Khazanah
Beranda » Berita » Membaca Al-Qur’an dengan Hati Bersih: Adab Pembaca terhadap Dirinya Sendiri menurut Kitab At-Tibyān

Membaca Al-Qur’an dengan Hati Bersih: Adab Pembaca terhadap Dirinya Sendiri menurut Kitab At-Tibyān

Ilustrasi seorang muslim membaca Al-Qur’an dengan hati yang tenang dalam cahaya lembut.
Ilustrasi realistik-artistik seorang muslim duduk di ruang sederhana dengan cahaya lembut keemasan menyinari mushaf. Wajahnya tenang, penuh kekhusyukan. Di latar belakang tampak ornamen lembut seperti cahaya abstrak yang menggambarkan kebersihan hati dan keteduhan spiritual. Suasana hangat dan damai, menekankan hubungan batin antara pembaca dan Al-Qur’an.

Surau.co. Membaca Al-Qur’an bukan sekadar aktivitas ibadah yang menggerakkan lisan, tetapi juga perjumpaan spiritual yang menuntut kesiapan hati, pikiran, dan perilaku. Para ulama klasik, terutama Imam an-Nawawi dalam At-Tibyān fī Ādābi Ḥamalati al-Qur’ān, menekankan bahwa pembacaan Al-Qur’an membutuhkan hati yang tenang dan bersih agar setiap ayat benar-benar menembus kesadaran terdalam. Oleh sebab itu, pembaca Al-Qur’an harus membentuk adab yang benar terhadap dirinya sendiri sebelum masuk ke adab terhadap mushaf, majelis, maupun orang lain.

Dengan kata lain, membaca Al-Qur’an adalah perjalanan batin. Perjalanan ini mengajak seseorang untuk melepas kesibukan duniawi dan menghadirkan keteduhan hati sebelum mengucapkan satu huruf pun. Allah berfirman:

“كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ “
“Sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah agar mereka meresapi ayat-ayatnya dan agar orang-orang berakal mendapatkan pelajaran.” (QS. Shad: 29).

Ayat di atas menegaskan bahwa membaca Al-Qur’an menuntut perenungan. Perenungan hanya lahir dari hati yang jernih. Karena itu, Imam an-Nawawi menegaskan:

” وَيَنْبَغِي لِقَارِئِ الْقُرْآنِ أَنْ يَتَخَلَّقَ بِالْأَخْلَاقِ الْكَرِيمَةِ وَيَتَزَيَّنَ بِالْخِصَالِ الْحَمِيدَةِ “
“Seorang pembaca Al-Qur’an perlu menghiasi dirinya dengan akhlak mulia dan memperindah jiwanya dengan karakter yang terpuji.” (At-Tibyān).

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Adab terhadap diri sendiri menjadi fondasi utama yang akan mengarahkan pembacaan Al-Qur’an pada ketenangan, ketulusan, dan kesadaran mendalam.

Hati yang Bersih sebagai Syarat Pembacaan Al-Qur’an

Kebersihan hati adalah adab paling mendasar dalam membaca Al-Qur’an. Ketika hati seseorang dipenuhi kemarahan, kegelapan, atau kesibukan duniawi, ketajaman spiritualnya melemah. Karena itu, seorang muslim perlu menata niat sebelum menyentuh mushaf. Imam an-Nawawi menyatakan dengan tegas:

“وَأَوَّلُ مَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقْصِدَ بِقِرَاءَتِهِ رِضَا اللهِ تَعَالَى”
“Hal yang paling wajib bagi pembaca Al-Qur’an ialah mengarahkan niat bacaan untuk mencari ridha Allah Ta‘ala.”

Penegasan ini menunjukkan bahwa kebersihan niat menjadi pondasi. Ketika seseorang membaca Al-Qur’an untuk memperoleh ketenangan, keberkahan, atau memperbaiki hidup, Allah akan membuka pintu pemahaman sekaligus menghadirkan keteduhan batin.

Selain itu, kebersihan hati memungkinkan seseorang merasakan sentuhan spiritual dari ayat-ayat yang dibacanya. Nabi Muhammad bersabda:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ مَأْدُبَةُ اللهِ، فَتَعَلَّمُوا مِنْ مَأْدُبَتِهِ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Sesungguhnya Al-Qur’an adalah hidangan Allah. Pelajarilah sebanyak yang kalian mampu dari hidangan itu.” (HR. al-Hakim).

Hadis tersebut menggambarkan keindahan Al-Qur’an sebagai hidangan rohani yang hanya bisa dinikmati oleh jiwa yang tidak keruh. Karena itu, pembaca perlu menyingkirkan kesibukan batin sebelum membuka mushaf, lalu menghadirkan perasaan rindu dan hormat ketika mendekati ayat-ayat Ilahi.

Menjaga Kebersihan Lahir untuk Menjaga Kebersihan Batin

Adab terhadap diri sendiri tidak berhenti pada penataan niat, tetapi juga mencakup kesucian lahir. Para ulama menegaskan bahwa kesucian fisik membantu menjaga kekhusyukan hati. Imam an-Nawawi dalam At-Tibyān menjelaskan:

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ عَلَى طَهَارَةٍ وَيَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ
“Disunnahkan bagi pembaca Al-Qur’an berada dalam keadaan suci dan menghadap kiblat.”

Anjuran ini menggambarkan bahwa kondisi fisik memengaruhi fokus batin. Ketika seseorang berada dalam keadaan suci, sikap hormat terhadap kalam Allah lebih kuat. Menghadap kiblat pun akan menata orientasi batin sehingga bacaan terasa lebih sakral.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Selain itu, kesucian lahir membantu menciptakan ruang batin yang bersih. Para ulama mengaitkan kebersihan fisik dengan kebersihan spiritual. Sufyan ats-Tsauri pernah menyatakan:

إِذَا أَرَدْتَ أَنْ يُفْتَحَ لَكَ فِي الْقُرْآنِ فَطَهِّرْ قَلْبَكَ
“Apabila engkau ingin terbuka pemahamanmu terhadap Al-Qur’an, bersihkan hatimu.”

Ucapan tersebut menegaskan bahwa pembacaan Al-Qur’an membutuhkan kesiapan lahir dan batin secara seimbang. Pembaca perlu melakukan persiapan sederhana seperti berwudu, merapikan tempat duduk, atau menyingkirkan gangguan, agar jiwanya tidak tercerai-berai ketika membaca.

Menghindari Kesombongan dan Merawat Kerendahan Hati

Adab terhadap diri sendiri juga menuntut seorang muslim untuk menjaga kerendahan hati. Ketika seseorang merasa bangga atau sombong karena mampu membaca panjang atau memiliki suara indah, isi Al-Qur’an tidak akan menembus batinnya. Imam an-Nawawi menerangkan:

وَيَجِبُ أَنْ يَحْذَرَ مِنَ الْعُجْبِ وَالرِّيَاءِ
“Pembaca Al-Qur’an perlu berhati-hati dari sifat ujub dan riya.”

Kalimat ini menjadi peringatan penting. Banyak orang terpancing untuk memamerkan bacaan, padahal tujuan utama membaca Al-Qur’an adalah menguatkan hubungan spiritual dengan Allah. Karena itu, kerendahan hati menjadi kunci agar bacaan tidak berubah menjadi kebanggaan kosong.

Kerendahan hati juga membantu pembaca menerima pesan Al-Qur’an dengan lapang. Ketika hati terbuka, ayat-ayat Allah dapat memberikan pemahaman baru, menenangkan jiwa, dan membimbing kehidupan. Hal ini selaras dengan firman Allah:

” إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ “
“Hanya orang-orang berakal yang bisa mengambil pelajaran.” (QS. Ar-Ra‘d: 19).

Orang yang rendah hati akan mudah mengambil pelajaran. Sebaliknya, orang yang sombong hanya akan berhenti pada lantunan suara tanpa menyentuh makna.

Membaca dengan Tenang dan Tidak Terburu-buru

Membaca Al-Qur’an membutuhkan kelembutan jiwa. Pembaca perlu menghindari sikap tergesa-gesa, karena tergesa-gesa menghalangi perenungan. Imam an-Nawawi menjelaskan:

وَيَسْتَحِبُّ التَّرْتِيلَ وَالتَّأَمُّلَ
“Disunnahkan membaca dengan tartil dan penuh perenungan.”

Tartil bukan sekadar lambat, tetapi membaca dengan ketenangan, kejelasan, dan pemaknaan. Pembaca harus memberikan ruang bagi hatinya untuk merenungi pesan ilahi di setiap ayat. Ayat-ayat tentang rahmat perlu dibaca dengan harapan, sementara ayat-ayat tentang peringatan perlu dibaca dengan kewaspadaan.

Nabi Muhammad mencontohkan cara membaca seperti ini. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah membaca satu ayat berulang kali hingga menangis. Hadis tersebut menggambarkan bahwa pembacaan yang ideal bukanlah yang cepat, tetapi yang mendalam.

Menjaga Konsistensi dan Menghidupkan Relasi Spiritual dengan Al-Qur’an

Adab terhadap diri sendiri juga meliputi kemampuan menjaga konsistensi. Banyak orang yang semangat di awal, tetapi kehilangan keteraturan setelah beberapa hari. Imam an-Nawawi memberikan nasihat halus:

وَلْيُدَاوِمْ عَلَى الْقِرَاءَةِ وَإِنْ قَلَّتْ
“Hendaklah pembaca Al-Qur’an menjaga keberlanjutan bacaannya meskipun sedikit.”

Nasihat ini sangat relevan bagi muslim modern. Kesibukan sering mengurangi waktu membaca Al-Qur’an, tetapi konsistensi lebih penting daripada kuantitas. Seseorang dapat membaca satu halaman setiap hari, tetapi dengan hati hadir dan tenang, lalu merasakan perubahan dalam hidupnya.

Konsistensi menciptakan hubungan spiritual yang kuat. Ketika seseorang rutin membaca, jiwanya semakin bersih, pikirannya lebih jernih, dan hatinya lebih siap menyerap hikmah. Relasi dengan Al-Qur’an pun semakin intim.

Penutup

Pada akhirnya, membaca Al-Qur’an dengan hati bersih bukan hanya adab, tetapi juga kebutuhan spiritual. Hati yang lapang akan menjadi cermin bagi cahaya Al-Qur’an. Setiap ayat yang dibaca akan menemukan tempatnya, setiap pesan akan menghampiri kesadaran, dan setiap hikmah akan membuka jalan baru dalam kehidupan.

Semoga setiap muslim dapat mendekati Al-Qur’an dengan hati yang lembut, jiwa yang tenang, serta niat yang tulus. Dengan begitu, bacaan tidak hanya terdengar oleh telinga, tetapi juga berdiam dalam hati seperti cahaya yang menuntun perjalanan hidup menuju kebaikan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement