- Landasan Qur’ani tentang Adab Mendengarkan Bacaan Al-Qur’an
- Dimensi Spiritual dari Mendengarkan Bacaan Al-Qur’an
- Anjuran Diam sebagai Bentuk Memuliakan Kalamullah
- Menghindari Gangguan sebagai Bentuk Penghormatan
- Adab Mendengarkan Bacaan Al-Qur’an dalam Majelis
- Menjawab Bacaan dengan Dzikir yang Dianjurkan
- Mendengarkan dengan Tadabbur: Mengaktifkan Dimensi Makna
- Mendengarkan dengan Kerendahan Hati dan Keinginan untuk Berubah
- Diam sebagai Penyucian Jiwa dalam Tradisi Ulama
- Keheningan yang Menghidupkan Spiritualitas Majelis
- Penutup
Surau.co. Diam saat mendengarkan bacaan Al-Qur’an sebenarnya tidak hanya menggambarkan tindakan pasif; justru, seorang muslim aktif menjalankan ibadah yang memiliki kedudukan tinggi dalam tradisi Islam ketika ia memilih untuk diam dengan adab. Para ulama menegaskan bahwa siapa pun yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan penuh penghormatan akan membuka pintu ketenangan batin, memperkuat keimanan, serta menumbuhkan rasa hormat kepada Kalamullah. Dalam At-Tibyān fī Ādābi Ḥamalati al-Qur’ān, Imam an-Nawawi menguraikan bahwa mendengarkan Al-Qur’an dengan adab merupakan bagian penting dari akhlak ilmiah yang setiap muslim harus jaga.
Oleh karena itu, artikel populer ini berupaya mengajak pembaca memahami secara lebih mendalam makna diam yang bernilai ibadah tersebut. Selain itu, pembahasan ini sekaligus menggambarkan bagaimana pengalaman mendengarkan Al-Qur’an dapat melembutkan hati. Dengan demikian, literasi Qur’ani masyarakat dapat meningkat, serta sikap santun dan khusyuk lebih mudah tumbuh ketika ayat-ayat suci dilantunkan.
Landasan Qur’ani tentang Adab Mendengarkan Bacaan Al-Qur’an
Untuk memulai pembahasan, Allah memberikan pedoman tegas tentang adab mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Dalam firman-Nya disebutkan:
“وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ”
“Apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dengan seksama dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. Al-A‘rāf: 204)
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa seorang muslim harus mendengarkan bacaan Al-Qur’an secara aktif dengan penuh perhatian. Para mufassir menafsirkan frasa “فَاسْتَمِعُوا لَهُ” sebagai kewajiban untuk mengarahkan pendengaran dengan sungguh-sungguh, sedangkan “وَأَنْصِتُوا” berarti kewajiban untuk diam total tanpa mengeluarkan gangguan sekecil apa pun.
Imam an-Nawawi menjadikan ayat tersebut sebagai pijakan dasar dalam At-Tibyān. Beliau menyampaikan:
“وَيَنْبَغِي لِمَنْ حَضَرَ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ أَنْ يَنْصِتَ إِنْصَاتًا تَامًّا وَيَسْتَمِعَ لَهُ بِخُشُوعٍ”
“Setiap orang yang menghadiri bacaan Al-Qur’an sepatutnya diam dengan sempurna dan mendengarkannya dengan penuh khusyuk.”
Dengan demikian, adab mendengarkan bukan hanya soal “diam”, tetapi juga soal menghadirkan hati, menundukkan jiwa, serta mengarahkan perhatian sepenuhnya kepada ayat.
Dimensi Spiritual dari Mendengarkan Bacaan Al-Qur’an
Selanjutnya, para ulama menjelaskan bahwa mendengarkan Al-Qur’an tidak berhenti pada aspek hukum. Lebih dari itu, aktivitas ini membawa dampak spiritual mendalam. Allah berfirman:
“وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَىٰ أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ”
“Ketika mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau melihat mata mereka mencucurkan air mata.” (QS. Al-Mā’idah: 83)Baca juga: Sikap yang Benar Terhadap Musibah
Ayat ini menggambarkan secara nyata bagaimana Al-Qur’an mampu mengetuk perasaan seorang mukmin. Karena itu, banyak ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa siapa pun yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan tenang berpeluang mengalami perubahan batin yang mendalam.
Anjuran Diam sebagai Bentuk Memuliakan Kalamullah
Kemudian, diam dalam konteks Qur’ani bukan hanya penanda ketenangan, melainkan bentuk penghormatan yang aktif kepada Kalamullah. Imam an-Nawawi menegaskan:
“وَتَرْكُ الْحَدِيثِ عِنْدَ سَمَاعِ الْقُرْآنِ مِنْ أَعْظَمِ الْآدَابِ”
“Menghentikan pembicaraan ketika mendengarkan Al-Qur’an termasuk adab terbesar.”
Dengan penegasan tersebut, beliau mengajak umat muslim menghentikan segala bentuk aktivitas verbal yang dapat mengurangi penghormatan kepada bacaan Al-Qur’an. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal menambahkan:
“يَجِبُ السُّكُوتُ عِنْدَ القِرَاءَةِ”
“Wajib untuk diam saat bacaan Al-Qur’an terdengar.”
