SURAU.CO-Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, melalui kebijaksanaannya dalam Kitab Al-Hikam, menyampaikan terkait tabir yang menutupi kebodohan spiritual kita. Syekh Ibnu Atha’illah mengidentifikasi dua perilaku mendasar yang menghalangi seorang hamba mencapai kesempurnaan imannya.
Kebodohan Pertama: Melawan Kehendak Waktu Ilahi
Inti dari kebodohan pertama adalah upaya kita untuk mendikte Allah, Sang Pengatur waktu dan takdir. Beliau secara tegas menyatakan:
“Termasuk suatu bentuk kebodohan jika kita menginginkan sesuatu terjadi pada waktu yang tidak dikehendaki oleh Allah Swt.”
Adalah bentuk kesombongan spiritual yang nyata ketika kita—sebagai hamba yang hina dan fakir—berharap suatu peristiwa terjadi di luar jadwal yang telah Allah tetapkan. Kita tidak memiliki hak intervensi sedikit pun dalam setiap ketentuan-Nya. Realitasnya, alam semesta bergerak berdasarkan iradah (kehendak) Ilahi, bukan berdasarkan keinginan mendesak kita.
Memahami Hikmah di Balik Penundaan
Jika Allah berkehendak agar suatu hajat atau keinginan tidak terwujud pada saat yang kita harapkan, kita harus segera menyadari bahwa di balik penundaan atau pencegahan itu pasti tersimpan kebaikan yang besar. Mengapa? Karena keyakinan tauhid kita menuntun pada satu kesimpulan mutlak: Allah Swt. tidak mungkin menghendaki keburukan bagi hamba-Nya.
Semua ketentuan, takdir, dan ketetapan yang Dia jalankan di alam semesta ini adalah murni demi kebaikan dan maslahat kita. Walaupun kita mungkin melihat suatu kejadian sebagai musibah, bencana alam, atau kemalangan (seperti banjir, longsor, atau kehilangan), sesungguhnya terdapat hikmah dan kebaikan agung di baliknya. Kebaikan ini jauh lebih besar dan bernilai abadi dibandingkan kerugian atau keburukan sementara yang kita rasakan. Seringkali, kemampuan akal kita yang terbatas belum mampu mencerna besarnya maslahat yang tersembunyi tersebut.
Ketundukan dalam Doa
Prinsip ini sangat relevan dalam persoalan doa. Sering kali, kita tergesa-gesa dan mendesak agar doa segera dikabulkan. Namun, Allah, Yang Maha Mengetahui, mungkin melihat bahwa lebih baik jika doa tersebut diundur, atau bahkan digantikan dengan nikmat lain yang jauh lebih bermanfaat dan langgeng bagi kehidupan kita di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kewajiban kita adalah tunduk sepenuhnya pada ketentuan dan keputusan-Nya. Kita berpegang teguh pada jaminan bahwa Dia tidak akan mencelakakan kita dan tidak akan membebani kita melampaui kemampuan yang telah Dia berikan.
Kebodohan Kedua: Menunda Amalan
Kebodohan kedua yang Syekh Ibnu Atha’illah soroti berkaitan erat dengan aspek praktis kehidupan seorang muslim:
“Menunda amalan untuk menunggu waktu luang adalah bentuk kebodohan jiwa.”
Kebiasaan menunda ibadah dan amal kebajikan yang dicintai Allah ketika waktu pelaksanaannya tiba, hanya dengan alasan menunggu waktu yang lebih lapang atau senggang, adalah indikasi nyata dari penyakit jiwa (kebodohan spiritual). Fenomena ini merajalela dalam keseharian kita.
Realitas Penangguhan Kewajiban
Kebiasaan menunda ini tampak dalam banyak contoh konkret, pertama Syekh Ibnu Atha’illah menerangkan perilaku menunda salat. Yalni ketika azan berkumandang, namun kita sedang asyik menyelesaikan pekerjaan kantor atau urusan duniawi yang lain, kita sengaja menunda salat, menganggap kantor lebih utama daripada panggilan suci. Kedua, menunda berzakat. Syekh Ibnu Atha’illah menjelaskan, ketika harta telah mencapai nisab dan haul (batas waktu dan jumlah minimal), kita menunda pelaksanaan zakat, beralasan menunggu waktu luang untuk menyerahkannya kepada lembaga amil. Terakhir, menunda haji. Syekh Ibnu Atha’illah menjelaskan ketika kondisi keuangan sudah memadai dan kemampuan fisik terpenuhi, kita menunda ibadah haji, terikat pada pekerjaan duniawi yang seolah-olah tidak akan pernah ada habisnya.
Semua perilaku penundaan ini dikategorikan sebagai kebodohan yang nyata karena satu alasan mendasar: ketidakpastian waktu ajal. Ajal berada di tangan Allah Swt. Siapa yang dapat menjamin kita tidak akan meninggal sebelum sempat menunaikan kewajiban yang ditunda itu? Ajal adalah kepastian yang mampu menembus benteng terkuat dan penjagaan yang paling ketat.
Oleh sebab itu, kita harus melaksanakan ibadah dan amal kebajikan tepat pada waktunya, tanpa penangguhan. Waktu memiliki nilai yang tak terhingga: Waktu adalah barang berharga, bahkan waktu adalah esensi hidup itu sendiri. Jika kita melalaikan waktu, kita secara harfiah sedang berada di ambang kehancuran spiritual. Waktu sering tergambarkan sebagai pedang: jika kita tidak menggunakannya untuk memotong (melakukan kebaikan), maka pedang waktu itu akan memotong (menghabiskan) kita.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
