Dunia politik sering kali tampak rumit dan penuh intrik. Namun, para cendekiawan Muslim klasik telah meletakkan dasar etika yang kuat dalam bernegara. Salah satu tokoh sentral dalam pemikiran ini adalah Abu al-Hasan al-Mawardi. Sosok ini menawarkan wawasan mendalam mengenai tata kelola pemerintahan. Gagasan beliau tentang teori politik Islam tetap relevan hingga detik ini. Kita dapat menemukan nasihat kepemimpinan yang abadi dalam karya-karyanya. Al-Mawardi tidak memisahkan agama dari urusan dunia. Ia justru menyatukan keduanya dalam harmoni yang indah.
Mengenal Sang Imam Al-Mawardi
Sejarah mencatat nama besar Al-Mawardi sebagai seorang ahli hukum, sosiolog, dan pemikir politik ulung. Ia lahir di Basra pada tahun 974 Masehi. Kariernya bersinar terang pada masa Kekhalifahan Abbasiyah. Ia hidup di tengah gejolak politik yang dinamis. Kondisi tersebut memicu ketajaman analisisnya terhadap sistem pemerintahan. Al-Mawardi menjabat sebagai hakim tinggi atau Qadi al-Qudah di Baghdad. Pengalaman praktis ini memperkaya teori-teori politik yang ia tuliskan. Ia memahami betul betapa berat beban seorang pemimpin negara.
Mahakarya Al-Ahkam as-Sultaniyyah
Karya fenomenal Al-Mawardi yang paling banyak menjadi rujukan adalah Al-Ahkam as-Sultaniyyah. Buku ini membahas hukum-hukum tata negara secara komprehensif. Ia menguraikan struktur pemerintahan dengan sangat detail. Para akademisi menganggap kitab ini sebagai konstitusi politik Islam yang pertama. Al-Mawardi menulis buku ini bukan sekadar untuk teori semata. Ia memberikan panduan praktis bagi para khalifah dan pejabat negara. Tujuan utamanya adalah menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam pandangannya, kepemimpinan negara merupakan alat untuk meneruskan misi kenabian. Misi tersebut meliputi perlindungan agama dan pengaturan urusan duniawi. Negara membutuhkan pemimpin yang kompeten untuk mencegah kekacauan sosial. Tanpa pemimpin, manusia cenderung saling memangsa satu sama lain. Oleh karena itu, menegakkan kepemimpinan adalah kewajiban agama sekaligus kebutuhan rasional.
Syarat Ketat Menjadi Seorang Pemimpin
Al-Mawardi tidak sembarangan dalam menetapkan kriteria pemimpin. Ia menyadari bahwa kekuasaan memiliki potensi penyalahgunaan yang besar. Maka, ia merumuskan syarat-syarat ketat bagi seorang calon pemimpin atau Imam. Syarat pertama adalah keadilan (al-‘adalah). Seorang pemimpin harus memiliki rekam jejak moral yang bersih. Ia harus menjauhi segala bentuk kemaksiatan dan kefasikan. Integritas menjadi harga mati bagi pemegang kekuasaan.
Syarat kedua adalah ilmu pengetahuan (al-ilm). Pemimpin harus menguasai ilmu agama dan pengetahuan umum. Kemampuan ini penting untuk melakukan ijtihad dalam memecahkan masalah rakyat. Pemimpin bodoh hanya akan membawa negara menuju jurang kehancuran. Selain itu, kesehatan fisik dan mental juga menjadi syarat mutlak. Pemimpin harus memiliki panca indra yang sehat dan organ tubuh yang lengkap. Hal ini memastikan ia mampu menjalankan tugas berat tanpa hambatan fisik. Keberanian dan ketegasan dalam melindungi wilayah negara juga menjadi kriteria vital.
Enam Tugas Pokok Kepala Negara
Al-Mawardi merincikan tugas-tugas pemimpin agar tidak terjadi kebingungan wewenang. Berikut adalah ringkasan tugas utama yang harus pemimpin jalankan:
-
Menjaga Kemurnian Agama: Pemimpin wajib menjaga agama sesuai pemahaman yang benar. Ia harus mencegah munculnya aliran sesat yang merusak akidah umat.
-
Menegakkan Keadilan Hukum: Sengketa antarwarga negara membutuhkan penyelesaian yang adil. Pemimpin harus menjamin hukum berlaku sama bagi semua orang tanpa pandang bulu.
-
Menjaga Keamanan Wilayah: Rasa aman adalah hak dasar setiap warga negara. Pemerintah harus melindungi rakyat dari ancaman internal maupun eksternal.
-
Menjalankan Administrasi Keuangan: Pengelolaan zakat, pajak, dan harta negara harus berjalan transparan. Pemimpin tidak boleh menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi.
-
Memilih Pejabat yang Kompeten: Pemimpin harus menunjuk menteri dan pejabat berdasarkan keahlian. Praktik nepotisme sangat bertentangan dengan prinsip ini.
-
Mengawasi Jalannya Pemerintahan: Pemimpin harus terjun langsung memantau kinerja bawahannya. Ia tidak boleh hanya duduk diam dan menerima laporan asal bapak senang.
Kutipan Al-Mawardi
Penting bagi kita untuk merenungkan definisi kepemimpinan menurut beliau. Al-Mawardi mendefinisikan posisi pemimpin negara dalam kalimat berikut:
“Imamah (kepemimpinan) dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”
Kalimat ini menegaskan bahwa politik dalam Islam bernilai ibadah jika niatnya benar.
Relevansi Nasihat di Era Modern
Dunia modern saat ini menghadapi krisis kepemimpinan yang serius. Korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan wewenang merajalela di berbagai negara. Teori Al-Mawardi hadir sebagai pengingat yang keras namun menyejukkan. Ia mengajarkan bahwa jabatan adalah amanah, bukan privilese. Kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat bersifat timbal balik. Rakyat wajib taat selama pemimpin berjalan di atas rel kebenaran. Namun, legitimasi pemimpin bisa hilang jika ia bertindak zalim dan melanggar hukum.
Konsep pemisahan kekuasaan dan pengawasan yang Al-Mawardi tawarkan sangat modern. Ia telah memikirkan mekanisme check and balance jauh sebelum pemikir Barat menemukannya. Penerapan nilai-nilai ini akan menghasilkan pemerintahan yang bersih (good governance). Para politisi masa kini perlu membuka kembali lembaran pemikiran Al-Mawardi. Mereka bisa belajar bahwa etika dan politik adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Membangun bangsa membutuhkan fondasi moral yang kokoh, bukan sekadar pencitraan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
