Khazanah
Beranda » Berita » Memuliakan Kalamullah: Etika Memperlakukan Mushaf Al-Qur’an Berdasarkan At-Tibyān

Memuliakan Kalamullah: Etika Memperlakukan Mushaf Al-Qur’an Berdasarkan At-Tibyān

Ilustrasi seorang muslim memperlakukan mushaf Al-Qur’an dengan penuh hormat dalam suasana lembut dan khusyuk.
Ilustrasi realistik seorang muslim duduk dengan penuh ketenangan di sebuah ruangan bercahaya lembut. Mushaf Al-Qur’an berada di atas meja kayu rendah, tertata rapi dengan kain halus. Tangan pembaca terangkat perlahan seolah hendak menyentuh mushaf dengan hormat. Latar tampak hening dan hangat, menghadirkan kesan spiritual dan keagungan kalamullah.

Surau.co. Memuliakan Al-Qur’an bukan hanya tentang membaca ayat-ayatnya dengan tartil atau merenungi maknanya secara mendalam. Memuliakan Al-Qur’an juga menyangkut bagaimana seorang muslim memperlakukan mushaf secara lahiriah, karena mushaf menjadi wadah bagi kalam Allah yang agung. Dalam tradisi ulama, menjaga etika terhadap mushaf merupakan tanda penghormatan batin terhadap firman Allah. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai adab memperlakukan mushaf selalu hadir dalam kitab-kitab klasik, terutama dalam At-Tibyān fī Ādābi Ḥamalati al-Qur’ān karya Imam an-Nawawi.

Sejak paragraf pertama, penting untuk menegaskan bahwa etika memperlakukan mushaf bukan sekadar aturan fisik, tetapi juga refleksi dari kesucian hati. Frasa kunci seperti “memuliakan kalamullah” dan “etika memperlakukan mushaf” menjadi dasar untuk mengupas ajaran ulama tentang cara menghormati kitab suci ini. Hal ini sejalan dengan firman Allah:

” إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ. فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ. لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ “
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar bacaan yang mulia, berada dalam kitab yang terpelihara. Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waqi‘ah: 77–79).

Ayat ini mengandung pesan kuat bahwa kemuliaan Al-Qur’an menuntut kehormatan lahir dan batin dari setiap muslim. Karena itu, pembahasan mengenai adab memperlakukan mushaf menjadi sangat penting.

Adab Menghadirkan Kesucian Sebelum Menyentuh Mushaf

Etika memuliakan kalamullah Al-Qur’an selalu dimulai dengan menjaga kesucian fisik. Para ulama memandang wudu sebagai bentuk penghormatan yang paling dasar. Imam an-Nawawi dalam At-Tibyān menjelaskan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

” وَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَمَسَّ الْمُصْحَفَ إِلَّا عَلَى طَهَارَةٍ “
“Seseorang sebaiknya tidak menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci.”

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa wudu bukan semata syarat fiqih, tetapi juga adab batin. Ketika seseorang berwudu sebelum menyentuh mushaf, jiwanya akan terasa lebih bersih dan tenang. Ketenangan ini memudahkan fokus dan menghindarkan diri dari sikap tergesa-gesa yang dapat mengurangi keagungan Al-Qur’an.

Selain menjaga wudu, para ulama juga menganjurkan untuk memakai pakaian yang sopan ketika membaca atau memegang mushaf. Sikap ini memberikan pesan yang kuat kepada diri sendiri bahwa mushaf bukan objek biasa. Sebuah ucapan ulama mengatakan:

” تَعْظِيمُ الْمُصْحَفِ مِنْ تَعْظِيمِ الْمُنَزِّلِ “
“Mengagungkan mushaf merupakan bagian dari mengagungkan Dzat yang menurunkan Al-Qur’an.”

Ucapan tersebut mengingatkan bahwa menjaga fisik dan penampilan adalah cara memperlihatkan rasa hormat yang mendalam terhadap firman Allah.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Menjaga Mushaf dari Hal yang Mengurangi Kehormatan

Memuliakan mushaf mengharuskan pembaca menjaga mushaf dari hal-hal yang dapat mengurangi kehormatan. Mushaf tidak boleh diletakkan sembarangan, apalagi di tempat yang kotor atau area yang tidak pantas. Imam an-Nawawi memberi penekanan:

” وَيَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَى الْمُصْحَفِ وَأَنْ يَرْفَعَهُ عَنِ الْأَرْضِ “
“Sebaiknya mushaf dijaga dan diletakkan di tempat yang lebih tinggi dari lantai.”

Prinsip ini bukan sekadar aturan tata letak. Ketika seseorang mengangkat mushaf ke tempat yang lebih tinggi, tindakan tersebut menghadirkan rasa hormat sekaligus menjauhkan dari kebiasaan lalai. Bahkan sebagian ulama memberikan panduan agar mushaf ditempatkan di tempat yang bersih, teduh, dan aman dari kerusakan, sebagai bentuk komitmen menjaga kehormatan kitab suci.

Selain itu, pembaca juga perlu berhati-hati dari kebiasaan yang kurang menghormati mushaf, seperti menumpuk benda lain di atasnya. Para ulama menganggap tindakan tersebut tidak sesuai dengan adab memuliakan Al-Qur’an. Ungkapan seorang ulama memberikan peringatan:

” لَا يُوضَعُ شَيْءٌ عَلَى الْمُصْحَفِ تَعْظِيمًا لَهُ “
“Tidak boleh meletakkan sesuatu di atas mushaf sebagai bentuk penghormatan kepadanya.”

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Etika ini menjaga fisik mushaf, sekaligus membangun rasa cinta dan hormat di dalam hati.

Menghindari Penggunaan Mushaf untuk Tujuan Selain Ibadah dan Pengajaran

Etika memperlakukan mushaf juga melarang penggunaannya untuk keperluan yang tidak sesuai. Mushaf adalah kitab suci yang dimuliakan, sehingga tidak pantas digunakan sebagai hiasan semata, pelengkap dekorasi, atau objek simbolik yang tidak menunjukkan penghormatan sesungguhnya. Imam an-Nawawi memberi nasihat:

” وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُتَّخَذَ الْقُرْآنُ زِينَةً “
“Tidak boleh menjadikan Al-Qur’an sebagai hiasan semata.”

Anjuran tersebut menjaga nilai Al-Qur’an agar tidak turun martabatnya menjadi sekadar simbol visual. Penggunaan mushaf sebagai pajangan tanpa niat untuk membacanya dapat melemahkan makna Al-Qur’an sebagai petunjuk kehidupan. Karena itu, etika memperlakukan mushaf mengharuskan pembaca untuk menghormatinya sebagai pedoman, bukan ornamen.

Selain itu, mushaf juga tidak boleh digunakan secara sembarangan, seperti dipinjamkan sembarangan tanpa memastikan penerimanya menghormati mushaf dengan baik. Etika ini menjadi bagian dari upaya menjaga kemuliaan Al-Qur’an sebagaimana pesan ulama terdahulu.

Membawa Mushaf dengan Rasa Hormat dan Kehati-hatian

Salah satu adab penting dalam memperlakukan mushaf adalah menjaga cara membawanya. Mushaf tidak boleh dibawa dengan cara yang ceroboh, misalnya dilemparkan ke atas meja, dipindahkan tanpa niat hormat, atau diletakkan di tempat yang rawan jatuh. Etika membawa mushaf dengan tenang dan hati-hati mencerminkan rasa cinta terhadap Kalamullah. Imam an-Nawawi menegaskan:

” وَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَرْفَعَ صَوْتَهُ فَوْقَ صَوْتِ الْقُرْآنِ وَلَا يَحْمِلَهُ بِاسْتِخْفَافٍ “
“Sebaiknya seseorang tidak mengangkat suaranya melebihi suara Al-Qur’an dan tidak membawa mushaf dengan sikap meremehkan.”

Anjuran tersebut mencerminkan pentingnya sikap lembut dan tenang. Sikap seperti ini juga melatih pembaca untuk mengendalikan emosinya ketika berhubungan dengan firman Allah. Dalam tradisi pesantren, para guru sering mewariskan nasihat:

” حُرْمَةُ الْقُرْآنِ حُرْمَةٌ لَا يُجَاوِزُهَا شَيْءٌ “
“Kehormatan Al-Qur’an adalah kehormatan yang tidak terlampaui oleh apa pun.”

Ketika pembaca menghayati nasihat ini, tindakan-tindakan kecil seperti membawa mushaf dengan kedua tangan atau menaruhnya di tempat yang aman, menjadi bagian dari ibadah yang menenangkan hati.

Menjaga Mushaf dari Kerusakan dan Merawatnya dengan Baik

Etika memuliakan mushaf juga menuntut pembaca untuk merawatnya dengan baik. Mushaf yang terlipat, robek, atau kotor perlu dirapikan. Jika mushaf mengalami kerusakan berat hingga tidak bisa dibaca, mushaf tersebut perlu diperlakukan dengan hormat, misalnya disimpan dengan layak atau dikuburkan secara terhormat. Imam an-Nawawi mengungkapkan:

” وَيَنْبَغِي أَنْ يُصَانَ الْمُصْحَفُ مِنَ الْوَسَخِ وَالتَّمْزِيقِ “
“Sebaiknya mushaf dijaga dari kotoran dan kerusakan.”

Etika ini menunjukkan bahwa merawat mushaf sama pentingnya dengan merawat bacaan Al-Qur’an dalam diri. Ketika seseorang menjaga fisik mushaf, hatinya juga akan terlatih untuk menghormati kalam Allah.

Para ulama bahkan menegaskan pentingnya menyimpan mushaf di tempat yang aman. Dalam tradisi fikih, mushaf dianggap sebagai barang yang sangat mulia, sehingga orang yang memegangnya bertanggung jawab penuh untuk merawatnya. Tanggung jawab ini mencerminkan rasa cinta sekaligus rasa takut kehilangan petunjuk Ilahi.

Penutup

Memuliakan kalamullah bukan hanya tentang bacaan yang indah atau hafalan yang kuat. Memuliakan Al-Qur’an juga tampak dari cara seseorang memperlakukan mushaf. Setiap gerakan yang lembut, setiap usaha menjaga kesucian, dan setiap upaya merawat mushaf menjadi cermin dari kemuliaan yang tertanam dalam hati.

Ketika seseorang memperlakukan mushaf dengan rasa hormat, hatinya akan lebih mudah menerima cahaya dari setiap ayat. Mushaf tidak lagi menjadi benda mati, tetapi menjadi pintu bagi ketenangan dan bimbingan. Semoga setiap muslim dapat memuliakan mushaf dengan penuh cinta, sehingga Kalamullah selalu menyinari perjalanan hidup seperti lentera yang tidak pernah padam.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement