Surau.co. Dalam tradisi pembacaan Al-Qur’an, para ulama sejak dahulu menekankan bahwa setiap huruf membawa karakter suara yang tidak hanya bersifat fonetis, tetapi juga menyimpan kedalaman makna dan dimensi spiritual. Di antara huruf-huruf tersebut, huruf ra’ dan lam menempati posisi sangat istimewa karena keduanya memungkinkan dua cara baca sekaligus: tafkhim (pengandaan suara/tebal) dan tarqiq (penipisan suara/tipis). Oleh karena itu, pembahasan mengenai tafkhim dan tarqiq tidak sekadar menguraikan aturan fonetik, tetapi juga menanamkan prinsip adab dalam membaca Al-Qur’an serta menjaga warisan ilmu para ulama qira’at.
Ilmu tajwid kemudian menuntun pembaca agar melafalkan setiap huruf secara benar, seimbang, dan sesuai sanad keilmuan. Allah memerintahkan hal tersebut dalam firman-Nya:
﴿ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا ﴾
“Bacalah Al-Qur’an dengan tartil.” (QS. Al-Muzzammil: 4)
Para mufassir seperti Imam al-Qurthubi kemudian menjelaskan bahwa tartil berarti membaca dengan perlahan, jelas, serta memelihara hukum setiap huruf. Dengan demikian, urgensi mempelajari bacaan ra’ dan lam memperoleh dasar yang sangat kuat.
Mengapa Tafkhim dan Tarqiq Penting Dipahami?
Sebagian pembaca pemula sering menganggap pembahasan tentang ra’ dan lam terlalu rumit. Padahal, kedua huruf ini muncul sangat sering dalam Al-Qur’an. Karena itu, ketika pembaca keliru melafalkannya, kesalahan tersebut dapat mengubah keindahan bacaan dan mengurangi kekhusyukan. Untuk itulah para ulama kemudian menjelaskan kaidah-kaidahnya secara detail dan bersambung sanad.
Dalam Hidayatush Shibyan, Syaikh Sa‘id al-Hadhrami memberikan panduan ringkas namun tegas:
“وَرَقِّقَنَّ الرَّا لِلكَسْرِ أَبَدًا … إِلَّا مَعَ الاسْتِعْلَاءِ إِذْ تَجَرَّدَا”
“Lakukan tarqiq pada ra’ jika kasrah, kecuali jika bertemu huruf isti‘la’.”
Petunjuk ini menegaskan bahwa pembaca harus mempertimbangkan pertemuan huruf, harakat, serta posisi ra’ dan lam dalam kata.
Bacaan Ra’: Keseimbangan antara Tafkhim dan Tarqiq
- Ra’ Dibaca Tafkhim: Ketegasan Suara yang Mantap
Tafkhim pada ra’ menghasilkan suara berat yang memiliki gema. Para ulama menetapkan tafkhim pada beberapa keadaan, misalnya ketika ra’ berharakat fathah atau dhammah, atau ketika ra’ sukun didahului huruf berharakat fathah atau dhammah.
Contoh:
﴿ رَبُّ الْعَالَمِينَ ﴾
“Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Fatihah: 2)
Pada kata رَبُّ, pembaca melafalkan ra’ dengan tebal karena berharakat dhammah.
Ulama qira’at menjelaskan:
“الرَّاءُ تُفَخَّمُ مَعَ الْفَتْحِ وَالضَّمِّ”
“Huruf ra’ dibaca tebal ketika berharakat fathah atau dhammah.”
Selain itu, ra’ sukun yang didahului fathah atau dhammah juga harus dibaca tebal, seperti pada:
﴿ الشُّعَرَاءُ ﴾
“Para penyair.” (QS. Asy-Syu‘ara: 224)
- Ra’ Dibaca Tarqiq: Kelembutan Suara yang Halus
Tarqiq membuat suara ra’ lebih tipis dan lembut. Menerapkan tarqiq ketika ra’ berharakat kasrah atau ketika ra’ sukun didahului huruf berharakat kasrah.
