Khazanah
Beranda » Berita » Tiga Kaidah Mim Sukun dalam Tajwid menurut Kitab Hidayatush Shibyan

Tiga Kaidah Mim Sukun dalam Tajwid menurut Kitab Hidayatush Shibyan

Ilustrasi realistik santri mempelajari kaidah mim sukun dalam tajwid berdasarkan Hidayatush Shibyan.

Surau.co. Mim sukun menjadi salah satu bagian penting dalam ilmu tajwid yang sering muncul dalam berbagai bacaan Al-Qur’an. Pembahasannya tidak hanya menyangkut aspek tatacara pelafalan huruf, tetapi juga menyentuh sisi spiritual dalam menjaga keindahan dan kemurnian bacaan wahyu. Artikel ini mengupas tiga kaidah mim sukun menurut Hidayatush Shibyan karya Syaikh Sa‘id al-Hadhrami, dengan pendekatan akademik-populer yang ringan, naratif, dan mudah dipahami pembaca awam maupun mahasiswa ilmu Al-Qur’an.

Sejak dahulu, para ulama menekankan bahwa menjaga bacaan bukan sekadar hukum teknis, tetapi ibadah yang berakar pada adab terhadap Kalamullah. Allah berfirman:

﴿ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا ﴾
“Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil.” (QS. Al-Muzzammil: 4)

Para ulama memaknai tartil sebagai upaya membaguskan bacaan melalui pengetahuan tentang hukum-hukum tajwid. Karena itu, memahami kaidah mim sukun menjadi bagian dari menjalankan amanah ilahi dalam membaca Al-Qur’an secara benar.

Mim Sukun dan Urgensinya dalam Bacaan Qur’ani

Pembahasan mengenai tiga kaidah mim sukun bersandar pada tiga hukum utama: ikhfa syafawi, idgham mislain saghir, dan izhar syafawi. Ketiganya muncul dari pertemuan huruf mim sukun dengan huruf-huruf tertentu. Para ahli tajwid mengajarkan hukum ini sebagai fondasi agar pembaca Qur’an tidak mencampuradukkan suara, tidak memunculkan dengung pada tempat yang salah, serta tidak menghilangkan hak huruf.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Syaikh Sa‘id al-Hadhrami dalam Hidayatush Shibyan menjelaskan:

“وَحُكْمُ مِيمِ السُّكُونِ إِنْ تَلْقَى مِثْلَهَا فَأَدْغِمَنْ، وَإِنْ تَلْقَ بَا فَاخْفِ، وَمَا سِوَاهُمَا فَأَظْهِرَنْ”
“Adapun hukum mim sukun, jika bertemu dengan sesamanya (mim), maka lakukan idgham; jika bertemu huruf ba’, maka lakukan ikhfa; dan selain keduanya maka lakukan izhar.”

Keterangan singkat ini membuka ruang pembahasan yang sangat luas mengenai bagaimana suara, makhraj, dan durasi bacaan bekerja ketika seseorang membaca Al-Qur’an dengan tartil.

Ikhfa Syafawi: Menyembunyikan Suara dengan Lembut

Ikhfa syafawi terjadi ketika mim sukun bertemu huruf ba’. Istilah “syafawi” muncul karena proses pelafalan melibatkan kedua bibir (asy-syafatain). Pengucapan ikhfa bukan berarti menghapus suara mim, tetapi menyamarkannya dengan dengungan yang halus sambil mempersiapkan bibir untuk huruf ba’. Karena itu, ikhfa syafawi memiliki karakter lembut dan mengalir.

Para ulama menyebut ikhfa sebagai“tengah-tengah” antara izhar dan idgham. Syaikh al-Hadhrami menyebut huruf ba sebagai satu-satunya huruf yang melahirkan ikhfa pada mim sukun. Hal ini menunjukkan keunikan bunyi ba yang berdekatan makhrajnya dengan mim, sehingga penyamaran suara menjadi lebih tepat secara fonetik.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Contoh paling mudah ditemukan dalam firman Allah:

﴿ تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ ﴾
“(Allah) melempari mereka dengan batu-batu.” (QS. Al-Fil: 4)

Pada kata ﴿ مْ بِ ﴾, pembaca menghasilkan dengungan halus sebelum masuk ke huruf ba. Suara tidak hilang dan tidak berhenti, tetapi mengalir lembut.

Imam Ibn al-Jazari dalam Tayyibat an-Nashr memberikan penegasan:

“وَخَصَّ بِالإِخْفَاءِ مِنْهَا الْبَا”
“Hanya huruf ba’ yang khusus digunakan untuk hukum ikhfa pada mim sukun.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Keterangan ini memperkuat bahwa hukum ikhfa pada mim sukun bersifat sangat spesifik.

Idgham Mitslain Saghir: Meleburkan Dua Bunyi

Idgham mitslain saghir terjadi ketika mim sukun bertemu huruf mim. Disebut mitslain karena kedua huruf berasal dari jenis yang sama; disebut saghir karena huruf pertama dalam keadaan sukun, sedangkan huruf kedua berharakat.

Proses idgham membuat dua huruf mim melebur menjadi satu suara panjang disertai ghunnah (dengung). Karena pelafalan mim membutuhkan kedua bibir, proses peleburan ini sangat alami secara fonetik dan memungkinkan pembaca menghasilkan suara yang indah.

Syaikh Sa‘id al-Hadhrami menyampaikan:

“إِنْ تَلْقَى مِثْلَهَا فَأَدْغِمَنْ”
“Jika mim sukun bertemu sesamanya, maka lakukan idgham.”

Contoh idgham mim dapat ditemukan dalam ayat:

﴿ لَهُمْ مَّا يَشَاءُونَ ﴾
“Bagi mereka apa yang mereka kehendaki.” (QS. Az-Zumar: 34)

Pada bagian ﴿ مْ مَ ﴾, huruf mim pertama melebur ke huruf mim kedua dengan dengungan.

Para ulama Qira’ah seperti Imam al-Syatibi memberi penjelasan:

“وَإِدْغَامُ مِيمٍ فِي مِثْلِهَا سَبِيلُهُ الغُنَّةُ”
“Idgham mim ke mim dilakukan dengan ghunnah.”

Keterangan ini menegaskan bahwa dengung menjadi unsur wajib dalam idgham mim.

Izhar Syafawi: Kejelasan Suara Sebagai Adab Membaca

Izhar syafawi terjadi ketika mim sukun bertemu dengan seluruh huruf hijaiyyah selain mim dan ba’. Disebut “syafawi” karena huruf mim diucapkan menggunakan kedua bibir, sehingga kejelasan suara sangat mungkin terjadi. Izhar berarti menampakkan huruf dengan jelas tanpa dengung tambahan, tanpa peleburan, dan tanpa penyamaran.

Syaikh Sa‘id al-Hadhrami menyebut:

“وَمَا سِوَاهُمَا فَأَظْهِرَنْ”
“Dan selain keduanya, maka tampakkanlah.”

Dengan demikian, izhar syafawi mencakup hukum paling luas dalam kaidah mim sukun. Contoh izhar syafawi dapat ditemukan dalam firman Allah:

﴿ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ﴾
“(Yaitu) jalan orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.” (QS. Al-Fatihah: 7)

Pada bagian ﴿ مْ تَ ﴾, suara mim harus terdengar jelas tanpa dengung, meskipun huruf setelahnya bukan huruf bibir. Pembaca menutup bibir sejenak lalu membuka dan mengalihkan suara ke huruf ta dengan tegas.

Para ahli tajwid seperti Imam al-Mar’asyi dalam Juhd al-Muqill mengatakan:

“وَالْإِظْهَارُ أَصْلٌ فِي الْحُرُوفِ مَا لَمْ يَقُمْ مُقْتَضٍ لِغَيْرِهِ”
Izhar merupakan hukum asal huruf selama tidak ada sebab untuk hukum lain.”

Keterangan ini menunjukkan bahwa izhar menjadi hukum dasar mim sukun dalam kebanyakan keadaan.

Makna Spiritual dari Kaidah Mim Sukun

Tiga kaidah mim sukun bukan sekadar teknik pelafalan. Setiap aturan menyimpan hikmah yang menghubungkan pembaca dengan Al-Qur’an secara emosional dan spiritual. Ketika seseorang menjaga kejelasan suara dalam izhar, menyamarkan bunyi dengan lembut saat ikhfa, atau meleburkan dua huruf dengan harmoni dalam idgham, seluruh tindakan ini merefleksikan adab kepada wahyu.

Para ulama menyatakan:

“تَحْسِينُ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ مِنْ تَعْظِيمِ الشَّعَائِرِ”
“Memperindah suara dalam membaca Al-Qur’an termasuk bentuk mengagungkan syiar-syiar Allah.”

Artinya, mempraktikkan tajwid memadukan aspek keilmuan dan aspek batin.

Kaidah Mim Sukun sebagai Cermin Disiplin Bacaan

Selain makna spiritual, kaidah mim sukun juga mengajarkan kedisiplinan. Pembaca Al-Qur’an dituntut menjaga jarak antarhuruf dengan tepat. Izhar mengajarkan ketegasan, ikhfa mengajarkan kelembutan, idgham mengajarkan keharmonisan.

Ketiga hukum ini menjadi simbol bagaimana manusia seharusnya mengatur suara dan sikap dalam kehidupan. Tegas pada tempatnya, lembut pada waktu yang tepat, dan mampu menyatu saat dibutuhkan.

Penutup

Ketika seseorang memahami tiga kaidah mim sukun menurut Hidayatush Shibyan, proses membaca Al-Qur’an tidak lagi sekadar aktivitas teknis. Pembaca memasuki ruang batin tempat suara bertemu makna, dan huruf bertemu keindahan. Bacaan yang benar membawa ketenangan, karena setiap huruf dibaca dengan adab yang diwariskan ulama.

Suara mim yang jelas, dengungan yang lembut, dan peleburan bunyi yang harmonis menjadi jejak kecil dari perjalanan besar menuju kedekatan dengan Al-Qur’an. Dalam setiap huruf yang terlafal sesuai kaidah, seorang Muslim menemukan keteduhan, cahaya, dan kehadiran Ilahi yang menguatkan hati.

Semoga kita selalu diberi kemampuan untuk membaca Al-Qur’an dengan suara yang bersih, penuh penghayatan, dan berlandaskan ilmu yang benar.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement