Suaru.co. Hubungan antara guru dan murid dalam belajar Al-Qur’an selalu menjadi fondasi utama dalam tradisi keilmuan Islam. Relasi ini bukan hanya tentang proses transfer ilmu, tetapi juga tentang membangun adab, menumbuhkan rasa hormat, dan menjaga keberkahan ilmu. Pembahasan ini hadir sebagai refleksi yang bersumber dari At-Tibyān fī Ādābi Ḥamalati al-Qur’ān karya Imam an-Nawawi, dilengkapi ayat Al-Qur’an dan hadis yang memperkuat urgensinya. Artikel ini mengalir dengan gaya akademik-populer, namun tetap memegang nilai adab dan spiritualitas yang menjadi inti dari belajar Al-Qur’an.
Fondasi Relasi Guru dan Murid dalam Tradisi Qur’ani
Dalam tradisi keilmuan Islam, relasi guru dan murid dipandang sebagai hubungan spiritual, intelektual, sekaligus moral. Seorang murid tidak hanya mengejar kemampuan membaca dan memahami Al-Qur’an, tetapi juga menapaki jalan adab yang mengantarkan pada keberkahan. Karena itu, para ulama selalu menekankan bahwa adab mendahului ilmu. Belajar Al-Qur’an bukan sekadar menambah hafalan, melainkan memperhalus hati dan membentuk karakter yang bersandar pada tuntunan wahyu.
Al-Qur’an sendiri menegaskan kedudukan para pengajar dan pencari ilmu. Allah berfirman:
﴿ يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ﴾
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādalah: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa posisi guru dan murid dalam proses belajar Qur’an tidak mungkin terpisah dari kemuliaan. Guru mengemban amanah menyampaikan wahyu, sementara murid mengemban tanggung jawab menjaga kesucian jiwa agar layak menerima ilmu tersebut.
Rasa Hormat kepada Guru Menurut Pandangan At-Tibyān
Imam an-Nawawi melalui At-Tibyān menekankan pentingnya memuliakan guru. Salah satu ungkapan masyhur yang beliau sampaikan:
“وَيَنْبَغِي لِلتِّلْمِيذِ أَنْ يَتَأَدَّبَ مَعَ شَيْخِهِ فِي كُلِّ حَالٍ”
“Seorang murid sepatutnya beradab kepada gurunya dalam setiap keadaan.”
Ungkapan ini memperlihatkan bahwa relasi Qur’ani bertumpu pada adab. Murid yang menghargai gurunya akan memperoleh ilmu yang jauh lebih berkah, karena hati yang merendah membuka pintu pemahaman. Sikap hormat bukan hanya terlihat dalam ucapan, tetapi juga gerak tubuh, kesabaran, dan kelapangan hati dalam menerima nasihat.
Rasa hormat kepada guru bukan bentuk pengkultusan, tetapi wujud ketawadhuan di hadapan orang yang mengajari huruf-huruf kitab suci. Dalam At-Tibyān, adab ini disebut sebagai bagian dari memuliakan Al-Qur’an itu sendiri. Guru adalah perantara yang menyampaikan firman Allah kepada murid; karenanya memuliakan guru berarti menjaga kehormatan wahyu.
Tanggung Jawab Guru dalam Memberi Pengajaran Qur’ani
Relasi yang baik tidak hanya ditanggung oleh murid. Guru pun memikul amanah besar. Dalam hadis Nabi Muhammad ﷺ disebutkan:
« خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ »
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Guru tidak sekadar menyampaikan bacaan; guru mengarahkan akhlak, memperbaiki niat, dan menunjukkan jalan menuju kesadaran spiritual. Ketika seorang guru mengajarkan Al-Qur’an dengan kasih sayang dan kesungguhan, hubungan itu tidak hanya menghidupkan ilmu, tetapi juga membangun generasi yang berpegang teguh pada nilai ilahi.
Imam an-Nawawi dalam At-Tibyān menekankan tanggung jawab guru:
“وَعَلَى الْمُعَلِّمِ أَنْ يُخَلِّصَ النِّيَّةَ وَيُحَسِّنَ خُلُقَهُ مَعَ طُلَّابِهِ”
“Seorang pengajar wajib meluruskan niat dan memperindah akhlaknya kepada para murid.”
Pesan ini menegaskan bahwa keberkahan ilmu Al-Qur’an tidak hanya lahir dari ketepatan bacaan, tetapi juga dari kebeningan hati guru. Semakin ikhlas memberikan pengajaran, semakin luas keberkahan yang Allah limpahkan.
Tanggung Jawab Murid dalam Menjaga Kesungguhan Belajar
Belajar Al-Qur’an adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesiapan mental, spiritual, dan keistikamahan. Dalam relasi guru dan murid, murid berkewajiban menjaga kesungguhan belajar, menghormati proses, dan tidak tergesa-gesa ingin cepat terlihat mahir. Para ulama selalu mengingatkan bahwa ilmu tidak diberikan kepada orang yang malas dan tidak sabar.
Imam Malik pernah berkata:
“لَن يَنَالَ العِلمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُسْتَكْبِرٍ”
“Ilmu tidak diperoleh oleh orang pemalu (yang menghalanginya dari bertanya) dan tidak pula oleh orang sombong.”
Ungkapan ini relevan dalam belajar Al-Qur’an. Murid perlu aktif bertanya, memperbaiki kesalahan dengan lapang dada, dan terus menjaga adab ketika berhadapan dengan gurunya. Sikap ini bukan hanya bentuk penghormatan kepada guru, tetapi juga pengendalian diri sebagai bagian dari proses tazkiyah al-nafs.
Keberkahan Ilmu dalam Relasi Guru dan Murid
Keberkahan ilmu menjadi alasan mengapa relasi guru dan murid dalam belajar Al-Qur’an harus dijaga dengan adab. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang memberi pengaruh positif dalam kehidupan, menenangkan hati, dan mendekatkan seseorang kepada Allah. Keberkahan itu muncul melalui keikhlasan guru dan kerendahan hati murid.
Al-Qur’an memberikan gambaran penting tentang adab murid kepada guru dalam kisah Musa dan Khidr. Ketika Musa mengatakan:
﴿ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا ﴾
“Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajariku sebagian dari ilmu yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?” (QS. Al-Kahfi: 66)
Ungkapan yang penuh tawadhu ini mengajarkan bahwa permintaan ilmu harus diiringi sikap hormat dan kesungguhan. Hubungan Musa dan Khidr telah menjadi simbol relasi guru dan murid sepanjang sejarah Islam. Kisah itu menegaskan bahwa keberkahan tidak muncul dari sikap tergesa-gesa, tetapi dari kerendahan hati, ketenangan, dan kesabaran dalam menanggung proses belajar.
Harmoni Tanggung Jawab: Guru sebagai Lilin, Murid sebagai Cahaya yang Menyebar
Relasi guru dan murid adalah dua arah yang saling menguatkan. Guru mengajari huruf demi huruf Al-Qur’an, sementara murid menjaga amanah itu dengan mengamalkannya. Sebagaimana lilin yang menerangi ruangan, guru memberikan cahayanya tanpa mengharapkan sesuatu selain ridha Allah. Murid yang menerima cahaya itu kemudian menyebarkan kembali kebaikan Al-Qur’an ke dalam masyarakat.
Tradisi para ulama menunjukkan bahwa hubungan ini dapat bertahan seumur hidup. Banyak murid yang terus kembali kepada gurunya meskipun sudah mampu mengajar. Mereka terus memohon doa, nasihat, bahkan sekadar barokah pertemuan. Kehangatan hubungan itu selalu melahirkan generasi Qur’ani yang halus akhlaknya dan kuat integritasnya.
Penutup
Pada akhirnya, relasi guru dan murid dalam belajar Al-Qur’an adalah relasi yang dibangun oleh cinta, keadaban, dan rasa tanggung jawab. Belajar Al-Qur’an akan terasa hambar jika hubungan ini rusak oleh kesombongan atau kelalaian. Sebaliknya, keberkahan ilmu akan terus mengalir ketika kedua pihak menjaga keluhuran adab, meluruskan niat, dan menempatkan Al-Qur’an sebagai pedoman tertinggi.
Setiap huruf Al-Qur’an yang berpindah dari guru ke murid sesungguhnya membawa kilauan cahaya. Dengan adab yang terjaga, cahaya itu tidak hanya menerangi diri, tetapi juga menembus hati, menuntun langkah, dan membuka pintu keberkahan kehidupan. Semoga generasi hari ini merawat hubungan suci ini dengan penuh hormat dan kesungguhan, agar cahaya Al-Qur’an semakin tersebar luas dalam kehidupan umat.
*Gerwin Satria Nirbaya
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
