Surau.co. Iman kepada yang ghaib menjadi fondasi utama dalam ajaran tauhid sekaligus pintu masuk untuk memahami relasi manusia dengan Allah. Kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām karya Syaikh Ahmad al-Marzuqī al-Mālikī menghadirkan pembahasan yang sangat indah tentang hal ini. Para santri dan penuntut ilmu telah mempelajari nazham aqidah ini selama berabad-abad di berbagai penjuru dunia. Karya ringkas tersebut merumuskan keimanan yang selaras dengan Ahlussunnah wal Jamaah, terutama dalam hal mengenal Allah, para rasul, dan perkara ghaib yang melampaui batas penglihatan manusia.
Dalam kehidupan modern yang penuh rasionalitas dan teknologi, berbagai pengaruh logika, arus berita cepat, dan budaya empiris sering menguji keimanan kepada perkara ghaib. Karena itu, kita perlu menghidupkan kembali pemahaman tauhid dari kitab-kitab tradisional seperti ‘Aqīdatu al-‘Awām. Dengan gaya lembut dan argumentatif, ajaran ini mengajak pembaca untuk mengokohkan iman, memperkuat hubungan dengan Allah, dan memaknai kembali konsep perkara ghaib sebagai kekuatan spiritual yang menentukan arah hidup.
Makna Ghaib dalam Perspektif Tauhid
Iman kepada yang ghaib tidak berhenti pada keyakinan abstrak semata. Al-Qur’an menunjukkan konsep ini sebagai ciri utama orang beriman. Allah berfirman:
﴿ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ ﴾
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib.” (QS. Al-Baqarah: 3)
Ayat ini menegaskan bahwa keimanan sejati bergerak melewati batas penglihatan. Seorang muslim yang beriman kepada Allah, malaikat, surga, neraka, takdir, dan seluruh perkara yang tidak dapat dijangkau pancaindra justru menampilkan karakter khas yang membedakannya dari mereka yang hanya mengutamakan materi.
Dalam ‘Aqīdatu al-‘Awām, Syaikh Ahmad al-Marzuqī menjelaskan iman kepada yang ghaib melalui bait-bait nazham yang padat dan jelas. Beliau menekankan pentingnya keyakinan kepada dzat Allah yang Maha Esa, sifat-sifat kesempurnaan-Nya, kenabian para rasul, keberadaan para malaikat, serta kehidupan akhirat. Semua poin tersebut membentuk inti akidah seorang muslim.
Ajaran ini sekaligus menegaskan bahwa perkara ghaib tidak bertentangan dengan nalar. Sebaliknya, akal justru membantu manusia memahami batas dirinya, sedangkan wahyu memberi cahaya agar akal tidak tersesat. Karena itu, belajar tauhid berarti menundukkan akal kepada petunjuk wahyu yang lebih tinggi.
Iman kepada Allah: Dasar Paling Kokoh dalam ‘Aqīdatu al-‘Awām
Kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām memulai pembahasan dengan menegaskan keesaan Allah. Dalam tauhid, seorang muslim tidak cukup hanya mengakui keberadaan Allah, tetapi juga perlu memahami sifat-sifat kesempurnaan-Nya: adanya tanpa permulaan, kekalnya tanpa akhir, berbeda dari makhluk, berkuasa atas segala sesuatu, dan Maha Sempurna dalam segala aspek.
Allah berfirman:
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ﴾
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syura: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah suci dari bentuk, rupa, atau sifat yang menyerupai makhluk. Syaikh al-Marzuqī menjelaskan makna tersebut melalui nazham yang memuat sifat-sifat wajib bagi Allah secara rinci. Tujuannya agar umat Islam tidak terjatuh pada pemahaman keliru mengenai dzat Allah.
Dalam era modern yang penuh visualisasi, manusia cenderung memahami sesuatu melalui tampilan fisik. Karena itu, konsep ketauhidan ini semakin relevan. Keimanan tersebut melatih manusia untuk merasakan kehadiran Allah secara lebih mendalam dan spiritual, melampaui segala bentuk.
Iman kepada Malaikat: Menghadirkan Kesadaran Spiritual
Keyakinan kepada malaikat menjadi salah satu pilar penting dalam iman kepada yang ghaib. Walau manusia tidak dapat melihat malaikat, kehadiran mereka tetap nyata dalam tugas-tugas ketuhanan.
