hadhrami: Sang Guru Tajwid dari Negeri Hadhramaut

ilustrasi Syaikh Hadhramaut sedang mempelajari kitab tajwid klasik dalam suasana tradisional
Seorang ulama Hadhramaut mengajar muridnya di ruang belajar tradisional, dikelilingi kitab-kitab, cahaya matahari masuk dari jendela, menunjukkan suasana damai keilmuan.

Surau.co. Dalam khazanah ilmu tajwid mengenal banyak tokoh besar yang berjasa mengajarkan cara membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Di antara para ulama tersebut, nama Syaikh Sa‘id bin Sa‘id bin Nabhan al-Hadhrami berdiri sebagai figur penting yang menyebarkan disiplin tajwid secara sistematis melalui karyanya yang ringkas, praktis, dan mudah dipelajari: Hidayatush Shibyan fi Tajwid al-Qur’an. Pembahasan mengenai sosok ini tidak hanya mengajak pembaca memasuki sejarah keilmuan Hadhramaut, tetapi juga menggambarkan bagaimana sanad keilmuan tajwid terus mengalir hingga dunia pesantren Nusantara.

Sosok ini hadir sebagai contoh bagaimana seorang ulama dapat berkontribusi besar melalui karya yang kecil tetapi berdampak luas. Selain itu, perjalanan hidup dan pemikirannya dapat menginspirasi generasi pembelajar Al-Qur’an hari ini untuk merawat tradisi ilmu yang bersambung hingga Rasulullah ﷺ.

Asal-Usul Keilmuan: Hadhramaut dan Tradisi Al-Qur’an

Hadhramaut dikenal sebagai wilayah yang melahirkan banyak ulama besar dalam bidang fikih, tasawuf, dan Al-Qur’an. Lingkungan religiusnya membentuk karakter para pembelajar yang menghargai sanad dan kedalaman ilmu. Dalam tradisi tersebut, Syaikh Sa‘id bin Sa‘id bin Nabhan tumbuh di tengah keluarga yang memuliakan Al-Qur’an. Sejak masa kecilnya, bacaan Al-Qur’an menjadi bagian dari keseharian, sehingga perjalanan intelektualnya bergerak secara alami menuju disiplin tajwid.

Keilmuan di Hadhramaut juga terkenal dengan pendekatan yang mengutamakan adab sebelum ilmu. Para ulama menekankan pentingnya kesucian hati, konsistensi ibadah, dan sikap rendah hati dalam mempelajari Al-Qur’an. Prinsip tersebut kemudian menjadi fondasi yang menguatkan karya Syaikh Sa‘id, khususnya dalam penyusunan teks Hidayatush Shibyan. Sebuah karya yang mencerminkan keseimbangan antara ketelitian teknis dan keindahan spiritual.

Perjalanan Ilmu dan Sanad Tajwid

Syaikh Sa‘id al-Hadhrami menempuh perjalanan panjang dalam menimba ilmu kepada sejumlah ulama besar. Tradisi talaqqi dari mulut ke mulut menjadi inti proses belajar, sehingga setiap huruf, makhraj, dan sifat huruf dipelajari secara detail. Hal ini sesuai dengan prinsip para ulama tajwid klasik seperti Imam Ibn al-Jazari yang menyatakan dalam bait terkenalnya:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

«وَالْأَخْذُ بِالتَّجْوِيدِ حَتْمٌ لَازِمُ
مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ الْقُرْآنَ آثِمُ»

“Mengambil tajwid hukumnya wajib,
Siapa yang tidak membaca Al-Qur’an dengan benar maka berdosa.”

Pendapat tersebut menjelaskan betapa tajwid bukan sekadar teori, tetapi bagian dari etika membaca Al-Qur’an. Syaikh Sa‘id al-Hadhrami membentuk jaringan sanad yang rapi sehingga para muridnya tidak hanya memahami teori, tetapi juga membawa amanah sanad suara yang tersambung hingga Rasulullah ﷺ.

