Surau.co. Kepribadian Nabi dan Rasul selalu menjadi teladan moral bagi umat Islam. Umat mempelajari kemuliaan mereka bukan hanya sebagai bagian dari akidah, tetapi juga sebagai fondasi etika dan karakter. Karena itu, pembahasan mengenai empat sifat wajib bagi Rasul selalu relevan, terutama di zaman modern ketika karakter mudah dipoles oleh pencitraan tetapi sulit dibuktikan oleh integritas. Dalam tradisi Ahlussunnah, empat sifat ini dijelaskan secara ringkas namun kuat dalam kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām karya Syaikh Ahmad al-Marzuqī al-Mālikī, sebuah matan akidah yang diajarkan dari pesantren hingga perguruan tinggi.
Artikel ini mengajak pembaca melihat kembali makna empat sifat wajib tersebut—ṣidq, amānah, tablīgh, dan faṭānah—seraya menegaskan bahwa sifat-sifat ini bukan hanya fondasi akidah, tetapi juga nilai moral yang menuntun kehidupan sehari-hari.
Mengenal Empat Sifat Wajib Rasul dalam Perspektif Akidah
Kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām memaparkan sifat wajib Rasul dengan ungkapan singkat tetapi padat:
﴿وَوَاجِبٌ لِّلرُّسْلِ الصِّدْقُ وَالأَمَانَهْ
وَالتَّبْلِيغُ وَالْفَطَانَهْ﴾
“Dan wajib bagi para Rasul itu sifat jujur, amanah, menyampaikan, dan cerdas.”
Empat sifat ini bukan sekadar konsep teologis; sifat-sifat tersebut merupakan penggambaran karakter autentik yang memadukan integritas moral dan kecemerlangan spiritual. Ketika umat mempelajarinya, umat tidak hanya menguatkan akidah, tetapi juga menghidupkan teladan Rasul dalam kepribadian.
Selain itu, ulama menjelaskan bahwa keluhuran sifat para Rasul menjadi bukti kenabian. Imam al-Bajūrī berkata:
﴿لَوْ لَمْ يَتَّصِفِ الرَّسُولُ بِهَذِهِ الصِّفَاتِ لَمْ يَصِحَّ أَنْ يُقْتَدَى بِهِ﴾
“Seandainya seorang Rasul tidak memiliki sifat-sifat ini, niscaya tidak sah dijadikan panutan.”
Penjelasan ini menguatkan bahwa sifat-sifat tersebut bukan pilihan, tetapi keniscayaan.
Ṣidq: Kejujuran sebagai Fondasi Kepribadian Seorang Rasul
Sifat pertama yang wajib dimiliki Rasul adalah ṣidq, jujur dalam seluruh ucapan dan perbuatan. Kejujuran Nabi membentuk kepercayaan umat manusia, bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul. Di era modern yang dipenuhi retorika, manipulasi informasi, dan pencitraan, sifat ṣidq menjadi pedoman penting untuk menata kembali nilai komunikasi.
Kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām menegaskan kejujuran sebagai pondasi kerasulan. Hal ini sejalan dengan firman Allah:
﴿وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللّٰهِ قِيلًا﴾
“Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (QS. An-Nisā’: 122)
Ayat ini memberi pelajaran bahwa kebenaran adalah sifat ilahi, dan para Rasul menangkap sifat itu sebagai cermin kepribadian mereka.
Para ulama juga memperjelas kedudukan ṣidq. Imam an-Nasafī berkata:
﴿الصِّدْقُ أَصْلُ مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ﴾
“Kejujuran adalah sumber seluruh kemuliaan akhlak.”
Karena itu, umat Islam menjadikan kejujuran sebagai kunci kepercayaan sosial, penegak keadilan, dan pembangun spiritualitas.
Amānah: Integritas yang Menjaga Kepercayaan
Sifat amānah menggambarkan integritas dan keandalan Rasul dalam setiap hal yang Allah titipkan. Mereka tidak mungkin berkhianat, baik dalam urusan wahyu maupun kepemimpinan. Di dunia yang sering dikecewakan oleh penyalahgunaan kepercayaan, sifat ini memberikan inspirasi mendalam.
Allah berfirman:
﴿إِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا﴾
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian agar menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisā’: 58)
Ayat ini memerintahkan umat untuk meniru sikap para Rasul yang menjunjung amanah dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, masyarakat, hingga ibadah.
Ulama memberi penjelasan mendalam. Imam al-Ghazālī berkata:
﴿الأَمَانَةُ لَا تَقُومُ مَعَ حُبِّ الدُّنْيَا﴾
“Amanah tidak dapat berdiri bersama cinta dunia yang berlebihan.”
Penjelasan ini mengajak umat muhasabah diri: amanah menuntut hati yang bersih dari kepentingan pribadi. Dengan menghidupkan sifat ini, umat dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan saling percaya.
Tablīgh: Menyampaikan Kebenaran Tanpa Menyembunyikan Apa Pun
Sifat tablīgh berarti menyampaikan seluruh ajaran Allah secara jujur dan penuh tanggung jawab. Para Rasul tidak menyembunyikan wahyu, tidak menyelewengkan pesan, dan tidak menyampaikan sesuatu yang bukan perintah Allah. Sifat ini menjadi karakter dasar kepemimpinan spiritual.
Allah menegaskan:
﴿مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ﴾
“Tidak ada kewajiban atas Rasul selain menyampaikan.” (QS. Al-Mā’idah: 99)
Ayat tersebut menggambarkan bahwa penyampaian dakwah berdiri di atas kejelasan, bukan manipulasi. Hal ini sangat relevan hari ini, ketika informasi mudah dipelintir untuk kepentingan politik, ekonomi, atau ego pribadi.
Syaikh al-Marzuqī dalam syarah ‘Aqīdatu al-‘Awām menambahkan:
﴿وَالتَّبْلِيغُ يَسْتَلْزِمُ النُّصْحَ وَالْحِكْمَةَ﴾
“Tabligh meniscayakan nasihat yang tulus dan kebijaksanaan.”
Sifat ini menunjukkan bahwa dakwah bukan hanya kemampuan berbicara, tetapi kesungguhan dan ketulusan menyampaikan kebenaran.
Faṭānah: Kecerdasan sebagai Penyempurna Dakwah
Para Rasul memiliki kecerdasan yang sempurna. Sifat faṭānah mencakup kecerdasan intelektual, kejernihan spiritual, serta ketajaman memahami karakter manusia. Dengan kecerdasan inilah dakwah berjalan efektif dan mampu menjawab tantangan zamannya.
Dalam Al-Qur’an, Allah mengisahkan berbagai bukti kecerdasan para Nabi, termasuk kemampuan Nabi Ibrahim dalam berdialog:
﴿قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللّٰهِ وَقَدْ هَدَانِ﴾
“Ibrahim berkata: Apakah kalian hendak berdebat denganku tentang Allah, padahal Allah telah memberi petunjuk kepadaku?” (QS. Al-An‘ām: 80)
Dialog ini menunjukkan kecerdasan logis, keberanian, dan kedalaman spiritual.
Imam al-Qusyairī menjelaskan:
﴿وَالْفَطَانَةُ نُورٌ يُقَذَفُ فِي الْقَلْبِ﴾
“Fatānah adalah cahaya yang dilemparkan ke dalam hati.”
Dengan fatānah, Rasul memadukan akal sehat dan hikmah sehingga dakwah benar-benar menyentuh hati manusia.
Empat Sifat Wajib Rasul sebagai Teladan Kepribadian Umat Modern
Keempat sifat tersebut bukan hanya pondasi akidah, tetapi juga inspirasi untuk membangun pribadi dan masyarakat yang bermartabat. Kejujuran melatih transparansi, amanah membangun kepercayaan, tabligh melahirkan komunikasi yang jernih, dan fatānah memperkuat kecerdasan moral.
Dalam dunia modern, umat sering dihadapkan pada krisis karakter: hoaks merajalela, integritas melemah, dan kebaikan sering dipinggirkan. Empat sifat wajib Rasul mengajak umat kembali pada nilai kepribadian sejati.
Kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām tidak hanya mengajarkan struktur akidah, tetapi juga menggugah hati umat untuk meneladani karakter Rasul. Dengan mempelajari sifat-sifat tersebut, umat dapat membangun kembali fondasi moral yang kokoh.
Penutup
Kepribadian para Rasul adalah cahaya yang tidak pernah padam. Cahaya itu tetap bersinar ketika umat meneladani sifat jujur mereka, menjaga amanah, menyampaikan kebaikan, dan mengasah kecerdasan hati.
Empat sifat wajib ini bukan sekadar pelajaran akidah; sifat-sifat tersebut adalah penuntun perjalanan hidup yang modern sekaligus penuh tantangan. Ketika umat menegakkan kepribadian seperti para Rasul, umat sedang mengokohkan iman, merawat akhlak, dan menyalakan kembali kemuliaan yang diwariskan para Nabi.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
