Suaru.co. Tradisi menghafal kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām telah hidup ratusan tahun di pesantren Nusantara. Banyak santri membacanya sejak usia dini, bahkan sebelum menguasai kitab kuning secara lengkap. Tradisi ini tidak sekadar menghadirkan hafalan, tetapi juga membentuk penghayatan terhadap prinsip tauhid yang diajarkan ulama Ahlussunnah.
Kitab karya Syaikh Ahmad al-Marzuqī al-Mālikī tersebut menawarkan fondasi teologis yang sederhana, namun memiliki kedalaman spiritual yang memadai. Santri di pesantren tradisional mempelajarinya dengan penuh adab, sebab akidah bukan hanya bahan hafalan, melainkan kebenaran yang menghidupkan hati.
Mengapa Pesantren Nusantara Memulai Akidah dengan Hafalan?
Pesantren Nusantara menempatkan hafalan sebagai pintu awal dalam pendidikan akidah. Hafalan memberi ruang bagi santri muda untuk mengenali konsep tauhid Asy‘ari secara bertahap, tanpa beban kajian teoretis yang berat. Namun, hafalan yang kuat tidak menjadi tujuan akhir. Para kiai terus mendorong santri untuk naik ke tahap penghayatan.
Santri tidak sekadar memahami identitas pengarang, tetapi belajar kerendahan hati. Setiap bait membimbing mereka mengenali diri sebagai makhluk yang bergantung penuh kepada Allah.
Tradisi hafalan ini selaras dengan pesan Al-Qur’an:
﴿ فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ ﴾
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Perintah “ketahuilah” mengisyaratkan bahwa tauhid harus dipelajari sejak awal dengan cara yang sesuai dengan tingkat pemahaman. Karena itu, pesantren memulai dengan hafalan sebagai jalan mengenal Allah secara paling dasar.
‘Aqīdatu al-‘Awām: Kitab Ringkas dengan Pengaruh Luas
Kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām memiliki struktur yang singkat, namun para ulama memandangnya sebagai pintu masuk menuju teologi Ahlussunnah wal Jamaah. Syaikh al-Marzuqī menyusun bait-baitnya dengan ritmis sehingga mudah diingat oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Dalam salah satu penjelasan, Syaikh al-Marzuqī mengungkapkan:
“وَمَا ذَكَرْتُهُ فِيْ هَذِهِ الْمُنْظُوْمَةِ هُوَ مُخْتَصَرُ عَقِيدَةِ أَهْلِ السُّنَّةِ.”
“Apa yang dimuat dalam nazam ini merupakan ringkasan dari akidah Ahlussunnah.”
Ungkapan tersebut menegaskan tujuan kitab sebagai ringkasan yang mengarahkan santri menuju pemahaman akidah yang benar.
Banyak kiai Nusantara memegang tradisi pengajaran kitab ini karena struktur ringkasnya memungkinkan santri menghafal dalam waktu singkat. Setelah hafal, mereka perlahan diajak memahami makna setiap bait. Dengan demikian, hafalan menjadi pintu menuju penghayatan.
Hafalan sebagai Sarana Melatih Kedalaman Beragama
Hafalan dalam tradisi Islam bukan sekadar pengulangan bunyi. Hafalan mendidik konsistensi, keuletan, dan ketekunan. Ketika santri membaca bait demi bait, pengalaman spiritual turut tumbuh. Hafalan melatih fokus dan menjaga hati tetap terhubung dengan kebenaran.
Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad:
“خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ”
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Meskipun hadis tersebut berbicara tentang Al-Qur’an, tradisi ilmu di pesantren mengaitkan semangat tersebut dengan pembelajaran seluruh disiplin ilmu agama, termasuk akidah.
Santri yang terbiasa menghafal kitab aqidah akan memiliki kedisiplinan spiritual yang kuat. Mereka belajar memahami akidah tidak hanya sebagai konsep, tetapi sebagai kompas moral yang mengarahkan seluruh laku kehidupan.
Makna Tauhid dalam Bait-bait ‘Aqīdatu al-‘Awām
Kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām mengajarkan prinsip tauhid yang dikenalkan oleh para ulama Asy‘ariyah. Santri mengenal sifat-sifat wajib bagi Allah seperti Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu lil Hawadits, dan seterusnya. Setiap sifat dibaca berulang-ulang sehingga benar-benar melekat di hati.
Salah satu bait penting berbunyi:
“فَالْوُجُوْبُ لِلَّهِ اسْتَحَقَّ”
“Maka sifat wujud menjadi hak Allah secara pasti.”
Bait ini mendorong santri memahami bahwa keberadaan Allah menjadi fondasi seluruh keyakinan. Aqidah tidak berhenti pada “hafal dua puluh sifat,” tetapi meluas menjadi kesadaran bahwa seluruh alam bergantung kepada Zat yang Maha Ada.
Selain itu, Imam al-Marzuqi menegaskan:
“وَلَيْسَ لِلرَّبِّ مِثْلٌ أَبَدًا”
“Dan tidak ada bagi Tuhan sesuatu yang serupa selamanya.”
Bait tersebut menegaskan prinsip tanzih dalam akidah Asy‘ariyah: Allah suci dari segala keserupaan dengan makhluk. Santri yang memahaminya secara mendalam akan tumbuh sebagai pribadi yang rendah hati dan berhati-hati dalam beragama.
Pengajaran Kitab Akidah dalam Metode Sorogan dan Bandongan
Pesantren Nusantara memadukan dua metode utama untuk mengajarkan ‘Aqīdatu al-‘Awām: sorogan dan bandongan. Metode sorogan membuat santri membacakan hafalannya di hadapan kiai. Proses ini menuntut kesiapan mental, adab, dan ketekunan. Sedangkan bandongan memberikan ruang kepada kiai untuk membaca dan menjelaskan kandungan kitab secara rinci.
Dalam proses sorogan, santri belajar menunjukkan rasa hormat kepada guru. Pengajaran akidah tidak hanya mentransfer informasi, tetapi juga menanamkan adab yang menyertai ilmu. Sebagai contoh, Imam Nawawi dalam At-Tibyān menyampaikan:
“وَيَنْبَغِي لِلطَّالِبِ أَنْ يُصْغِيَ لِمَا يُلْقِيهِ الشَّيْخُ إِلَيْهِ إِصْغَاءَ مُتَمَامًا.”
“Seorang penuntut ilmu seharusnya mendengarkan apa yang guru sampaikan dengan pendengaran yang sempurna.”
Pesan tersebut menegaskan bahwa adab menjadi kunci keberkahan ilmu. Metode bandongan juga menjadi ajang bagi santri untuk menyaksikan bagaimana kiai menguraikan makna kitab, sekaligus meneladani karakter kiai ketika berbicara tentang akidah. Tradisi ini meneguhkan hubungan antara ilmu dan keteladanan.
Dari Hafalan Menuju Penghayatan: Transformasi Spiritual Santri
Menghafal bait-bait akidah membuka pintu bagi santri menuju penghayatan spiritual. Banyak santri mulai merasakan kedalaman makna ketika memasuki usia lebih dewasa. Bait yang dahulu hanya menjadi repetisi kini berubah menjadi pengingat teologis yang hidup.
Ketika menghafal bait:
“وَكُلُّ مَا أَتَى بِهِ الرَّسُوْلُ فَهُوَ حَقٌّ بِغَيْرِ شَكٍّ يَقُوْلُ”
“Semua yang dibawa Rasul itu benar, tanpa keraguan sedikit pun.”
Santri belajar menumbuhkan rasa percaya kepada ajaran Islam secara menyeluruh. Penghayatan seperti ini muncul perlahan, seiring kedewasaan dan pengalaman spiritual mereka.
Pengajaran akidah di pesantren sengaja dibuat bertahap agar santri dapat membangun pemahaman yang kokoh. Hafalan menjadi akar, sedangkan penghayatan menjadi batang dan cabang yang terus tumbuh sepanjang kehidupan.
Relevansi Kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām bagi Generasi Masa Kini
Di tengah arus informasi digital, banyak ide teologis beredar tanpa filter. Karena itu, kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām tetap relevan sebagai pegangan akidah yang ringkas dan amanah. Generasi muda memerlukan panduan akidah yang jelas, mudah dipahami, dan dapat dipelajari secara bertahap.
Pesantren Nusantara terus menjaga tradisi pengajaran kitab ini untuk membentengi generasi dari pemahaman yang keliru. Kiai melihat bahwa hafalan mampu membangun imunitas akidah sejak dini, sedangkan penghayatan menguatkan kedewasaan spiritual ketika dewasa.
Selain itu, kitab ini memiliki karakter yang menenangkan. Bait-baitnya mengandung doa, pujian, dan pengakuan ketuhanan yang memperkaya batin pembacanya. Nilai edukatif dan spiritual inilah yang membuat kitab ini selalu hidup sepanjang zaman.
Penutup
Tradisi mengajarkan ‘Aqīdatu al-‘Awām di pesantren Nusantara bukan hanya tentang menyimpan bait dalam kepala. Tradisi ini membangun jembatan antara hafalan dan penghayatan. Santri tumbuh bersama kitab kecil itu, mengenal Allah dengan lebih dekat, serta mengikat kesadaran tauhid dalam setiap laku kehidupan.
Hafalan melatih ketekunan, penghayatan melahirkan ketenangan. Keduanya bersatu menjadi cahaya yang menuntun perjalanan spiritual. Di tangan para kiai dan santri, kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām terus hidup sebagai warisan ilmu yang menjaga tauhid tetap bersinar dari generasi ke generasi.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