Allah berfirman:
﴿ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴾
“Mereka tidak pernah mendurhakai Allah dan selalu melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini menggambarkan ketundukan total malaikat kepada Allah. Dalam ‘Aqīdatu al-‘Awām, Syaikh al-Marzuqī menegaskan kewajiban meyakini seluruh malaikat yang disebutkan dalam nas serta tugas-tugas mereka.
Dalam kehidupan modern yang cepat, keyakinan ini menumbuhkan kesadaran moral. Konsep malaikat pencatat amal, Raqib dan Atid, misalnya, mengingatkan manusia untuk selalu menjaga integritas. Dengan demikian, keberadaan malaikat tidak hanya muncul sebagai doktrin, tetapi juga sebagai inspirasi spiritual untuk memperbaiki akhlak.
Iman kepada Rasul: Meneladani Cahaya di Tengah Modernitas
Iman kepada rasul juga termasuk perkara ghaib, karena tubuh mereka tidak lagi hadir di tengah masyarakat. Namun demikian, ajaran para rasul tetap hidup hingga kini. Syaikh al-Marzuqī dalam ‘Aqīdatu al-‘Awām menyebutkan dua puluh lima nabi yang wajib diketahui agar umat Islam dapat meneladani sosok-sosok pembawa cahaya ilahi tersebut.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
« إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلَاقِ »
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)
Hadis ini menunjukkan bahwa para nabi hadir sebagai pembimbing moral. Dalam dunia modern yang bising oleh informasi, teladan para rasul menawarkan ketenangan dan konsistensi dalam memegang kebenaran.
Iman kepada Hari Akhir: Membuka Kesadaran tentang Arti Hidup
Dalam ‘Aqīdatu al-‘Awām, Syaikh al-Marzuqī menegaskan pentingnya iman kepada hari akhir sebagai pilar spiritual yang tak dapat dipisahkan dari akidah. Dunia modern sering membuat manusia merasa seolah hidup hanya berlangsung di dunia. Padahal, perjalanan yang sesungguhnya baru dimulai setelah kematian.
Allah berfirman:
﴿ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ﴾
“Sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sesungguhnya.” (QS. Al-Ankabut: 64)
Ayat ini mengingatkan manusia bahwa dunia hanyalah persinggahan sebentar. Dengan demikian, keimanan kepada hari akhir menanamkan kesadaran bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Keyakinan ini membuat manusia lebih bertanggung jawab, lebih berhati-hati, dan lebih bersyukur dalam menjalani kehidupan.
Menjadikan Iman kepada yang Ghaib sebagai Penuntun Hidup
Menghayati ajaran ‘Aqīdatu al-‘Awām berarti menjadikan iman kepada yang ghaib sebagai penuntun hidup. Keyakinan ini mengarahkan manusia untuk memandang kehidupan melalui perspektif ilahi. Dari keyakinan kepada Allah, malaikat, rasul, hingga hari akhir, semua ibarat kompas spiritual yang menuntun setiap langkah.
Seseorang yang meyakini pengawasan Allah akan menghindari perbuatan buruk. Seseorang yang mencintai rasul akan berusaha meneladani akhlak mulia mereka. Dan seseorang yang percaya kepada hari akhir akan menyiapkan diri dengan amal saleh.
Selain itu, iman kepada yang ghaib menghadirkan ketenangan dalam menghadapi kecemasan dan krisis makna yang sering muncul dalam kehidupan modern. Keyakinan ini menyediakan ruang batin yang penuh harapan, cahaya, dan kekuatan spiritual.
Penutup
Di tengah dunia yang semakin hiruk-pikuk, iman kepada yang ghaib menjadi cahaya yang menuntun manusia menuju ketenangan. Kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām hadir sebagai pengingat bahwa tauhid adalah fondasi kehidupan. Melalui ajaran Syaikh Ahmad al-Marzuqī, kita diajak mengenal Allah dengan cinta, percaya kepada malaikat dengan keyakinan, meneladani para rasul dengan keikhlasan, dan mempersiapkan diri menuju akhirat dengan penuh harapan.
Iman kepada yang ghaib bukan hanya konsep teologis, tetapi juga pelita yang memperhalus hati, memperbaiki akhlak, dan membimbing manusia menghadapi dunia yang semakin kompleks. Ketika hati gelisah, kita dapat mengingat bahwa di balik semua yang tampak, terdapat kekuasaan Allah yang selalu bekerja dengan hikmah-Nya yang tidak pernah padam.
Semoga cahaya tauhid senantiasa memenuhi hati, menguatkan iman, dan membawa kita menuju jalan yang diberkahi.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