Contoh:
﴿ فِرْعَوْنَ ﴾
“Firaun.” (QS. Al-Baqarah: 49)
Pada فِرْ, pembaca harus menipiskan ra’ karena huruf sebelumnya berharakat kasrah.
Syaikh Sa‘id al-Hadhrami menegaskan:
“وَرَقِّقَنَّ الرَّا لِلكَسْرِ أَبَدًا”
“Lakukan tarqiq pada ra’ jika bertemu kasrah.”
Penegasan ini menunjukkan bahwa kelembutan bacaan ra’ sangat bergantung pada posisi kasrah.
Bacaan Lam: Tiga Keadaan Penting dalam Tajwid
- Lam Jalalah Dibaca Tafkhim: Pengagungan terhadap Nama Allah
Lam pada lafadz jalalah “Allah” memiliki hukum khusus. Para ulama sepakat menerapkan tafkhim pada lam jalalah jika huruf sebelumnya berharakat fathah atau dhammah.
Contoh:
﴿ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾
“Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)
Imam an-Nawawi menjelaskan:
“وَتُفَخَّمُ لَامُ الاسْمِ الْمُعَظَّمِ بَعْدَ فَتْحٍ أَوْ ضَمٍّ”
“Lam pada nama Allah dibaca tebal setelah fathah atau dhammah.”
- Lam Jalalah Dibaca Tarqiq: Kelembutan dalam Menyebut Nama Allah
Lam jalalah dibaca tipis jika huruf sebelumnya berharakat kasrah.
Contoh:
﴿ بِاللَّهِ ﴾
“Dengan Allah.”
Para ulama menyatakan:
“وَتُرَقَّقُ بَعْدَ الْكَسْرِ وَهُوَ الْمُخْتَارُ”
“Lam jalalah dibaca tipis setelah kasrah, dan itu pendapat yang unggul.”
- Lam pada Kata Biasa: Konsistensi Tarqiq
Selain lam jalalah, seluruh lam dalam kata-kata umum selalu dibaca tipis. Aturan ini berlaku secara konsisten.
Contoh:
﴿ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحدٌ ﴾
“Katakanlah (Muhammad): Dialah Allah Yang Maha Esa.” (QS. Al-Ikhlāṣ: 1)
Pembaca harus melafalkan lam dalam قُلْ dengan tarqiq karena huruf lam dalam semua kata selain lafadz jalalah tidak memiliki hukum tafkhim.
Tafkhim dan Tarqiq: Teknik yang Membentuk Kehalusan Jiwa
Meskipun tafkhim dan tarqiq tampak sebagai aturan teknis, keduanya sebenarnya membentuk keseimbangan batin pembaca. Ketika seseorang menebalkan ra’ atau lam, ia menanamkan ketegasan. Sebaliknya, ketika ia menipiskan ra’ atau lam, ia melatih kelembutan.
Para ulama menyampaikan:
“حُسْنُ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ جَلَاءٌ لِلْقَلْبِ”
“Indahnya suara dalam membaca Al-Qur’an menjadi pembersih bagi hati.”
Tafkhim dan Tarqiq sebagai Cermin Kehidupan
Ketika seseorang memahami kapan harus menebalkan ra’, kapan harus menipiskan lam, atau kapan lam jalalah bergema dan kapan harus lembut, ia sebenarnya sedang belajar keseimbangan hidup. Al-Qur’an tidak hanya menuntun lidah, tetapi juga membimbing sikap batin manusia.
Dengan memahami tafkhim dan tarqiq pada ra’ dan lam, pembaca memasuki ruang ilmu yang kaya, halus, dan penuh hikmah. Setiap pelafalan ra’ yang tebal atau tipis, serta setiap lam yang bergema atau lembut, menjadi bentuk adab terhadap Kalamullah. Ilmu tajwid tidak berhenti sebagai kumpulan aturan; ia menjadi jalan bagi seorang Muslim untuk mendekat kepada Allah melalui kesadaran dalam setiap huruf.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
