Surau.co. Menafsirkan Al-Qur’an termasuk amal ilmiah yang sangat mulia, sekaligus sangat berbahaya jika dilakukan tanpa ilmu yang memadai. Banyak ulama menekankan bahwa kesalahan dalam menafsirkan ayat bisa berdampak besar pada kehidupan umat. Karena itu, pembahasan mengenai tafsir Al-Qur’an yang amanah menjadi penting untuk diulang dan ditekankan, terutama di era ketika pendapat bisa tersebar bebas hanya dalam hitungan detik. Kitab At-Tibyān fī Ādābi Ḥamalati al-Qur’ān karya Imam Nawawi menjadi salah satu rujukan utama yang menjelaskan pentingnya kehati-hatian dalam memahami ayat-ayat Allah.
Dalam kitab tersebut, Imam Nawawi memotret adab dan syarat moral intelektual seorang muslim ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an. Pembahasan mengenai larangan menafsirkan tanpa ilmu muncul berulang, disertai penjelasan mendasar tentang siapa yang layak berbicara mengenai makna ayat dan siapa yang harus diam. Oleh karena itu, artikel ini menghadirkan penjelasan akademik-populer tentang bagaimana Imam Nawawi menggambarkan tafsir Al-Qur’an yang amanah, sekaligus mengapa membaca tanpa ilmu dapat menjerumuskan seseorang pada kekeliruan yang serius.
Bahaya Menafsirkan Al-Qur’an Tanpa Dasar Ilmu
Pembahasan mengenai larangan menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu bukan sekadar imbauan moral, tetapi prinsip agama. Dalam salah satu hadits, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
«مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Barang siapa berbicara tentang Al-Qur’an berdasarkan pendapatnya sendiri, maka bersiaplah mengambil tempat di neraka.”
Hadits ini menunjukkan betapa berbahayanya memberi makna terhadap firman Allah berdasarkan dugaan pribadi. Bahayanya bukan hanya pada kesalahan makna, tetapi juga pada munculnya keyakinan keliru yang bisa menyebar kepada masyarakat luas. Karena itu, para ulama selalu menempatkan tafsir sebagai bidang ilmu yang memerlukan syarat berlapis dan kedalaman pemahaman.
Al-Qur’an sendiri sudah menegaskan pentingnya sikap hati-hati ketika mendengar atau membaca kalam Ilahi. Allah berfirman :
﴿فَاسْـَٔلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾
“Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.”(QS. An-Nahl: 43)
Ayat ini tidak hanya menunjukkan keharusan bertanya, tetapi juga menegaskan bahwa tidak semua orang dapat memberikan penjelasan mengenai ayat Al-Qur’an. Kejelasan struktur ini membangun tradisi keilmuan Islam yang menempatkan otoritas pada ahli, bukan pada yang berani tampil.
Pandangan Imam Nawawi tentang Larangan Menafsirkan Tanpa Ilmu
Imam Nawawi memberikan penjelasan tegas mengenai adab menafsirkan Al-Qur’an. Dalam At-Tibyān, beliau berkata:
«وَأَمَّا التَّفَسُّرُ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَمُحَرَّمٌ، لِأَنَّهُ يُوقِعُ فِي الْغَلَطِ وَالْإِلْحَادِ»
“Adapun menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu, hukumnya haram, karena dapat menjerumuskan pada kesalahan dan penyimpangan.”
Penjelasan ini memperlihatkan tekad Imam Nawawi untuk menjaga kemurnian proses penafsiran. Menurutnya, penyimpangan makna bukan hanya kesalahan akademik, tetapi juga termasuk bentuk ilhad, yakni penyimpangan yang mengarah pada kerusakan pemahaman agama.
Imam Nawawi juga menekankan bahwa orang yang ingin berbicara tentang tafsir harus memiliki kompetensi bahasa Arab, memahami sebab turunnya ayat, menguasai nasikh-mansukh, serta memahami metode para mufasir terdahulu. Artinya, tanggung jawab ilmiah seorang mufasir tidak boleh dibangun di atas retorika spontan atau bacaan sekilas.
Tafsir yang Amanah: Meneruskan Tradisi Ilmu Para Ulama
Tafsir yang amanah bukan hanya soal kemampuan menganalisis ayat, tetapi kemampuan merendahkan hati di hadapan teks suci. Ulama besar seperti Al-Qurtubi pernah berpesan:
«لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَتَعَرَّضَ لِمَعَانِي الْقُرْآنِ دُونَ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ»
“Tidak halal bagi siapa pun berbicara tentang makna Al-Qur’an kecuali yang termasuk ahli ilmu.”
Pesan ini menegaskan bahwa adab ilmiah adalah pondasi. Tradisi tafsir para ulama tidak pernah dibangun dengan asumsi pribadi, melainkan melalui metode yang teruji. Bahkan ketika seorang ulama menjelaskan ayat, mereka tetap merujuk pada tafsir sebelumnya, karena memahami bahwa akal manusia bersifat terbatas.