Dalam salah satu riwayat, para ulama Hadhramaut sering mengulang ayat:

﴿وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا﴾
“Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil.” (QS. Al-Muzzammil: 4)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ayat tersebut menegaskan kewajiban membaca secara perlahan dan teratur, sehingga setiap makhraj dan sifat huruf tampak dengan jelas. Prinsip inilah yang kemudian menjadi jiwa dalam karya Syaikh Sa‘id.

Hidayatush Shibyan: Karya Ringkas yang Berdampak Luas

Karya Hidayatush Shibyan merupakan salah satu teks tajwid paling populer di dunia pesantren, terutama di Indonesia. Keunggulannya terletak pada gaya penyampaian yang padat, sistematis, dan mudah dipahami oleh pelajar pemula. Kitab ini dimulai dengan pengantar mengenai pentingnya tajwid, kemudian menjelaskan makhraj huruf, sifat-sifat huruf, hukum-hukum nun sukun dan tanwin, mim sukun, idgham, serta mad.

Syaikh Sa‘id membuka pembahasan dengan kalimat yang penuh hikmah:

«فَاعْلَمْ أَنَّ تَعَلُّمَ التَّجْوِيدِ لِلصِّبْيَانِ أَصْلٌ كَبِيرٌ»
“Ketahuilah bahwa mempelajari tajwid bagi para pelajar merupakan fondasi besar.”

Kalimat tersebut menegaskan bahwa tajwid bukan tambahan, tetapi dasar yang mengokohkan pemahaman Qur’ani seseorang. Dalam karya itu, Syaikh Sa‘id juga membagi makhraj huruf dengan sangat jelas sehingga para pemula dapat memahami anatomi huruf sejak awal pembelajaran.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Keberhasilan kitab ini dalam dunia pendidikan Al-Qur’an membuatnya diajarkan dari tingkat sekolah dasar Islam hingga perguruan tinggi. Banyak santri menghafal seluruh matannya sebelum masuk pada penjelasan lanjutan dari kitab-kitab tajwid lain seperti Tuhfatul Athfal atau Jazariyyah.

Pendekatan Pedagogis dalam Pengajaran Tajwid

Syaikh Sa‘id al-Hadhrami menggunakan pendekatan pedagogis yang khas dan memudahkan murid untuk memahami materi tajwid secara bertahap. Penyajian ringkas membuat murid tidak terbebani oleh istilah teknis yang berlebihan. Sebaliknya, murid diarahkan untuk memahami konsep paling dasar terlebih dahulu, seperti makhraj huruf, sebelum melangkah ke hukum-hukum bacaan.

Bahkan dalam menjelaskan sifat huruf, Syaikh Sa‘id memberikan contoh yang sangat mudah dihafal. Misalnya, pada penjelasan sifat jahr dan hams beliau menuliskan:

«فَحُرُوفُ الْهَمْسِ: فَحَثَّهُ شَخْصٌ سَكَتْ»
“Huruf-huruf hams adalah: ف ح ث ه ش خ ص س ك ت.”

Contoh seperti ini sangat membantu pelajar dalam mengingat daftar huruf, sehingga proses belajar menjadi lebih efektif. Pendekatan sederhana tetapi kuat seperti ini menggambarkan kecerdasan pedagogis sang ulama.

Pengaruh Syaikh Sa‘id terhadap Pendidikan Al-Qur’an di Nusantara

Kitab Hidayatush Shibyan telah menyebar ke berbagai wilayah Islam, termasuk Nusantara. Para ulama Hadhramaut yang bermukim di Indonesia banyak membawa kitab ini dan mengajarkannya di pesantren tradisional. Dari Aceh hingga Jawa Timur, kitab ini menjadi salah satu rujukan dasar untuk memahami tajwid.