Karena itu, umat muslim hendaknya secara sadar menjaga suasana ketika bacaan Al-Qur’an dilantunkan.
Menghindari Gangguan sebagai Bentuk Penghormatan
Selain diam, seseorang juga harus menghindari gangguan apa pun. Imam an-Nawawi menerangkan:
“لَا يَلْعَبُ وَلَا يَلْتَفِتُ وَلَا يَعْبَثُ فِي حَالِ الْقِرَاءَةِ”
“Tidak boleh bermain, menoleh, atau berbuat sia-sia ketika mendengar bacaan Al-Qur’an.”
Dengan kata lain, pendengar harus benar-benar menjaga keseriusan. Ketika suasana bersih dari gangguan, setiap lafaz Al-Qur’an dapat menembus hati dengan lebih lembut.
Adab Mendengarkan Bacaan Al-Qur’an dalam Majelis
Dalam konteks majelis, adab pendengar menjadi lebih besar tanggung jawabnya. Para ulama menekankan bahwa peserta majelis harus menghadirkan pandangan dan hati sepenuhnya kepada bacaan. Imam an-Nawawi berkata:
“وَيَنْبَغِي أَنْ يَحْضُرَ بِقَلْبِهِ كَمَا يَحْضُرُ بِسَمْعِهِ”
“Seseorang sepatutnya menghadirkan hatinya sebagaimana menghadirkan pendengarannya.”
Artinya, mendengarkan Al-Qur’an tidak hanya mengaktifkan indra telinga, tetapi juga seluruh kesadaran batin.
Menjawab Bacaan dengan Dzikir yang Dianjurkan
Pada momen tertentu, pendengar justru dianjurkan memberi respons dzikir yang sesuai, seperti membaca subḥānallāh, lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh, atau mengucapkan amin setelah imam membaca doa. Imam an-Nawawi menyatakan:
“وَيُسْتَحَبُّ التَّأْمِينُ وَالتَّسْبِيحُ عِنْدَ مَوَاضِعِهِ”
“Disunnahkan mengucapkan amin dan tasbih pada tempat-tempat yang sesuai.”
Respon ini menunjukkan bahwa diam bukan pasif; sebaliknya, pendengar ikut terlibat secara spiritual.
Mendengarkan dengan Tadabbur: Mengaktifkan Dimensi Makna
Selanjutnya, diam yang bernilai ibadah harus berkembang menjadi tadabbur. Allah berfirman:
“أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ”
“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an?” (QS. Muhammad: 24)
Dengan demikian, pendengar harus berusaha memahami pesan ayat, lalu menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari.
Mendengarkan dengan Kerendahan Hati dan Keinginan untuk Berubah
Para ulama sufi juga menjelaskan bahwa mendengarkan Al-Qur’an menuntut kerendahan hati. Mereka berkata:
“لَا يَسْمَعُ الْقُرْآنَ حَقَّ سَمَاعِهِ إِلَّا مَنْ طَهُرَ قَلْبُهُ”
“Tidak ada yang mampu mendengarkan Al-Qur’an dengan sebenarnya kecuali orang yang hatinya bersih.”
Kerendahan hati inilah yang membuka pintu perubahan batin.
Diam sebagai Penyucian Jiwa dalam Tradisi Ulama
Selain itu, keheningan saat mendengarkan Al-Qur’an berfungsi sebagai sarana penyucian jiwa. Imam al-Ghazali mengingatkan:
“الصَّمْتُ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الْعِبَادَةِ، لَا يُفْتَحُ إِلَّا بِالْقُرْآنِ”
“Diam merupakan salah satu pintu ibadah yang tidak terbuka kecuali melalui Al-Qur’an.”
Dengan demikian, seseorang yang menjaga lisannya saat mendengar Al-Qur’an sebenarnya sedang menjalankan dua ibadah sekaligus: menjaga lisan dan mendengarkan ayat Allah.
Keheningan yang Menghidupkan Spiritualitas Majelis
Tidak mengherankan jika banyak pesantren dan majelis taklim menjaga suasana tenang ketika bacaan Al-Qur’an dilantunkan. Keheningan justru menghidupkan spiritualitas majelis. Ketika ayat-ayat menggema tanpa gangguan, jiwa lebih mudah merasakan kedekatan dengan Allah.
Penutup
Kesimpulannya, diam saat mendengarkan Al-Qur’an merupakan ibadah yang menggabungkan penghormatan, kekhusyukan, dan kerendahan hati. Dalam suasana hening itulah ayat-ayat Qur’an bekerja menembus jiwa. Setiap lantunan menjadi pengingat bahwa manusia membutuhkan bimbingan Ilahi dalam setiap langkah.
Semoga keheningan yang kita jaga ketika ayat dibacakan selalu menjadi cahaya yang menerangi hati, menenangkan pikiran, dan menuntun hidup menuju jalan yang lebih bersih.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