Tafsir al-Qur’an yang amanah juga memerlukan kemampuan membaca konteks ayat. Setiap ayat memiliki relasi dengan ayat lain, dan sebuah makna tidak bisa dilepaskan dari keseluruhan struktur wahyu. Para mufasir seperti Ibn Kathir, Al-Baghawi, dan Al-Tabari selalu memulai tafsir dengan penjelasan Al-Qur’an oleh Al-Qur’an, kemudian hadits Nabi, lalu pendapat sahabat dan tabiin.
Bahaya Mengandalkan Pendapat Pribadi dalam Memahami Ayat
Ketika seseorang tidak memiliki ilmu yang memadai, pendapat pribadi sering menjadi dasar penafsiran. Pendapat seperti ini mudah dipengaruhi oleh emosi, kondisi sosial, dan bias tertentu. Karena itu, para ulama menyebutnya sebagai bentuk penafsiran yang berbahaya. Imam Nawawi menyebutkan:
«وَلَا يَجُوزُ التَّفَسُّرُ بِالظَّنِّ وَالْهَوَى»
“Tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an dengan prasangka dan hawa nafsu.”
Larangan ini muncul bukan untuk menghambat kreativitas berpikir, tetapi untuk menjaga keutuhan makna Al-Qur’an yang telah dijaga oleh para ulama sejak berabad-abad. Menafsirkan dengan dasar hawa nafsu juga dapat merusak struktur hukum Islam dan menyebabkan umat terjebak pada pemahaman keliru.
Dalam konteks kekinian, fenomena ini semakin mudah muncul. Siapa pun bisa memposting “tafsir”-nya di media sosial tanpa proses verifikasi. Karena itu, pembahasan mengenai adab menafsirkan Al-Qur’an menjadi semakin relevan sebagai pedoman umat.
Syarat-Syarat Ilmiah Seorang Mufasir
Para ulama menyebutkan beberapa syarat dasar untuk menjadi mufasir, antara lain:
- Menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya.
- Mengetahui sebab turunnya ayat (asbābun nuzūl).
- Menguasai balaghah, nahwu, sharaf, dan ushul fikih.
- Mengetahui ayat-ayat nasikh-mansukh.
- Memahami tafsir para sahabat dan tabiin.
Syarat ini menunjukkan bahwa proses menafsirkan ayat bukanlah pekerjaan yang ringan. Bahkan ulama sekaliber Imam Malik sangat berhati-hati ketika ditanya mengenai makna ayat. Ketika seseorang bertanya kepadanya tentang sebuah ayat, Imam Malik berkata:
«لَا أَدْرِي، وَمَنْ يَعْلَمُ مَعَانِي كِتَابِ اللَّهِ؟»
“Aku tidak tahu. Siapa yang benar-benar mengetahui makna Kitab Allah?”
Perkataan tegas ini menunjukkan kerendahan hati para ulama dalam menghadapi ayat Al-Qur’an. Sikap ini menjadi teladan bagi generasi setelahnya, bahwa mengakui ketidaktahuan lebih aman daripada berbicara tanpa ilmu.
Menghidupkan Adab Ilmiah dalam Tradisi Keislaman Modern
Zaman modern menghadirkan banyak kemudahan sekaligus banyak potensi kesalahan. Informasi mengalir deras, dan keberanian berbicara sering kali mendahului proses belajar. Karena itu, adab ilmiah harus terus dihidupkan. Tradisi tafsir tidak hanya berisi pengetahuan, tetapi juga etika.
Seseorang yang ingin menyampaikan makna ayat harus memastikan bahwa penjelasannya bersandar pada otoritas ulama, bukan berdasarkan penilaian spontan. Dengan cara ini, umat dapat terhindar dari kesimpulan keliru yang bisa membingungkan banyak orang.
Selain itu, generasi muslim perlu membiasakan diri merujuk kepada ulama ahli tafsir, bukan pada sumber-sumber yang tidak jelas sanad ilmiahnya. Menghidupkan kembali adab ilmiah merupakan bagian dari amanah menjaga Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi.
Penutup
Tafsir bukan pekerjaan yang bertumpu pada keberanian, tetapi pada ketundukan ilmu. Para ulama telah menunjukkan bahwa memahami ayat memerlukan perjalanan panjang, bahkan dalam satu kata dari Kitab Allah. Dalam setiap upaya memahami wahyu, seorang muslim perlu merendahkan hati dan menghormati tradisi ilmu yang diwariskan berabad-abad.
Karena itu, ketika membuka mushaf, seseorang tidak hanya membaca huruf-hurufnya, tetapi juga membuka pintu menuju perbendaharaan makna yang sangat dalam. Tafsir yang amanah lahir dari ketekunan belajar dan ketulusan menjaga agama, bukan dari pendapat yang muncul seketika.
Semoga umat semakin berhati-hati, semakin tunduk, dan semakin cinta kepada Al-Qur’an. Sebab setiap makna yang benar akan menumbuhkan cahaya dalam hati, sedangkan setiap makna yang keliru akan menambah kegelapan. Dan cahaya itu hanya lahir dari ilmu yang jujur, bukan dari tafsir tanpa dasar.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