Di banyak pesantren, para santri membaca kitab tersebut dengan metode sorogan dan bandongan, sehingga interaksi langsung antara guru dan murid mempermudah transfer sanad bacaan. Tradisi tersebut menjaga kemurnian bacaan Al-Qur’an dari generasi ke generasi. Hal ini sesuai dengan prinsip para ulama bahwa Al-Qur’an tidak dapat dipelajari hanya melalui buku, tetapi harus melalui guru bersanad.

Para ulama Nusantara juga menambahkan syarah atau catatan atas kitab tersebut agar sesuai dengan kebutuhan lokal. Hal ini menunjukkan betapa fleksibel dan relevannya karya Syaikh Sa‘id sepanjang masa.

Syaikh Sa‘id sebagai Simbol Integrasi Ilmu dan Adab

Ulama Hadhramaut selalu memahami bahwa ilmu Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari adab. Syaikh Sa‘id al-Hadhrami mencerminkan prinsip ini melalui sikap rendah hati, kecintaan terhadap murid, dan ketekunan dalam mengajar. Karyanya bukan hanya hasil kecerdasan intelektual, tetapi manifestasi dari hati yang penuh ketulusan terhadap Al-Qur’an.

Dalam tradisi tasawuf, sering dijelaskan:

«مَنْ فَتَحَ اللّٰهُ قَلْبَهُ لِعِلْمِ الْقُرْآنِ فَقَدْ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ»
“Siapa pun yang hatinya dibukakan untuk ilmu Al-Qur’an, maka pintu rahmat telah terbuka baginya.”

Ungkapan tersebut menggambarkan posisi mulia para pengajar Al-Qur’an, termasuk Syaikh Sa‘id. Sosok ini bukan hanya guru teknis, tetapi pewaris cahaya kerasulan yang mengalir melalui rangkaian sanad.

Relevansi Karya Syaikh Sa‘id di Era Modern

Di tengah perkembangan teknologi digital, berbagai metode pembelajaran Al-Qur’an mencoba hadir dalam bentuk aplikasi, video, dan modul daring. Meskipun demikian, karya klasik seperti Hidayatush Shibyan tetap relevan. Keringkasan setnya menjadikan kitab ini mudah dipelajari siapa saja, bahkan bagi generasi yang terbiasa dengan akses belajar cepat.

Lebih jauh, pendekatan sanad yang dikembangkan Syaikh Sa‘id memberikan koreksi terhadap pembelajaran digital yang sering kehilangan unsur talaqqi. Dalam tradisi Islam, bacaan Al-Qur’an diturunkan secara langsung dari guru kepada murid, sehingga keaslian suara dan makhraj dapat terjaga. Karya Syaikh Sa‘id mengingatkan pembaca bahwa teknologi tidak boleh menghilangkan hubungan spiritual antara guru dan murid.

Dengan demikian, keberadaan kitab Hidayatush Shibyan tetap menjadi rujukan dasar sebelum pembelajar memasuki kajian tajwid tingkat lanjut.

Penutup: Jejak Cahaya dari Hadhramaut

Syaikh Sa‘id bin Sa‘id bin Nabhan al-Hadhrami meninggalkan warisan yang terus hidup dalam bacaan setiap muslim yang mempelajari Al-Qur’an melalui karyanya. Dari lembah Hadhramaut hingga pesantren-pesantren Nusantara, cahaya ilmunya mengalir tanpa putus. Karya ringkasnya menjelma sebagai jembatan bagi jutaan pembelajar Al-Qur’an untuk memasuki dunia tajwid.

Ketika seorang muslim membaca satu huruf Al-Qur’an dengan tartil, sesungguhnya ia sedang menghidupkan kembali warisan para ulama seperti Syaikh Sa‘id. Barangkali itulah rahasia mengapa karya sederhana dapat memiliki dampak luar biasa. Karena ilmu yang lahir dari keikhlasan selalu menemukan jalannya sendiri.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement