Khazanah
Beranda » Berita » Memahami Keutamaan Membaca dan Menghafal Al-Qur’an dalam Pandangan Kitab At-Tibyān

Memahami Keutamaan Membaca dan Menghafal Al-Qur’an dalam Pandangan Kitab At-Tibyān

Ilustrasi seorang Muslim membaca Al-Qur’an di malam hari dengan cahaya lembut.
Ilustrasi realistik–artistik: Seorang Muslim duduk tenang saat malam, cahaya lembut menerangi mushaf terbuka di pangkuannya. Latar ruang sunyi dengan nuansa biru malam dan tekstur kaligrafi samar. Atmosfer damai, kontemplatif, dan spiritual

Surau.co. Setiap Muslim tentu mendambakan kedekatan dengan Al-Qur’an. Dalam banyak kesempatan, para ulama menegaskan bahwa kedekatan semacam ini bukan hanya tentang kemampuan melafalkan ayat, melainkan juga tentang adab, penghayatan, dan hubungan spiritual yang tumbuh terus menerus. Pada era yang penuh kesibukan dan distraksi ini, upaya untuk menjadi Ahlul Qur’an menjadi lebih menantang sekaligus lebih bermakna. Frasa kunci seperti keutamaan membaca Al-Qur’an, keutamaan menghafal Al-Qur’an, dan Ahlul Qur’an terasa semakin relevan bagi umat yang ingin menjadikan kitab suci sebagai sumber kekuatan batin.

Imam an-Nawawi melalui At-Tibyān fī Ādābi Ḥamalati al-Qur’ān memberikan panduan yang tidak hanya menonjolkan aspek ibadah, tetapi juga etika yang melekat pada para pembaca dan penghafal Al-Qur’an. Panduan tersebut meliputi kesucian hati, kejernihan niat, kedisiplinan membaca, serta komitmen untuk terus menjaga perilaku. Dengan berpijak pada pandangan para ulama, ayat-ayat Al-Qur’an, serta hadits-hadits Nabi, artikel ini mengajak pembaca memahami bagaimana menjadi Ahlul Qur’an dalam makna yang utuh dan membumi.

Keutamaan Membaca Al-Qur’an: Jalan Menuju Hati yang Hidup

Dalam pandangan para ulama, membaca Al-Qur’an bukan sekadar melafalkan huruf-hurufnya, tetapi juga sebuah proses penyucian jiwa. Sejak awal, Al-Qur’an menegaskan posisinya sebagai hudā, yaitu petunjuk bagi seluruh manusia. Allah berfirman:

﴿ إِنَّ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ يَهْدِى لِلَّتِى هِىَ أَقْوَمُ ﴾
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang paling lurus.” (QS. Al-Isrā’: 9)

Ayat ini sering dijadikan rujukan oleh para ulama ketika membahas keutamaan membaca Al-Qur’an. Membaca ayat-ayat suci berarti membuka diri terhadap bimbingan Ilahi. Arah yang diberikan ayat tersebut bukan hanya tentang akidah atau hukum, tetapi juga terkait karakter, moralitas, dan sikap sehari-hari. Karena itu, dalam tradisi pesantren, pembacaan Al-Qur’an selalu dikaitkan dengan penguatan akhlak.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Imam an-Nawawi dalam At-Tibyān mengajarkan bahwa pembaca Al-Qur’an sebaiknya menjaga niat, memperbaiki adab, dan menjauhi sikap yang merusak hati. Menurutnya, membaca Al-Qur’an tanpa adab ibarat memasuki taman indah tanpa memedulikan kebersihan diri. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa kualitas ibadah lebih penting daripada banyaknya bacaan. Ketika seseorang membaca Al-Qur’an dengan kesadaran penuh, ayat-ayat itu seperti cahaya yang memperbaiki gerak batin.

Para ulama juga sering mengingatkan bahwa membaca Al-Qur’an adalah sarana penghidupan spiritual. Dalam sebuah hadits sahih, Rasulullah bersabda:

« اقْرَءُوا الْقُرْآنَ، فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ »
“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya.” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an memiliki dimensi ukhrawi sekaligus duniawi. Ia menenangkan hati, menguatkan kesabaran, dan menuntun seseorang untuk menyikapi hidup dengan bijaksana. Dengan demikian, membaca Al-Qur’an secara konsisten adalah salah satu tanda hati yang senantiasa hidup.

Menghafal Al-Qur’an: Menjaga Kalam Ilahi dalam Diri

Menghafal Al-Qur’an merupakan amal agung yang selalu dijaga oleh para ulama dan santri sepanjang sejarah Islam. Namun, menghafal bukan hanya tentang kemampuan ingatan. Dalam banyak penjelasan tasawuf dan fiqih, menghafal Al-Qur’an dipahami sebagai proses meletakkan cahaya Ilahi dalam dada. Allah berfirman:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

﴿ بَلْ هُوَ ءَايَٰتٌۭ بَيِّنَٰتٌۭ فِى صُدُورِ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ ﴾
“Bahkan Al-Qur’an itu berupa ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. Al-Ankabūt: 49)

Ayat ini menjadi dasar bahwa hafalan Al-Qur’an adalah mulia dan berkaitan erat dengan ilmu. Para ulama memahami bahwa cara terbaik menjaga wahyu adalah dengan menempatkannya dalam dada para penghafal. Dalam At-Tibyān, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa penghafal Al-Qur’an seharusnya menampilkan akhlak yang lebih baik dibandingkan masyarakat umum. Hal ini bukan tentang keistimewaan sosial, melainkan tentang tanggung jawab moral untuk memuliakan ayat-ayat Allah melalui perilaku.

Rasulullah menyampaikan keutamaan besar bagi penghafal Al-Qur’an:

« يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا »
“Akan dikatakan kepada penghafal Al-Qur’an: bacalah dan naiklah, serta tartillah sebagaimana dahulu dibaca di dunia.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hadits ini menggambarkan bahwa derajat seseorang di akhirat terkait erat dengan interaksi mereka terhadap Al-Qur’an di dunia. Semakin terpelihara bacaan dan hafalannya, semakin tinggi derajat yang diberikan pada hari akhir. Karena itu, para ulama menekankan bahwa penghafal Al-Qur’an harus menjaga perilaku, memperkuat ibadah, dan menjauhkan diri dari kealpaan moral.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Dalam kehidupan modern, menghafal Al-Qur’an tetap relevan. Banyak anak muda berupaya menghafal walaupun sibuk kuliah atau bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki daya tarik spiritual yang tidak memudar oleh zaman.

Adab Pembaca dan Penghafal Al-Qur’an Menurut At-Tibyān

Salah satu kontribusi penting At-Tibyān adalah penjelasan mendalam mengenai adab. Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa adab menjadi fondasi utama bagi siapa pun yang ingin menjadi Ahlul Qur’an. Ia menyebut tentang kebersihan hati, kejujuran niat, menjaga kesopanan, dan menjauhi perilaku yang merendahkan martabat Al-Qur’an.

Menurut penjelasan tersebut, pembaca Al-Qur’an perlu menjaga kebersihan tubuh, memilih waktu yang baik untuk membaca, menjauhi gangguan, dan menghadirkan ketenangan batin. An-Nawawi juga menekankan pentingnya membaca dengan tartil, tidak tergesa-gesa, serta berusaha memahami makna meskipun secara sederhana.

Para ulama lain seperti Imam al-Qurthubi juga menegaskan pentingnya adab. Dalam beberapa penjelasan, Al-Qurthubi menjelaskan bahwa Al-Qur’an hanya dapat memberi manfaat sempurna bagi orang yang mendekatinya dengan kerendahan hati dan kesadaran akan kemuliaannya. Sikap ini penting agar pembacaan Al-Qur’an tidak berubah menjadi rutinitas yang kehilangan ruh.

Adab penghafal Al-Qur’an lebih luas lagi: menjaga hafalan, mengulang secara konsisten, menghindari perilaku buruk yang dapat merusak ingatan, dan menjadikan hafalan sebagai inspirasi moral. Ketika seseorang menjaga adab-adab tersebut, kedekatan dengan Al-Qur’an tumbuh menjadi hubungan batin yang penuh cahaya.

Menjadi Ahlul Qur’an di Era Modern

Dalam kehidupan modern, menjadi Ahlul Qur’an tidak berarti mengasingkan diri dari dunia. Sebaliknya, Ahlul Qur’an adalah bagian dari masyarakat yang bekerja, belajar, berperan sosial, tetapi tetap menjadikan Al-Qur’an sebagai panduan moral. Mereka berinteraksi dengan teknologi, menghadapi tantangan zaman, dan terus menjaga hubungan dengan ayat-ayat Allah.

Banyak orang membaca Al-Qur’an melalui aplikasi digital, mendengarkan murattal, atau mengikuti kajian tafsir melalui media daring. Semua itu menjadi sarana untuk tetap dekat dengan Al-Qur’an, selama niatnya lurus dan adabnya tetap terpelihara. Dalam kerangka ini, menjadi Ahlul Qur’an dapat dilakukan oleh siapa saja: pelajar, karyawan, orang tua, bahkan pengguna media sosial yang ingin mengisi hari-harinya dengan nilai kebaikan.

Ahlul Qur’an bukan sekadar status, tetapi sebuah perjalanan spiritual. Mereka membawa akhlak Al-Qur’an dalam ucapan dan tindakan. Mereka menjaga kesantunan, mengupayakan keadilan, menebarkan kasih sayang, dan menghindari kontroversi yang merusak. Dalam banyak pesan kebijaksanaan, para ulama menegaskan bahwa siapa pun yang membawa akhlak Al-Qur’an berarti telah membawa sebagian besar ajaran Islam.

Ketika seseorang berkomitmen menjadi Ahlul Qur’an, kehidupan sehari-hari terasa lebih terarah. Kegelisahan berkurang, kebahagiaan bertambah, dan hati menjadi lebih lapang. Al-Qur’an hadir sebagai penenang yang menuntun manusia menuju kedewasaan spiritual.

Kesimpulan

Menjadi Ahlul Qur’an adalah cita-cita mulia yang dapat diwujudkan melalui kesungguhan membaca, menghafal, dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an. Pandangan Imam an-Nawawi dalam At-Tibyān memberikan landasan etika yang membantu umat memahami tanggung jawab besar ini. Kedekatan dengan Al-Qur’an bukan hanya soal lafaz, tetapi juga soal jiwa yang terus tumbuh dalam cahaya petunjuk Ilahi.

Pada akhirnya, perjalanan ini adalah perjalanan cinta. Siapa pun yang mencintai Al-Qur’an akan dicintai oleh Allah, dan siapa pun yang mendekap ayat-ayat-Nya akan menemukan ketenangan sejati. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, menjadi Ahlul Qur’an berarti menjaga seberkas cahaya yang membuat langkah lebih terarah dan hati lebih damai.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement