Khazanah
Beranda » Berita » Mengokohkan Iman di Zaman Modern: Refleksi dari Kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām

Mengokohkan Iman di Zaman Modern: Refleksi dari Kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām

Ilustrasi seorang Muslim membaca Al-Qur’an dalam suasana malam yang tenang sebagai simbol pengokohan iman
Seorang Muslim yang sedang merenungi ayat-ayat Allah dalam suasana malam yang damai.

Surau.co. Di tengah derasnya arus informasi, perubahan sosial yang cepat, dan berbagai godaan gaya hidup modern, kebutuhan untuk mengokohkan iman semakin mendesak. Banyak orang mencari pegangan rohani yang mampu menenangkan batin sekaligus menuntun langkah di tengah dunia yang serba dinamis. Dalam sejarah keilmuan Islam, terdapat teks ringkas tetapi mendalam yang selama ratusan tahun menjadi fondasi akidah umat, yaitu ‘Aqīdatu al-‘Awām karya Syaikh Ahmad al-Marzuqī al-Mālikī. Kitab ini tidak hanya menyusun fondasi keimanan secara sederhana, tetapi juga menyampaikan adab dalam beragama, mengajak umat untuk mengenal Allah dengan cara yang benar, dan memastikan keyakinan berada pada jalur yang lurus.

Refleksi terhadap ajaran kitab ini menjadi penting untuk merawat iman di zaman modern. Selain mudah dipahami, kandungan nilai spiritualnya sangat relevan untuk membangun keteguhan hati, terutama ketika keimanan diuji oleh tantangan intelektual, sosial, dan emosional. Dengan pendekatan naratif dan gaya akademik yang ringan, pembahasan ini berusaha menghadirkan kembali spirit ‘Aqīdatu al-‘Awām dalam konteks kekinian—agar iman tidak hanya dipahami, tetapi juga dihidupkan dalam keseharian.

Fondasi Iman yang Lurus: Pelajaran Utama dari ‘Aqīdatu al-‘Awām

Pembahasan awal ‘Aqīdatu al-‘Awām menekankan pentingnya mengenal Allah secara benar. Seseorang tidak mungkin beribadah secara tepat tanpa mengenal siapa yang disembah. Maka, kitab ini memulai dengan pemaparan sifat-sifat wajib bagi Allah, seperti Maha Ada, Maha Esa, Maha Berbeda dari makhluk, dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Penegasan ini menunjukkan bahwa fondasi utama keimanan adalah kesadaran bahwa Allah berkuasa penuh atas hidup dan alam semesta. Ketika seseorang memahami hal ini, kehidupan modern yang rumit pun akan terasa lebih ringan.

Al-Qur’an mengisyaratkan hal tersebut melalui firman-Nya:

﴿ قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ * ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ﴾
“Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat bergantung segala sesuatu.”
(S.Q.al-Ikhlāṣ: 1–2)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Pesan tauhid ini sangat kuat, mengajak manusia untuk mencabut segala bentuk ketergantungan selain kepada Tuhan. Dalam konteks modern, banyak orang menggantungkan kebahagiaan pada pencapaian materi, karier, atau pengakuan sosial. Ketika hal-hal itu goyah, jiwanya ikut goyah. Namun, seseorang yang meletakkan ketergantungan hanya kepada Allah akan menemukan ketenangan yang tidak dapat direnggut oleh dunia.

Selain aspek sifat-sifat Allah, kitab ‘Aqīdatu al-‘Awām juga mengajarkan pentingnya mengimani para nabi, malaikat, kitab suci, dan hari akhir. Seseorang yang memahami ajaran ini akan memandang dunia secara lebih proporsional. Dunia menjadi ladang amal, bukan satu-satunya tujuan. Rasulullah ﷺ mengingatkan perkara ini dalam sabdanya:

« كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ »
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang pengembara.”
(HR. al-Bukhārī)

Hadits tersebut mengajak umat untuk bersikap bijak terhadap dunia: memanfaatkannya, tetapi tidak tenggelam di dalamnya. Sikap seperti ini justru mengokohkan iman karena hati tidak mudah hancur oleh perubahan zaman.

Menjaga Kesucian Niat dalam Beragama

Salah satu pesan tersembunyi dari ‘Aqīdatu al-‘Awām adalah pentingnya menjaga niat dalam beragama. Ketika seseorang belajar tentang iman, ia tidak hanya memperkaya pikiran, tetapi juga menyucikan hati. Niat yang lurus menjadi fondasi agar ibadah terasa hidup dan menghadirkan kedekatan kepada Allah. Seseorang yang belajar akidah dengan tujuan memperbaiki diri akan menemukan ketenangan dalam pengetahuan itu.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Kesucian niat ini ditekankan dalam hadis Nabi ﷺ:

« إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ »
“Sesungguhnya amal tergantung pada niatnya.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Dalam konteks modern, menjaga ketulusan menjadi tantangan yang besar. Banyak aktivitas dilakukan demi citra, pujian, atau keuntungan tertentu. Bahkan ibadah pun terkadang dipengaruhi keinginan untuk tampil sempurna di hadapan manusia. ‘Aqīdatu al-‘Awām mengajak umat untuk kembali pada ruh agama: mengutamakan cinta kepada Allah, kerendahan hati, dan upaya yang tulus untuk mendekat kepada-Nya. Dengan demikian, iman tidak hanya melekat di lisan, tetapi juga meresap dalam hati.

Sejumlah ulama klasik menekankan hal ini. Imam al-Ghazālī menyampaikan bahwa amalan yang bercampur dengan riya akan kehilangan cahaya. Dalam salah satu nasihatnya disebutkan:

« مَا خَلَصَ لِلَّهِ يَبْقَى »
“Segala sesuatu yang dilakukan dengan tulus karena Allah akan tetap bertahan.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Pesan ini sangat relevan di tengah dunia yang serba terang-benderang oleh media sosial. Ketulusan menjadi kunci kokohnya iman yang tidak goyah oleh penilaian manusia.

Menguatkan Identitas Spiritual di Tengah Tantangan Zaman

Salah satu kekhasan ‘Aqīdatu al-‘Awām adalah penyampaiannya yang ringkas, ritmis, dan mudah dihafal. Hal ini menjadikannya populer sebagai pembelajaran awal akidah bagi anak-anak di berbagai pesantren. Selain memudahkan hafalan, bentuk nazam tersebut juga menanamkan identitas spiritual sejak dini. Seseorang yang tumbuh dengan hafalan akidah dasar akan memiliki pegangan kuat ketika menghadapi dinamika hidup.

Dalam kehidupan modern, banyak orang kehilangan arah karena tidak memiliki fondasi spiritual yang kokoh. Tantangan intelektual seperti skeptisisme, relativisme, dan materialisme sering menggerus keyakinan. Tantangan emosional seperti rasa cemas, kehilangan, dan tekanan sosial pun melahirkan kegelisahan. Di tengah kondisi itu, pembelajaran akidah menjadi benteng ketenangan.

Al-Qur’an memberikan gambaran indah tentang ketenangan bagi orang beriman:

﴿ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ ﴾
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(S.Q. ar-Ra‘d: 28)

Ketika seseorang menyadari bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengatur segala sesuatu, kecemasan pun perlahan mencair. ‘Aqīdatu al-‘Awām hadir sebagai penguatan mental dan spiritual, mengingatkan bahwa hidup berada dalam genggaman Tuhan Yang Maha Pengasih.

Menghidupkan Ilmu dengan Amal: Pesan Abadi dari ‘Aqīdatu al-‘Awām

Pembelajaran akidah tidak berhenti pada pemahaman semata. Syaikh Ahmad al-Marzuqī, melalui penyusunan nazam ini, ingin membangkitkan kesadaran bahwa keimanan harus melahirkan tindakan nyata. Semakin kuat akidah seseorang, semakin kuat pula dorongan untuk berbuat kebaikan. Keyakinan kepada Allah dan Hari Akhir menjadi pendorong utama untuk hidup secara bermartabat dan penuh tanggung jawab.

Dalam konteks modern, amal yang lahir dari iman menjadi sangat penting. Dunia yang penuh persaingan menuntut kejujuran, keadilan, dan kepedulian sosial. Nilai-nilai ini tidak mungkin bertahan tanpa fondasi iman. Ketika iman kokoh, seseorang akan menjadikan hidup sebagai perjalanan menuju keridaan Allah. Sikap seperti ini melahirkan integritas moral yang berharga bagi masyarakat modern.

Rasulullah ﷺ mengingatkan:

« أَفْضَلُ الْإِيمَانِ أَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ »
“Iman yang paling sempurna adalah mencintai untuk sesama apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri.”
(HR. at-Tirmiżī)

Hadits tersebut membuktikan bahwa iman sejati selalu bergerak—bukan diam. ‘Aqīdatu al-‘Awām menjadi panduan awal agar iman terus hidup dan berbuah.

Penutup

Refleksi terhadap ‘Aqīdatu al-‘Awām memberi pesan bahwa keimanan bukan sekadar hafalan, tetapi perjalanan batin yang melibatkan hati dan pikiran. Di zaman modern yang dipenuhi hiruk-pikuk, iman menjadi rumah bagi jiwa, tempat seseorang kembali ketika dunia terlalu bising. Kitab ringkas ini mengajak umat untuk mengenal Allah dengan benar, menjaga niat dengan tulus, dan menapaki hidup dengan keyakinan yang bersandar pada kekuatan Ilahi.

Semoga setiap orang yang membaca kembali ajaran-ajaran dasar akidah menemukan ketenangan, keberanian, dan kebijaksanaan untuk menghadapi hidup. Iman bukan sekadar kata-kata—iman adalah cahaya yang menguatkan langkah menuju kebahagiaan hakiki.

*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement