Khazanah
Beranda » Berita » Bahaya Menjadikan Al-Qur’an sebagai Alat untuk Duniawi, serta Pentingnya Menjaga Kesucian Niat Menurut Kitab At-Tibyān

Bahaya Menjadikan Al-Qur’an sebagai Alat untuk Duniawi, serta Pentingnya Menjaga Kesucian Niat Menurut Kitab At-Tibyān

Ilustrasi bahaya menjadikan Al-Qur’an sebagai alat duniawi dan pentingnya menjaga niat.
Ilustrasi realistik-nyeni: seorang pembaca Al-Qur’an duduk dalam ruangan remang, dua cahaya berbeda menyinari wajahnya—cahaya emas yang suci dari mushaf dan cahaya kebiruan dari simbol duniawi seperti tumpukan koin atau layar gadget. Kontras ini menggambarkan pergulatan niat antara ridha Allah dan ambisi dunia.

Surau.co. Dalam tradisi keilmuan Islam, pembahasan tentang adab mempelajari Al-Qur’an selalu menempati posisi terhormat. Hal itu terjadi karena Al-Qur’an bukan hanya kitab yang memuat petunjuk, tetapi juga amanah besar yang membawa konsekuensi dunia dan akhirat. Ketika seseorang menjadikan Al-Qur’an sebagai alat untuk meraih kepentingan duniawi, proses belajar yang semestinya suci dapat berubah menjadi sumber kerusakan batin. Imam an-Nawawi melalui At-Tibyān fī Ādābi Ḥamalati al-Qur’ān menyoroti bahaya menjadikan Al-Qur’an sebagai alat duniawi tersebut dengan tegas, sekaligus memberikan panduan agar niat tetap bersih. Artikel ini menghadirkan refleksi mengenai bahaya menjadikan Al-Qur’an sebagai alat untuk kepentingan duniawi dan pentingnya menjaga niat dalam setiap langkah mempelajarinya.

Al-Qur’an sebagai Amanah: Mengapa Niat Menjadi Pondasi Utama

Ketika seseorang memulai perjalanan mempelajari Al-Qur’an, langkah pertama yang harus dijaga adalah niat. Al-Qur’an bukan sekadar teks yang bisa diperlakukan seperti buku bacaan biasa. Al-Qur’an adalah firman Allah yang menghidupkan hati, membentuk karakter, dan mengarahkan manusia menuju jalan lurus. Karena itu, siapa pun yang mendekati Al-Qur’an harus menjaga kebeningan hatinya agar tujuannya tidak berubah menjadi ambisi dunia semata.

Allah berfirman:

﴿ إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ ﴾
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus.” (QS. Al-Isrā’: 9)

Ayat ini memperlihatkan bahwa Al-Qur’an memiliki orientasi ukhrawi yang kuat. Ketika Al-Qur’an dijadikan alat untuk memperoleh pujian, jabatan, popularitas, atau keuntungan material, orientasi itu berubah arah dan hati kehilangan kelurusan yang seharusnya dijaga.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Para ulama sejak dahulu selalu mewanti-wanti tentang pentingnya menjaga niat. Sufyan ats-Tsauri pernah berkata:

“مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي”
“Tidak ada sesuatu yang aku hadapi lebih berat daripada menjaga niatku.”

Ungkapan ini menunjukkan bahwa menjaga niat dalam mempelajari Al-Qur’an bukan perkara ringan. Bahkan para ulama besar menghadapi pergolakan batin agar tujuan mereka selalu diarahkan kepada Allah, bukan kepada keuntungan dunia.

Peringatan Kitab At-Tibyān tentang Pengajaran Al-Qur’an demi Kepentingan Duniawi

Dalam At-Tibyān, Imam an-Nawawi mengingatkan para pembaca bahwa siapa pun yang belajar atau mengajar Al-Qur’an harus menghindari niat buruk seperti mencari ketenaran, mengejar kekuasaan, atau meningkatkan status sosial. Menurut penjelasan beliau, mempelajari Al-Qur’an dengan niat duniawi menjadi sumber kegelapan batin yang menghalangi seseorang dari keberkahan ilmu.

Imam an-Nawawi menguraikan bahwa mengajarkan Al-Qur’an adalah ibadah besar. Karena itu, tujuan yang tidak murni akan merusak pahala ibadah tersebut. Beliau menegaskan bahwa seseorang yang memanfaatkan Al-Qur’an sebagai tangga dunia sebenarnya sedang merendahkan kemuliaan wahyu. Ringkasan makna At-Tibyān menyebutkan bahwa orang yang mempelajari Al-Qur’an harus “membersihkan niat dari tujuan dunia dan memfokuskan diri pada pencarian ridha Allah.”

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Dengan pesan tegas tersebut, At-Tibyān mengajak para murid dan guru Al-Qur’an untuk mengembalikan proses belajar kepada kemuliaan spiritual, bukan pada pencapaian material. Pesan ini menjadi sangat relevan di era sekarang, ketika prestise dan popularitas seringkali lebih dihargai daripada keikhlasan.

Ketika Al-Qur’an Dijadikan Komoditas: Bahaya Spiritual yang Mengintai

Kerusakan yang muncul akibat menjadikan Al-Qur’an sebagai alat duniawi tidak hanya terlihat dari hilangnya keikhlasan, tetapi juga dari runtuhnya penghormatan terhadap wahyu. Seseorang yang mempelajari Al-Qur’an demi mendapatkan keuntungan dunia biasanya menjadi lebih sibuk mengejar citra pribadi dibanding memperbaiki akhlak dan memperdalam pengamalan.

Hadis Nabi Muhammad ﷺ menjadi peringatan yang sangat keras:

« مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ »
“Barangsiapa mempelajari ilmu yang seharusnya bertujuan untuk mencari wajah Allah, tetapi dipelajari demi memperoleh dunia, maka orang itu tidak akan mencium harumnya surga.” (HR. Abu Dawud)

Hadis ini memperlihatkan betapa besar ancaman bagi orang yang menjadikan ilmu agama, termasuk Al-Qur’an, sebagai alat mencari dunia. Ancaman tersebut mendidik umat agar berhati-hati menjaga hati dalam setiap proses mempelajari wahyu.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Ketika seseorang menjadikan Al-Qur’an sebagai alat mencapai status, maka Al-Qur’an tidak lagi menuntun hatinya. Sebaliknya, hawa nafsu yang memimpin, sementara Al-Qur’an hanya dijadikan simbol untuk kepentingan pribadi.

Menjaga Kesucian Niat: Pelajaran Penting dari Para Ulama

Ulama sejak generasi awal selalu menekankan bahwa keikhlasan menjadi ruh dari setiap amal. Tanpa keikhlasan, ilmu justru menjadi beban. Bahkan seorang ulama besar, Imam Al-Ghazali, menjelaskan bahwa ilmu tanpa niat yang benar dapat menyeret seseorang ke jurang kehancuran spiritual.

Imam Al-Ghazali mengungkapkan:

“العِلْمُ بِغَيْرِ الإِخْلَاصِ لَا يُنِيرُ القَلْبَ”
“Ilmu tanpa keikhlasan tidak akan menerangi hati.”

Pesan ini sangat sejalan dengan ajaran yang disampaikan dalam At-Tibyān. Kehadiran niat yang bersih menjadi penentu apakah ilmu membawa cahaya atau malah menambah gelapnya hati. Ketika seseorang menjaga niat, setiap huruf yang dipelajari menjadi cahaya yang melembutkan jiwa dan mendekatkan dirinya kepada Allah.

Para ulama bahkan sering mengulang nasihat agar seseorang melakukan muhasabah sebelum memulai belajar. Muhasabah membantu murid menyadari tujuan sejatinya dan mengarahkan kembali hatinya kepada Allah ketika muncul godaan dunia.

Menghidupkan Keikhlasan dalam Proses Belajar Al-Qur’an

Salah satu cara menjaga niat adalah menghidupkan rasa takut kehilangan keberkahan Al-Qur’an dan berharap agar Allah memberikan taufik. Para ulama menyebutkan bahwa orang yang memulai pembelajaran dengan niat yang kotor akan kehilangan dua hal: manfaat ilmu dan ketenangan hati.

Al-Qur’an memberikan gambaran penting tentang betapa besar keikhlasan dalam ibadah. Allah berfirman:

﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ﴾
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Ayat ini mengajarkan bahwa seluruh ibadah, termasuk membaca dan menghafal Al-Qur’an, harus berdiri di atas landasan keikhlasan. Tanpa itu, seseorang hanya mendapatkan kesibukan fisik tanpa memperoleh cahaya ruhani.

Maka proses belajar Al-Qur’an tidak boleh hanya mengejar capaian lahir seperti banyak hafalan, suara indah, atau kemampuan tilawah. Semua prestasi lahir itu tidak berarti apa-apa jika hati jauh dari kesucian.

Etika Pengajar Al-Qur’an: Memberikan Ilmu sebagai Amanah, Bukan Komoditas

Guru yang mengajarkan Al-Qur’an memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga niat dan menjauhi orientasi duniawi. At-Tibyān menekankan bahwa seorang pengajar tidak boleh memperjualbelikan ilmu, memamerkan kemampuannya, atau mengubah pengajaran menjadi ajang mencari pamor.

Hadis Nabi ﷺ menegaskan:

« أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ »
“Manusia yang paling berat azabnya pada hari kiamat adalah orang berilmu yang ilmunya tidak memberi manfaat baginya.” (HR. Thabrani)

Guru Al-Qur’an harus menjadi teladan dalam menjaga niat. Ketika guru tulus mengajar karena Allah, murid pun akan mendapatkan keberkahan dan ketenangan dalam belajar. Sebaliknya, jika guru menjadikan Al-Qur’an sebagai komoditas, murid kehilangan teladan, dan ilmu berubah menjadi rutinitas kosong.

Penutup

Pada akhirnya, bahaya menjadikan Al-Qur’an sebagai alat duniawi bukan hanya persoalan moral, tetapi juga ancaman bagi kebersihan hati. Al-Qur’an adalah cahaya yang tidak akan menyatu dengan hati yang condong pada dunia. Cahaya itu turun pada hati yang tunduk, bersih, dan penuh penghormatan kepada wahyu.

Kesucian niat menjadi pintu keberkahan ilmu. Dengan hati yang tulus, setiap huruf yang dibaca menjadi doa, setiap ayat yang dihafal menjadi penuntun, dan setiap sesi belajar menjadi perjalanan mendekatkan diri kepada Allah. Semoga generasi hari ini merawat niat yang lurus dalam belajar Al-Qur’an, sehingga cahaya wahyu benar-benar menerangi kehidupan, bukan sekadar menjadi simbol tanpa makna.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement